Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DIGILIR BESAN DAN MENANTU - Rahasia Birahi Kampung

DIGILIR BESAN DAN MENANTU - Rahasia Birahi Kampung

Fajar Merona

5.0
Komentar
3.5K
Penayangan
6
Bab

Khusus Dewasa

Bab 1 Penampakan Tak Logis

Di tengah hamparan sawah yang menguning, seorang lelaki tua melangkah santai. Meski seharian mencangkul di sawah, langkahnya tetap ringan, seakan tenaga dalam dirinya belum habis terperas, bahkan dengan beban setengah karung ubi jalar di pundaknya, yang dipenen sebelum pulang.

Dalam perjalanan pulang, ia melewati sawah milik salah seorang tetangganya. Sebuah gubuk tua berdiri di tengah sawah itu, tampak usang dikelilingi ilalang tinggi. Sawah itu sudah lama tak digarap. Ia tak tahu pasti alasannya, tetapi gubuk itu seperti tenggelam dalam waktu yang terhenti.

Ketika ia hendak melewati tempat itu, pandangannya menangkap gerakan samar di dalam gubuk. Alisnya berkerut.

"Siapa yang masih nongkrong di gubuk sore-sore begini?" pikirnya.

Rasa penasaran mulai menggelayut di benaknya. Ia tahu betul, gubuk itu biasanya kosong. Dengan langkah perlahan, lelaki tua mendekati gubuk, setelah menunda bawaanya dekat pematang. Suara angin yang menderu di antara ilalang tidak mampu menutupi suara-suara yang mulai ia dengar.

Detak jantungnya tak beraturan saat suara itu semakin jelas. Ada bisikan genit, diiringi tawa kecil seorang wanita. Suara itu tidak asing baginya. Nafasnya tersendat, langkah kakinya terhenti di belakang gubuk.

"Astagfirullah... suara siapa ini sebenarnya?" bisiknya pada diri sendiri.

Lelaki yang semua rambutnya sudah memutih itu, memberanikan diri mengintip dari celah dinding gubug bambu. Ia merunduk hati-hati, lalu berjongkok, memastikan dirinya tidak terlihat dari dalam.

Dan apa yang ia saksikan benar-benar membuatnya membeku laksana bongkahan es batu. Matanya membelalak, mulutnya ternganga, tetapi tak ada suara yang keluar saking kaget dan terpananya.

Di dalam gubuk, ia melihat sosok lelaki setangah baya, sedang terlentang lemas di atas bale-bale beralaskan tikar kusam, dalam keadaan telanjang bulat. Rudalnya yang hitam, berukuran sedang, tergeletak lemah di perutnya, tampak mengkilat licin dengan sisa-sisa cairan bening dan putih susu.

Sementara di sudut ruangan, seorang wanita berusia sebaya dengan sang lelaki, sedang membungkuk mengenakan kembali celana dalamnya. Lalu menurunkan gamis panjangnya dan merapikan kerudungnya yang tampak acak-acakan.

Setelah itu ia kembali duduk di bale-bale, samping lelaki yang masih tergeletak lemah, memejamkan matanya. Tubuh dan wajahnya berkeringat, tampak kelelahan namun wajahnya memancarkan kepuasan yang susah dijelaskan.

"Gimana Sih, sekarang percaya kan?" tanya lelaki itu dengan suara parau agak lemah, namun terkesan sombong.

Lelaki tua yang sedang ngintip makin menajamkan pendengarannya sambil menahan napasnya, tak ingin ketinggalan obrolan dua insan mesum dalam gubug itu.

"Kalau dibanding sama punya suamiku sih, aku percaya kalau punya akang memang jauh lebih besar dan panjang, tapi... kalau kekuatannya sih sama aja," Jawab wanita setengah baya itu genit, terkesan malu-malu kucing.

"Tapi kamu puas kan?" Lelaki itu pun menarik tubuhnya bangkit dari telentang, lalu duduk setengah bersila.

"Banget Kang, gak nyangka sih, ternyata yang lebih besar dan panjang itu emang beda banget rasanya, walau durasinya sama, hihihi." Wanita itu membekap mulutnya dengan kedua tangannya

"Hehehehe, betul. Tapi menurut kamu emang ada orang kampung kita yang barangnya melebihi punya akang? Gak mungkin ada lah, Sih." Lelaki dengan kaki kanan jauh lebih kecil dari kaki kiri itu merasa bangga.

"Belum tentu gak ada, Kang. Kan belum pernah ada kontesnya, hihihi." Wanita itu kembali cekikikan sambil mengencangkan dan merapikan kerudungnya yang sedikit mengendur.

"Walau gak ada kontes, tapi akang yakin. Gak bakal ada yang melebihi punya akang, percaya deh. Sih?" Lelaki yang rambutnya sudah dihiasi sejumlah uban itu, tak mau kalah.

