Terjebak dengan sang CEO
Penulis:RICHA SEHGAL
GenreMiliarder
Terjebak dengan sang CEO
"Ya, saya rasa ia orangnya. Saya mendengar Anda memanggilnya Lala saat terakhir kali kemari bersamanya." Sang pramuniaga menjelaskan dengan suaranya yang lirih.
Mendengar perkataan pramuniaga itu, Mikael dan Sarah menatap satu sama lain dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Maybach seharga miliaran rupiah dan cincin berlian merah itu... Apakah Lala telah menjadi seorang wanita simpanan? Itu adalah satu-satunya kemungkinan yang masuk akal. Ia pasti dijadikan simpanan oleh pria yang sudah tua. Karena tak ada pemuda yang memiliki kekayaan sebanyak itu. Ha ha. Orang-orang akan tertawa terbahak-bahak mendengarnya, jika memang itu yang terjadi.
Sambil membayangkan itu semua, Sarah memeluk lengan Mikael dan melihat pilihan cincin berlian yang ditunjukkan oleh pramuniaga.
Saat tiba di rumah, Lala mengganti sepatunya dan langsung menuju kamarnya, dengan Heri yang mengikuti di belakangnya Tak mempedulikan keberadaan Heri, Lala membuka tas dan mengeluarkan ponsel barunya, menyibukkan diri dengan mengutak-atiknya.
Heri meraih ponsel tersebut dan menarik Lala ke sisinya.
"Kamu kenapa marah?" Malam belum terlalu larut, dan Heri tak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya.
Lala memalingkan wajahnya, berusaha mengabaikan pertanyaan Heri.
Heri telah bertemu banyak wanita dengan temperamen buruk seperti Lala, serta lebih banyak lagi wanita yang bersikap patuh pada dirinya. Namun ia tak pernah peduli sedikit pun pada mereka. Dengan sedikit memaksa Heri memutar wajah Lala agar menghadap dirinya dan kemudian menciumnya.
"Hm, hm, hm." Lala ingin mengutarakan protesnya dengan keras, namun Heri tidak memberinya kesempatan.
Setelah lama berciuman, Lala berdiri dengan tersipu dan berusaha menjauhi Heri. Tapi Heri malah melingkarkan kakinya, membuat Lala tak bisa pergi darinya.
"Heri, kamu jahat. Kamu tahu itu kan?" Lala menyerah dan kembali duduk di sofa dengan putus asa. Ia perlu mencari sebuah cara.
Heri mengangguk tanda setuju atas pernyataan Lala.
"Berapa usiamu?"
"27."
"Tuh kan! Usiamu lima tahun lebih tua dariku. Maka kamu harus mengalah padaku. Kamu tidak boleh melarang jika aku ingin melakukan sesuatu. Kamu tidak boleh memaksa aku untuk melakukan apa yang tidak aku sukai. Kamu tidak boleh membuat aku marah. Kamu juga tidak boleh mengabaikan pendapatku... " Heri tercengang mendengar rentetan protes yang dilontarkan Lala, ia mendapat pemahaman baru tentang wanita darinya.
Ia baru saja membuat Lala melepaskan semua unek-unek yang dimilikinya. Bahkan Lala tidak terlihat lelah setelah menjelaskan daftar panjang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh Heri lakukan.
"Sepertinya kamu sangat bersemangat, kita tak boleh menyia-nyiakan malam pernikahan kita." Heri menekan ketidakmauan Lala hanya dengan satu kalimat.
"Heri! Ah! Lihat saja nanti. Aku akan membalasmu!" Dengan serius Lala memikirkan rencana pembalasan yang dapat ia lakukan, setelah Heri menutup pintu kamar mandi dan menghempaskannya ke bak mandi.
"Aku akan menghabiskan semua uangmu. Aku... akan membuatmu menjadi dikenal mempunyai istri yang selingkuh dengan pria lain setiap hari karena tidak dipuaskan, dan kemudian menceraikanmu serta meminta bagian dari harta yang kamu miliki..."
Uang Heri tak akan habis untuk menghidupi Lala hingga tujuh turunan. Menyelingkuhi dan mencemarkan kejantanannya? Ya. Heri memang sudah seharusnya berusaha keras untuk dapat memuaskan Lala. Bercerai dan kemudian membagi harta? Tak masuk akal!
"Ah!" Heri mengubah ucapan Lala menjadi jeritan hanya dengan satu gerakan.
Lala yang malang! Ia harus kembali melewati sebuah malam panjang yang melelahkan.
Ah! Ah! Ah! Apa ia menikah dengan pria yang meminum ramuan cinta setiap harinya?
Ia tidak bangun sampai sore keesokan harinya. Ia merasa sangat lelah hingga untuk pergi ke kamar mandi dan membersihkan badannya saja membutuhkan sebuah perjuangan baginya. Selesai mandi dan berpakaian, ia kemudian turun ke bawah karena perutnya terasa sangat lapar.
Bibi Jana hendak pergi dan menyewa dua orang petugas kebersihan ketika ia melihat Lala turun dengan mengenakan piyama. Ia pun tersenyum.
Bibi Jana meletakkan tasnya kembali dan menghampiri Lala.
"Lala, Tuan Muda sedang melakukan pemeriksaan di perusahaan hari ini. Beliau menyuruh saya untuk memasak lebih banyak makanan untuk Anda makan setelah Anda bangun." Bibi Jana tak lagi muda, dan ia telah mengalami banyak hal di usianya sekarang, ia paham bahwa ada hal-hal yang sepatutnya tidak perlu dipertanyakan dan sebaiknya disimpan untuk diri sendiri.
