Terjebak dengan sang CEO
Penulis:RICHA SEHGAL
GenreMiliarder
Terjebak dengan sang CEO
Setelah Keluarga Setiawan bangkrut, Tamara, yang terbiasa memperlakukan pekerjaan sebagai hidupnya, memutuskan untuk tidak pergi bekerja selama beberapa hari. Ia, bersama dengan Zulfikar, membantu mengurus pemakaman nenek Lala dan juga berbagai urusan lainnya.
Pada hari ketika Lala menghilang, Tamara hanya pulang sebentar ke rumah untuk mengganti pakaiannya. Akan tetapi saat ia kembali, Lala telah pergi dari vila, dan ia tidak pernah berhasil menghubungi Lala sejak hari itu. Zulfikar juga meminta teman-temannya untuk turut membantu dalam mencari Lala, akan tetapi segala upaya tersebut sia-sia. Tamara khawatir bahwa Lala bisa saja memutuskan untuk bunuh diri saat ia menghilang. Karena itu ketika Tamara melihat Lala berada di dalam kafe, selamat dan sehat, ia memeluk sahabatnya itu erat-erat.
"Tamara, maafkan aku karena telah membuatmu begitu khawatir akan keadaanku." Lala berkata dengan mata yang berkaca-kaca, karena ia tahu persis bagaimana perasaan Tamara saat itu. Ia sangat beruntung karena masih memiliki dua orang teman sejati. Amat sangat beruntung.
"Ke mana saja kamu selama ini? Aku sangat takut... takut apabila..." Tamara tidak bisa mengucapkan tiga kata yang sudah berada di ujung lidahnya.
"Dasar kau bodoh! Aku tidak akan melakukan hal itu, karena aku masih memiliki ayah dan juga kamu." Sebenarnya, ia sempat berpikir untuk mengambil nyawanya sendiri di hari ayahnya pergi. Tapi kemudian ia pingsan karena hatinya yang terlalu lelah. Sehingga keinginannya itu terbatalkan.
"Katakan padaku ke mana saja kamu telah pergi selama ini. Bagaimana keadaanmu? Apa saja yang sudah kamu lakukan? Aku melihat postingmu di Twitter ketika sedang menuju ke sini. Apa benar kamu sekarang sudah menikah?" Tamara menyeka air matanya, berusaha menenangkan diri, kemudian duduk di hadapan Lala.
Tamara merasa sangat iba pada Lala. Semua orang di Kota Daka tahu bahwa dulu Lala hidup dengan sangat gembira dan glamor.
Lala Setiawan dan Alina Ghani, saingannya, adalah dua orang wanita yang diakui kecantikannya di lingkungan kelas atas Kota Daka. Lala adalah seseorang yang lincah dan bersemangat, sementara Alina adalah orang yang dingin dan elegan.
Pria yang mengejar mereka tak terhitung jumlahnya. Seperti yang diketahui semua orang, Lala dulu bak bulan yang dikelilingi oleh bintang-bintang yang gemerlap. Hanya Tuhan yang tahu mengapa Lala jatuh cinta pada Mikael, yang jelas-jelas adalah seorang pria bajingan.
"Aku baik-baik saja saat ini. Dan aku benar-benar sudah menikah. Doakan aku!" Lala memaksakan diri tersenyum karena ia ingin terlihat bahagia di hadapan Tamara, yang sudah lama tidak ditemuinya itu.
Kemudian, ia menjelaskan kepada Tamara berbagai kejadian yang terjadi dalam beberapa hari terakhir secara singkat. Ketika berbicara mengenai Heri, ia berkata, "Pria itu sangat baik padaku. Tapi aku sungguh tidak dapat mengetahui alasannya bersikap sebaik itu padaku."
Tamara mengerutkan kening sembari mendengarkan cerita Lala. Menurutnya, pernikahan Lala dengan Heri adalah sesuatu yang berlebihan. Apakah pertemuan dengan pria itu adalah berkah yang terselubung bagi Lala? "Lala, kamu sudah membuat keputusan yang ceroboh. Meskipun kamu menghabiskan malam pertama bersama Heri, bukankah kalian berdua adalah orang asing bagi satu sama lain?
Hal ini juga telah terpikirkan oleh Lala. Tapi ia merasa bahwa dirinya telah tersudut. Bukankah memang begitu adanya?
Lalu mereka mengobrol panjang lebar untuk waktu yang cukup lama. Di luar, hari sudah mulai gelap. Mereka pun memutuskan untuk pergi makan hot pot bersama. Lala merasa sangat senang. Sebelum mereka berpisah, Lala berkata, "Di mana kamu bekerja sekarang? Aku ingin bekerja bersamamu."
"Saat ini aku sedang berjualan pakaian di mal. Kamu... ah, lupakan!" Tamara memandang Lala yang masih berpakaian bagus dan mahal, berpikir bahwa sebaiknya Lala tidak bekerja di tempat yang sama dengannya. Gajinya memang tidak bisa dibilang rendah. Tapi ia harus bersakit-sakit dahulu, baru bersenang-senang kemudian.
"Kenapa? Aku akan pergi menemuimu di sana besok atau suatu hari nanti. Ingatlah untuk bertanya pada atasanmu mengenai lowongan kerja untukku." Lala mengantar Tamara pulang ke rumahnya, dan tidak beranjak pergi sampai ia melihat Tamara berjalan menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah.
Kemudian Lala mengeluarkan ponselnya untuk mengecek jam. Saat itu tepat pukul sembilan malam. Ia memutuskan untuk menelepon Zulfikar.