"Akang tahu gak punya Bah Akin?" tanya wanita itu sambil menatap tajam lelakinya.

Deg!

Jantung lelaki tua yang sedang mengintip dan fokus nguping itu, seketika tersentak, namanya dibawa-bawa.

"Hehehehe, katanya sih punya dia emang paling panjang dan paling gede di kampung kita. Tapi maksud akang yang masih normal lah, Sih. Bah Akin mah udah peot, bau tanah, udah reyot, panjang dan gede juga percuma. Boro-boro bisa muasin, bisa bangun aja kagak!" sergahnya mengejek.

Wajah tua Bah Akin seketika terkesiap, merah padam, darah berdesir menahan amarah. Harga dirinya sebagai lelaki tua telah direndahkan dengan fitnah yang sama sekali tidak berdasar.

"Ya, belum tentu juga, Kang, umur kan hanya itungan angka. Walau Bah Akin udah tua, tapi dalam-dalamannya kita kan gak tahu, hihihi" Wanita itu membela, sambil terus cekikikan genit, malu-malu serigala.

"Kok kamu tahu, kalau punya Bah Akin jumbo?" tanya lelaki itu sambil menarik kembali sang wanita ke dalam pelukan.

"Gosip emak-emak, biasa, hihihi, katanya ada yang pernah liat waktu dia mandi di sungai, kaya terong ungu yang gede itu kang, hihihi," jawab wanita itu manja sambil membalas pelukan lelakinya.

Tubuh Bah Akin bergetar hebat. Ia hanya bisa berjongkok di sana, tertegun, selama beberapa menit sebelum akhirnya memutuskan untuk mundur perlahan. Kakinya terasa lemah. Ia tahu, ia tak boleh terlalu lama di sana.

Dengan langkah perlahan, ia terus menjauh, mencoba meredam suara dedaunan yang ia injak. Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya kacau. Obrolan dan bayangan wajah mereka tak henti-hentinya melintas di benaknya.

Wanita itu, salah satu dari tiga istri Ustad Basri, suaminya dikenal sebagai sosok religius dan dihormati oleh banyak orang, walau hobi kawin. Wanita itu pun dipanggilnya Ustazah Tarsih, karena sering mengajar ngaji ibu-ibu di kampung, bergantian dengan ustadzah lainnya.

Dan yang lelakinya adalah RT Juhari, RT kampung sebelah. Mereka merupakan besan. Anak Ustadzah Tarsih menikah dengan anak RT Juhari.

Bah Akin merasa hal itu sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin perselingkuhan seperti ini bisa terjadi di antara keluarga yang begitu dekat? Perselingkuhan antar besan dari orang-orang terhormat di kampungnya masing-masing.

Langkah Bah Akin semakin gontai. Ia tahu, ini bukan hanya sekadar rahasia yang ia saksikan. Ini adalah beban besar yang harus ia pikul. Tetapi kepada siapa ia harus menceritakan hal ini?

Haruskah abah bicara pada Ustad Basri? Atau lebih baik diam saja?

Benarkah emak-emak di kampung suka menggosipkan barang abah? Udah pada gak waras apa? ngapain barang abah disamakan terong ungu segala, kok terong dijadiin gosip sih?

Pikiran Bah Akin mulai tidak tenang. Di usianya yang sudah lanjut, ia tak pernah membayangkan akan menyaksikan hal seperti ini. Sebuah kenyataan pahit yang ia tahu akan membawa badai jika kebenarannya terbongkar.

Bukan saja akan mengguncang rumah tangga mereka, menyeret nama baik mereka, namun juga akan menggemparkan seluruh persada kampung.

"Nafsu memang bisa mengalahkan segalanya," desis Bah Akin dengan getir sambil terus melangkah.

^*^

Pak Sadikin, atau akrab dipanggil Bah Akin, adalah lelaki berusia 70 tahun yang menjadi panutan dan dihormati seluruh warga kampung. Mantan pegawai desa beralih profesi menjadi petani, tetapi kebiasaan hidup bersih, rapi, dan disiplin tetap melekat padanya.

Tubuhnya masih segar bugar, mencerminkan gaya hidupnya yang sehat dan aktif. Dia bahkan tidak pernah merokok dalam sepanjang hayatnya. Penampilannya selalu terjaga, mencerminkan masa lalunya sebagai pegawai desa yang terbiasa tampil prima. Panca inderanya masih relatif normal kecuali kulit yang sudah keriput, rambut-rambut semua memutih, bahkan giginya pun masih utuh.