"Terima kasih, Bibi Jana. Kebetulan aku merasa sangat lapar. Maaf sudah merepotkanmu." Dengan lemah Lala duduk di meja makan. Kemudian Bibi Jana menyajikan beberapa hidangan. Lala menyantapnya seakan-akan ia belum makan selama berhari-hari.
"Makanlah dengan perlahan. Tidak usah terburu-buru, atau Anda akan tersedak. Silakan diminum jusnya." Bibi Jana merasa kasihan. Melihat Lala menghabiskan makanan yang dihidangkannya. 'Akhir-akhir ini Lala baru bangun setelah tengah hari, dan kemudian menyantap makanan seperti orang kelaparan. Mereka tidak bisa terus-terusan seperti ini.' pikir Bibi Jana. Ia harus mengingatkan Tuan Muda agar lebih bisa mengendalikan dirinya. Bukan hal yang buruk untuk mencurahkan cintanya kepada Lala, namun gadis itu masih terlalu lemah untuk mampu menanggungnya.
Setelah kenyang, Lala berjalan kembali ke kamarnya dengan rasa puas. Ia mengirim sebuah alamat melalui Twitter kepada Tamara dan membuat janji untuk bertemu dengannya.
Sebelum meninggalkan rumah untuk melakukan tugasnya, Bibi Jana teringat satu hal dan segera berlari ke lantai dua untuk menyerahkan dua buah kunci kepada Lala, yang ketika itu sedang berganti pakaian karena hendak pergi keluar.
Dua buah kunci itu - satu untuk rumah dan satu lagi untuk mobil - dititipkan oleh Heri kepada Bibi Jana sebelum berangkat ke perusahaan pagi ini.
Ternyata kunci mobil yang diterima Lala dari Bibi Jana, adalah kunci untuk sebuah mobil sport Maserati baru berwarna putih, yang terparkir di garasi. Mobil ini mengingatkan Lala pada BMW merah muda, hadiah ulang tahunnya yang ke-20 dari ayahnya, yang akhirnya dijual diluar kehendaknya. Ia sangat menyukai mobil itu, namun kini ia tak tahu lagi mobil itu ada di mana.
Berjalan perlahan di jalanan yang lebar, mobil yang dikendarai Lala menarik perhatian banyak orang. Banyak mobil berpindah jalur demi memberi jalan, saking takutnya bersenggolan, ganti rugi yang harus dibayarkan tentu saja akan sangat mahal.
Lala tiba di Kafe Pohon Tua yang menjadi tempat janjian dengan Tamara lebih awal, ia pun memesan secangkir capuccino dan duduk di sudut kafe yang sedikit tersembunyi.
Lala mengeluarkan ponselnya dan masuk ke akun Whatsapp-nya, notifikasi pun bermunculan menunjukkan betapa banyak pesan yang masuk, lebih dari 99 pesan secara total.
Pesan-pesan itu antara lain dari beberapa kenalannya, termasuk Mikael, Sarah, Tamara, Zulfikar dan beberapa orang yang dulu dianggapnya teman baik, akan tetapi menghilang setelah Keluarga Setiawan jatuh bangkrut. Tidak ada yang menduga bahwa dirinya akan jatuh terpuruk seperti ini.
Tiba-tiba suatu ide muncul di benak Lala, ia kemudian mengambil sebuah foto selfie menggunakan ponselnya, Dengan mata menerawang, ia miringkan kepalanya ke satu sisi, dan kemudian menutup mulutnya dengan tangannya yang mengenakan cincin berlian merah.
Ia memposting hasil foto selfie-nya ke Status dengan kata-kata yang berbunyi: Ayah, aku merindukanmu. Kini aku sudah menikah. Temuilah aku jika Anda sempat.
Kemudian ia masuk ke Twitter, dan membuat postingan serupa. Lala memiliki lebih dari 600 ribu pengikut, karena dia sangat aktif mengunggah berbagai hal dalam hidupnya, termasuk makanan dan perjalanan yang ia lakukan di seluruh dunia, serta unggahan yang membagikan hal-hal positif kepada para penggemarnya.
Ia hapus semua posting terdahulu, kecuali yang terkait dengan keluarganya, serta berhenti mengikuti siapa pun kecuali ayahnya, Tamara dan Zulfikar.
Tak lama kemudian, notifikasi bermunculan, menunjukkan betapa banyaknya komentar yang muncul atas unggahan Status dan Twitter-nya. Ponselnya terus berbunyi, namun Lala mengabaikan dan mematikannya, ia ingin menunggu Tamara sambil menikmati kopinya dalam ketenangan.
Kopi Lala telah habis separuh ketika Tamara tiba di kafe dengan tergesa-gesa.
Tamara adalah seorang gadis bertubuh ramping. Ia segera meminta ijin dari pekerjaan paruh waktunya begitu menerima pesan dari Lala, dan bergegas pergi ke kafe ini, sehingga saat ini ia masih mengenakan pakaian kerja. Ia merias wajah ovalnya hari ini, padahal ia biasanya tidak berdandan. Matanya yang besar dan cerah dihiasi oleh eye shadow tipis dan maskara, mulutnya tampak sedikit mengkilap oleh lip gloss. Semakin lama seseorang menatapnya, akan semakin nyaman rasanya.
Mereka saling mengenal satu sama lain sejak enam tahun yang lalu, ketika Tamara secara tidak sengaja menyelamatkan Lala di tepi laut. Pada awalnya Tamara tidak berani terlalu dekat dengan Lala yang menurutnya memiliki kehidupan yang sangat berbeda dengan dirinya yang biasa-biasa saja. Semuanya akan tetap sama, dan mereka tidak akan menjadi sahabat dekat, jika bukan karena kegigihan Lala "mengejarnya" selama setengah tahun.