Terjebak dengan sang CEO
Penulis:RICHA SEHGAL
GenreMiliarder
Terjebak dengan sang CEO
Setelah Heri dan Lala duduk di meja untuk makan malam, Bibi Jana bermaksud untuk pergi melakukan hal lainnya. "Bibi Jana, duduklah bersama kami untuk makan malam." ucap Lala sambil melirik Heri yang sedang makan sepotong iga dengan perlahan, bertanya-tanya apakah yang dilakukannya pantas...
"Tidak, terima kasih. Silakan menikmati makan malam bersama Tuan Muda. Saya lupa membeli pembersih. Saya harus segera membelinya sekarang." Bibi Jana mencuci tangan dan mengenakan sepatunya, bersiap-siap untuk pergi keluar.
"Baiklah kalau begitu, di luar sudah gelap. Tolong berhati-hatilah." Lala tidak mengatakan apa-apa lagi, 'Mungkin keluarga ini memiliki aturannya sendiri.' pikirnya.
Setelah kepergian Bibi Jana, Lala mengambil sumpit dan mulai makan. Ia merasa sangat lapar ketika melihat makanan yang terhidang di meja. Ia tenggelam dalam kekacauan demi kekacauan belakangan ini. Hingga akhirnya kini ia memiliki kesempatan menikmati makanan dengan tenang, meskipun hanya ditemani oleh pria yang masih asing baginya... Semuanya mungkin tidak akan terasa asing lagi dalam beberapa hari, butuh waktu bagi mereka untuk saling mengenal satu sama lain, pikir Lala ketika melihat Heri yang sedang makan malam dengan sangat tenang.
Ketika Heri sudah selesai makan, Lala masih menyisakan sedikit bubur millet di mangkuknya. Sehingga ia berusaha menghabiskannya dengan segera, menyeka mulutnya dan kemudian berdiri untuk membersihkan meja.
"Apa kamu juga melakukannya ketika di rumah?" Heri melihat Lala yang membersihkan meja dengan sangat kaku.
"Tidak, aku tidak melakukannya ketika di rumah." Jawab Lala berlinang air mata, teringat akan kehidupan di masa lalunya. Tentu saja ia tak perlu melakukan pekerjaan seperti ini ketika masih tinggal di rumah Keluarga Setiawan. Ia sangat dimanjakan oleh ayah dan neneknya. Namun kini ia tak lagi memiliki rumah untuk pulang. Ia tak mungkin lagi bersikap seperti dulu.
"Lala, mulai sekarang ini adalah rumahmu. Kamu bukan tamu di sini. Jadi santai saja!" Heri menyambar mangkuk kosong di tangan Lala dan menaruhnya di meja. Ia kemudian memegang pergelangan tangan Lala dan menariknya agar mengikutinya naik ke lantai dua.
Lala mengikuti Heri, ia menatap tangan yang memegang pergelangannya dengan perasaan sedih. Dirinya memang merasa sangat lelah dan ingin bersantai. Namun apa bisa?
Ketika mereka sampai di lantai dua, Heri belum juga melepaskan pergelangan tangan Lala. Ditariknya Lala ke arah ruang kerjanya.
Heri mengambil dua buah kartu dari laci meja kerjanya, dan diserahkannya kartu-kartu itu kepada Lala.
"Aku tidak punya uang tunai. Gunakan dua kartu ini untuk menarik uang yang kamu butuhkan, atau membeli barang apa pun yang kamu inginkan."
Lala mengenali bahwa salah satu kartu itu adalah Kartu Hitam VIP edisi terbatas. Kartu jenis ini hanya ada 88 buah saja di seluruh dunia, tanpa batas kredit, memberikan pengalaman terbaik dalam penggunaannya di seluruh dunia, termasuk layanan prioritas di berbagai toko kelas atas dan bandara. Lala pernah melihat kartu dengan jenis yang sama ketika tahun lalu ia bersama Mikael menghadiri sebuah pesta anggur, yang diadakan oleh seorang bos perusahaan terkemuka. Berdasarkan apa yang Lala dengar, bos itu adalah satu-satunya yang memiliki kartu ini di Kota Daka.
Lala mengangkat kepalanya, ia melihat Heri yang menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak, ia pun bingung. Kenapa ia begitu baik, bukankah mereka hanya orang asing terhadap satu sama lain? Apakah semua ini hanya karena mereka pernah menghabiskan satu malam bersama?
"Heri, aku tidak mencintaimu." Hal itu benar adanya. Lala tidak mencintainya, dan tidak ingin membohonginya. Mikael adalah satu-satunya pria yang pernah dicintainya. Namun kini rasa itu telah berubah menjadi kebencian yang sangat mendalam.
"Pergilah ke kamarmu dan tidurlah lebih awal. Kita akan pergi untuk mengurus surat nikah besok." Heri mendorongnya keluar dari ruang kerja tanpa berkata apa-apa lagi.
Apakah ia marah? Lala menatap pintu ruang kerja yang tertutup di depannya, menggenggam kartu di tangan, dan pergi ke kamarnya.
Lala sangat tersentuh dan disibukkan oleh perlakuan yang diberikan Heri kepadanya seharian ini, dan kini ketika ia sedang sendirian, berbagai pemikiran dan bayangan tumpah ruah di benaknya.
Ayahnya telah kehilangan perusahaan yang dibangunnya, neneknya meninggal, kemudian ayahnya menghilang tanpa jejak. Ia kehilangan segalanya karena Yakub dan putranya. Yang paling menyakitkan baginya bukanlah hilangnya perusahaan milik ayahnya, namun hilangnya orang-orang yang dicintainya dan pengkhianatan orang-orang di dekatnya...
Lala duduk di kursi balkon dengan perasaan sedih, menatap cahaya Kota Daka di malam hari, air mata mengalir di wajahnya. Ia ingin menghadapi kenyataan dengan tabah. Tapi semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Bagaimana mungkin ia mampu menghadapi semuanya seorang diri?
Heri mendatangi kamar Lala dengan maksud menanyakan di mana lembar kartu keluarga Lala. Namun ia mendengar tangis Lala dari pintu kamar. Ia membuka pintu dan dilihatnya Lala meringkuk di kursi balkon. Heri mengira Lala adalah wanita yang kuat dan tak peduli tentang apa pun.
Tiba-tiba Lala merasakan seseorang memeluknya, ia pun berhenti menangis karena terkejut dan ketakutan. Ketika menyadari bahwa itu adalah Heri, tangisnya makin menjadi dan ia bertanya, "Kenapa kamu di sini? Aku menangis dan tertangkap basah olehmu. Betapa malunya aku."
"..." Ia memiliki harga diri yang tinggi dan keras kepala. Heri hanya berdiri di sana, sementara Lala menangis di pelukannya selama setengah jam.
Dengan wajah cemberut, dia memandang Lala, yang mulai terisak-isak. Air matanya telah membasahi pakaian Heri. "Cukup kali ini saja. Tak ada lagi tangisan di masa depan."
"Kenapa aku harus mengikuti apa katamu?" Lala menangis lagi. Apakah Heri mengejeknya?
"Kamu sudah menangis untuk waktu yang cukup lama. Apakah itu berguna untukmu?" Entah kenapa Heri merasa tidak nyaman melihat Lala menangis.
Setelah memikirkan perkataan Heri, akhirnya Lala berhenti menangis. Sebenarnya ia juga tidak suka menangis. Namun ia hanya merasa sangat sedih.
"Apa kamu punya anggur?" tanya Lala sambil menatap Heri dengan sedih.
"Kamu mau minum?" tanya Heri, tidak tega menolak permintaan Lala.
"Tentu saja! Aku telah mengambil keputusan. Aku akan mengusir semua masalah yang baru saja kulalui dengan anggur!"
Lala biasanya minum anggur bersama Mikael atau Sarah. Kini ia memutuskan untuk meninggalkan semua yang menjadi masa lalunya, dan menjalani hidup yang lebih baik di masa depan. Ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, meskipun ia harus memanfaatkan bantuan pria yang sekarang ada di depannya...
Lala pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, dan menyanggul rambut panjangnya.
Melihat rak berisi koleksi anggur yang dimilikinya, Heri mengambil sebotol anggur dan dua gelas dengan ragu.
"Aku tidak ingin anggur merah. Aku ingin minum arak keras." Lala berpikir bahwa hanya minuman beralkohol tinggi yang dapat menghilangkan kesedihan dan kemarahannya sekarang ini.
Tanpa mengindahkan apa yang dikatakan Lala, Heri membuka botol dan menuangkan anggur ke dalam dua gelas yang dibawanya. Lala cemberut dan meminum anggurnya dengan rasa kecewa. Melihat gelas anggur yang telah kosong, Lala teringat bahwa karena meminum anggur merah yang diberikan Mikael padanya sehingga dia berhubungan seks dengan pria di hadapannya ini. Anggur merah itu pasti sudah diberi obat sebelumnya. Lala tersenyum sinis.
Heri tidak berencana untuk memberi Lala lebih banyak anggur lagi, sehingga ia meletakkan botol anggur itu di sampingnya. Alkohol tidak baik untuk kesehatannya, apalagi ia baru saja keluar dari rumah sakit. Kenapa juga ia menyetujui permintaan anggur dari Lala tadi?
Lala berdiri dengan marah, mengambil botol, dan mengisi kembali gelasnya dengan anggur sampai penuh, kemudian meminumnya. Ia bersendawa dengan gembira, tak menyadari bahwa Heri sedang menatapnya dengan wajah tidak senang.
Ketika ia hendak mengisi ulang gelasnya, pergelangan tangannya ditahan. "Kenapa? Jangan sepelit itu! Aku hanya minum anggurmu sedikit saja." ucap Lala dengan nada meremehkan.
Heri berdiri, menariknya dari kursi, dan membawanya ke kamar mandi.
Ia menyalakan pancuran air dan mendorong Lala ke bawahnya. Dinginnya air membuat tubuh Lala menggigil.
Pakaian yang basah menempel erat di tubuh Lala, memperlihatkan bentuk tubuh indahnya. "Heri, apa kamu sudah gila? Aku belum melepas pakaianku!" Lala merasa bingung dan kedinginan, ia melihat ekspresi tidak menyenangkan di wajah Heri dan bertanya-tanya apakah Heri sedang marah. Ia terlihat menakutkan...
Heri tahu bahwa Lala sedang dalam suasana hati yang buruk, dan ia tak berniat untuk menyentuhnya. Tapi Lala tak memberinya pilihan lain kecuali untuk mengambil tindakan saat Lala menantangnya berkali-kali.