"Sampai jumpa di tempat biasa di Bar MOX." Lala menutup teleponnya bahkan sebelum Zulfikar sempat berbicara. Pikirnya, mereka bisa berbicara nanti ketika bertemu langsung.
Di dalam Bar MOX.
Kehidupan malam di tempat itu baru saja dimulai. Jadi bar juga belum terlalu ramai dengan tamu-tamu. Di bawah cahaya yang redup dan kelap-kelip, beberapa orang tampak menari dengan penuh semangat, mengikuti alunan musik dengan hentakan drum yang kuat serta nuansa heavy metal.
Lala memesan secangkir koktail. Sang bartender dengan lincah bergerak untuk mencampur koktail, lalu dengan anggun dan cekatan memainkan mixer di tangannya. Tidak sampai semenit, sang bartender sudah menyajikan koktail kepada Lala dengan potongan lemon di bibir cangkir.
Lala memegang cangkirnya, menyesap koktailnya, dan menemukan tempat duduk yang redup di sudut bar.
Sepuluh menit kemudian.
Setelah memarkir sepeda motornya, Zulfikar berjalan cepat ke dalam bar. Ia menemukan orang yang dikenalnya di tempat biasa dan merasa sedikit lega.
"Pelayan!" Zulfikar duduk, dan memesan segelas koktail seperti milik Lala.
Zulfikar memandang Lala dengan teliti. Lala sedikit tersenyum, dengan cincin berlian di jemari tangan kanannya. Ia senang melihat bahwa Lala tidak berubah.
"Hei, bukankah kamu akan menjelaskan kepadaku apa yang telah terjadi padamu?" Zulfikar memperbaiki rambut merahnya yang berantakan, yang membuat Lala tahu bahwa ia datang ke sini dengan mengendarai sepeda motornya dalam kecepatan tinggi. Ia mengenakan anting berbentuk tengkorak di telinga kanannnya. Anting itu tampak baru dan mengeluarkan sinar yang unik.
"Apa ada yang perlu dijelaskan? Aku sudah menikah, seperti yang kamu lihat." Lala tersenyum, tapi senyum itu tampak seperti mengejek dirinya sendiri. Ia bisa dianggap seorang cucu yang sangat tidak berbakti karena ia memutuskan untuk menikah hanya sesaat setelah neneknya meninggal.
Zulfikar berkata dengan kening yang berkerut, "Lala, kamu tidak pantas berubah menjadi seperti ini! Bangkrut bukanlah apa-apa. Kamu bisa menghasilkan uang. Kalau kamu tidak tahu bagaimana caranya, aku dan pacarku bisa berusaha untuk membantumu. Bagaimana mungkin kamu bisa menemukan seorang pria dan menikahinya begitu saja?" Apa yang dikatakan Zulfikar membuat Lala sedikit senang. Sayang! Ia tahu bahwa Tamara dan sahabatnya ini adalah yang terbaik!
"Kenapa kamu tertawa? Kamu tidak berubah menjadi bodoh kan, sekarang?" Zulfikar merasa seperti mendapatkan kejutan yang buruk.
"Pergilah ke neraka. Kamulah yang bodoh! Aku hanya merasa senang." Ia merasa senang karena masih memiliki sesuatu yang berharga.
"Kamu sangat konyol! Kamu bahkan merasa bahagia sekarang?" Zulfikar bergumam sambil menatap Lala dengan pandangan kosong.
"Pelayan, tolong bawakan sebotol Royal Salute! Zulfikar, ayo kita bersenang-senang!" Lala merasa sangat ceria karena masih memiliki teman yang dapat menemaninya minum-minum.
"Hei, hei, hei. Sebotol Royal Salute? Minuman itu akan menghabiskan tiga sampai empat bulan gajiku. Kamu akan membuatku jatuh miskin!" teriak Zulfikar. Ia memiliki sedikit tabungan, tetapi uang itu tentu saja lebih baik digunakan untuk menikah dengan kekasihnya daripada membelikan anggur untuk wanita ini.
"Anak baik, jangan menangis. Aku yang traktir hari ini!" Zulfikar sering mengunjungi bar ini. Lala sudah terbiasa menikmati minuman gratis ketika dia datang bersama Zulfikar dan apa yang mereka pesan biasanya tidak begitu mahal, kecuali kali ini, mereka memesan minuman mahal yang bahkan tidak mampu dibeli oleh manajer bar ini. Lagi pula, ia juga akan mendapatkan diskon untuk minuman itu.
"Lala! Dari mana kamu mendapatkan uangnya?" Zulfikar mengulurkan lehernya untuk mengamati Lala dengan hati-hati, agar tidak melewatkan perubahan ekspresi wajahnya sedikit pun.
"Dari suamiku, tentu saja." Wah, wah, wah. Suaminya! Lala mengagumi dirinya sendiri karena berani menyebut istilah itu secara alami dan ringan.
Seorang pelayan menyajikan minuman yang mereka pesan dengan segera. Zulfikar memeluk botol minuman itu di dalam lengannya. Ia akan terus mengganggunya sampai Lala mengatakan yang sebenarnya.
"Katakan yang sesungguhnya padaku. Apakah kamu menikahi seorang pria tua? Kalau tidak, bagaimana kamu bisa menjadi begitu kaya?" Wajar saja jika Zulfikar memiliki kecurigaan ini.
Lala tertawa terbahak-bahak. Ekspresi seperti apa yang akan muncul di wajah dingin Heri jika dia tahu seseorang memanggilnya dengan sebutan orang tua? Lala sangat menantikan untuk melihat hal itu terjadi.