Sebagai figur yang dituakan, Bah Akin adalah tumpuan masyarakat dalam banyak hal. Dia aktif di berbagai kegiatan kemasyarakatan. Silaturahminya terjaga dengan baik, tidak hanya dengan tetangga tetapi juga dengan kerabat jauh. Sering dijadikan pemberi nasihat dalam permasalahan warga karena kebijaksanaan dan wibawanya.

Bah Akin tinggal bersama istrinya, Mak Siti, di rumah sederhana tetapi cukup bagus, besar dan nyaman untuk ukuran kampung.

Istrinya yang usianya 55 tahun sudah mulai sakit-sakitan, membuat Bah Akin harus lebih perhatian. Meskipun begitu, dia tetap setia merawat dan menemani Mak Siti dengan penuh kasih. Hubungan mereka yang harmonis menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat sekitar.

Meski usianya sudah lanjut, Bah Akin tidak pernah sepenuhnya bergantung pada kendaraan. Dia lebih suka berjalan kaki saat berkunjung ke tetangga atau pergi ke sawah, meskipun memiliki sepeda ontel dan sepeda motor. Kebiasaan ini tidak hanya menyehatkan tubuhnya tetapi juga mempererat interaksinya dengan lingkungan sekitar.

Dalam kesehariannya, Bah Akin adalah seorang petani yang cukup berhasil. Dia memiliki sawah dan kebun yang luas, juga beberapa kolam ikan yang selalu menghasilkan panen yang baik secara konsisten.

Hasil jerih payahnya tak hanya untuk dirinya sendiri; ia terkenal dermawan. Senang berbagi, entah itu memberikan hasil panen kepada tetangga, membantu anak-anaknya yang sudah menikah, atau memberikan perhatian lebih kepada para cucunya. Bahkan semua besannya yang dekat atau jauh selalu mendapat perhatian khusus darinya. Sering mendapat julukan besan teladan.

Bah Akin adalah sosok yang penuh tanggung jawab, rendah hati, tetapi tidak kehilangan pesona sebagai seorang pria yang berpengaruh. Melengkapi sikapnya yang tenang dan bijaksana, tersimpan pribadi yang hangat, penuh perhatian, dan tetap ingin merasa berharga meski usia terus bertambah.

Tak lama kemudian, Bah Akin perlahan memasuki perkampungan dengan beban di pundak, sementara tangannya menggenggam erat sabit berkilat terkena sinar senja. Angin berembus lembut, menggoyangkan dedaunan pisang dan kelapa yang berjejer rapi di sepanjang jalan menuju rumahnya.

Begitu melewati pagar bambu, suara tawa riang menyambutnya. Dua bocah kecil berlarian menghampirinya dengan langkah terburu-buru.

"Mbah! Embah pulang!" seru si bungsu, Dimas, yang baru berusia tiga tahun, berusaha mencapai kaki kakeknya dengan tangan mungilnya. Sementara kakaknya, Nayla, enam tahun, lebih cekatan, langsung melompat memeluk pinggang kakeknya.

"Pelan-pelan, Nak. Embah masih bawa sabit, nanti kena," ujar Bah Akin, suaranya berat namun penuh kelembutan. Nayla tertawa kecil, lalu melepas pelukannya, sementara Dimas justru makin erat memegangi sebelah kaki kakeknya.

Di teras rumah, Widya tersenyum menyaksikan momen itu. Ia duduk bersimpuh di tikar anyaman, ditemani setumpuk pakaian yang tengah dilipat. Wajahnya ayu, khas perempuan kota yang tetap menjaga kesederhanaannya. Jilbab lembut membingkai parasnya yang teduh.

"Dimas, Nayla, ayo sini dulu. Embah capek habis dari sawah," panggil Widya lembut.

Dimas menggeleng kuat. "Enggak, bunda! Dimas mau gendong Embah!"

Bah Akin tergelak, suaranya berat namun penuh kehangatan. "Hahaha! Gendong embah? Emang Dimas kuat ya?"

Nayla, sang kakak mengangguk dengan bangga. "Dimas tadi makan banyak banget, mbah! Jadi kuat!"

Widya tersenyum, lalu bangkit, mengambil alih sabit dari tangan mertuanya. "Silakan masuk dulu, Bah. Saya buatkan teh hangat."

Bah Akin mengangguk. "Terima kasih, Neng. Abah mau mandi dulu."

Ia lalu mengusap kepala kedua cucunya. "Main yang rukun, ya. Jangan rebutan, embah mau mandi dulu."

Dimas dan Nayla mengangguk patuh, sebelum kembali bermain di halaman yang luas, beralaskan rumput hijau. Suasana desa begitu asri, rumah-rumah berdinding tembok dan kayu berjajar rapi, walau agak berjauhan, pekarangan ditumbuhi pohon mangga dan jambu. Burung-burung berkicau riang di dahan, seakan ikut menikmati sore yang damai.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku