Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Agak Laen

Hasrat Agak Laen

Fajar Merona

5.0
Komentar
16.5K
Penayangan
42
Bab

Sepatah Kata, Jangan pernah bengong dan tertegun-tegun jika belum selesai membaca kisah yang sangat AGAK LAEN dan super unik dalam novel ini. Mungkin banyak yang tidak terpcaya jika cerita ini lebih dari 58,83% merupakan KISAH NYATA, 24,49% Modifikasi Alur dan 16,68% tambahan halu sebagai variasi semata. Buktikan saja keunikan kisah dalam novel ini. Jangan mengatakan gak masuk akal jika belum tahu bahwa hal itu bisa terjadi kapan dan dimanapun juga

Bab 1 Hasrat Di Perkebunan, 1

**Siapkan mental, karena hanya di novel ini, kamu akan menemukan sesuatu yang berbeda. Novel ini hanya memuat cerita-cerita unik yang bisa jadi tidak akan pernah ditemukan dalam novel-novel lainnya. Judulnya juga HASRAT AGAK LAEN, tentu saja akan sangat berbeda dengan cerita kebanyakan yang telah ada.

Selamat membaca dan meresapinya. **

Setelah berhasil meraih S2 di bidang pertanian aku ingin bekerja sesuai dengan bidang studiku. Hampir setahun aku mencari kerja, tak satu pun yang cocok. Aku sudah mulai pesimis dan agak frustasi. Sebetulnya banyak lowongan bekerja, tetapi bidangnya jauh dari bidangku.

Orang tuaku juga berusaha membantu mencarikan pekerjaan, sampai akhirnya dia bertemu teman lamanya yang punya kedudukan bagus di sebuah BUMN Perkebunan. Aku dipertemukan dengan teman ayah di sebuah hotel. Dari pertemuan itu, aku ditawari bekerja di perkebunan, tetapi tentu saja letaknya tidak di Jakarta, Perkebunan itu di Kawasan Sumatera Utara.

Aku pada waktu itu langsung saja menerima tawaran, karena kupikir bidang kerjanya sesuai dengan keilmuanku, meskipun tempat kerjanya jauh dari kota. Kedua orang tuaku agak keberatan aku jauh dari mereka, tetapi sebagai anak laki-laki aku ingin merantau dan bekerja sesuai dengan studiku.

Singkat cerita setelah melalui beberapa seleksi aku diterima bekerja di sebuah perkebunan PTP kelapa sawit. Aku langsung ditempatkan sebagai staf di perkebunan yang letaknya sekitar 10 jam dari kota Medan. Kebun itu sangat jauh dan terpencil. Kota kabupaten paling dekat sekitar 2 jam berkendaraan mobil.

Meskipun begitu aku senang, karena kelapa sawit adalah minatku dan skripsi serta tesisku merupakan penelitian soal Kelapa sawit. Aku mendapat rumah yang lumayan bagus jika diukur dengan rumah di kota, halamannya luas. Rumah dengan tiga kamar lengkap dengan perabot, hanya saja rumahnya seperti rumah peninggalan jaman Belanda.

Jadi memang rada horor juga. Tapi bagiku tidak masalah, karena aku tidak takut soal-soal seperti itu. Aku adalah pecinta alam yang sudah terbiasa mendaki puncak gunung sendirian.

Sebelum lebih jauh aku perkenalkan dulu diriku. Nama panggilanku Ferdy Sambodo, tinggi sekitar 178 warna kulit sawo matang, badan agak tegap karena sering fitnes, potongan rambut selalu pendek dan tidak merokok, wajah biasa saja tapi bersih tidak berjerawat, kumis dan jenggot selalu aku cukur bersih.

Aku mendapat fasilitas pembantu, tukang kebun, penjaga malam dan fasilitas mobil. Semuanya aku tidak perlu bayar, karena ditanggung oleh perkebunan. Awal-awal aku bekerja aku diperkenalkan oleh semua staf dan manager perkebunan. Kami cepat akrab, maklumlah karena tempat kami terpencil.

Staf dan manager mendapat rumah di wilayah yang disebut emplasement. Jika digambarkan emplasement itu adalah pusat perkebunan karena disitulah berkumpul rumah-rumah staf, kantor dan pasar.

Selama enam bulan aku belajar mengenal bidang tugasku dan menyesuaikan dengan situasi terpencil. Aku tidak menyangka di daerah terpencil seperti ini masyarakatnya ternyata tidak bisa dikatakan terbelakang. Malah menurutku lebih maju dari masyarakat kota besar. Paling tidak masyarakat di perkebunan tempatku ini sangat terbuka masalah sex.

Mandor-mandor bawahanku sering menawari aku cewek yang merupakan karyawan perkebunan, ada janda banyak juga yang gadis. Penjaga malam di rumahku kalau diajak ngobrol, ujung-ujungnya juga nawari cewek. Maklumlah mereka tau bahwa aku masih single dan bekerja di tempat terpencil yang tidak ada hiburan sama sekali kecuali teve satelit.

Semua tawaran itu belum ada satu pun yang aku terima, karena aku masih takut, mengingat aku masih baru, bukan apa-apa, aku takut nati malah terjebak. Namun kolegaku sesama staf sering mengajakku untuk menggarap karyawan-karyawan yang bisa diembat.

Para mandor pun banyak yang memamerkan perempuan-perempuan simpanan yang di daerah itu disebut gendakan. Kayaknya di perkebunan terpencil ini, hiburan satu-satunya adalah sex.

Di usiaku yang menjelang 26 tahun, tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan sex sering mendesakku. Sejauh ini aku hanya memanfaatkan dengan onani saja. Kalau hari-hari libur aku turun ke Medan dan di kota itulah aku puas-puaskan dengan wanita di sana.

Suatu hari kemudian mandorku menunjuk seorang karyawan cewek. Modelnya bahenol sehingga kelihatan sexy. Meskipun dia menggunakan kain jarik dan kaus oblong, tetapi tonjolan tubuhnya tidak bisa disembunyikan. Wajahnya lumayan ayu. Kata mandorku cewek itu janda, kalau aku berminat dia bisa atur menjadi pembantu di rumahku. Kayaknya menarik juga.

Cewek itu dipanggil oleh sang mandor lalu ditanya apakah mau bekerja sebagai pembantu di rumahku. Dengan mimik malu-malu dia mengangguk. Namun ada kendalanya dia tidak bisa pulang hari seperti pembantuku sekarang, seorang nenek-nenek yang rumahnya dekat dengan emplasement. Rumah perempuan ini jauh dari emplasemen, dengan demikian dia harus menginap atau tinggal di rumahku.

Sebenarnya memang itu yang aku harapkan. Kebetulan di rumahku ada disediakan kamar pembantu di belakang rumah.

Pembantu baruku itu bernama Yanti, umurnya sekitar 25 tahun, bahenol, janda belum punya anak. Dia sudah menjanda dua tahun dan kawin ketika masih umur 18 tahun. Entah mengapa suaminya meninggalkan begitu saja tanpa menceraikan. Kata Yanti suaminya merantau ke Medan dan kerja di sana.

Hari pertama Yanti kerja di tempatku aku agak canggung, karena aku sungkan pada penjaga malamku, yang selalu berada di sekitar rumahku pada waktu malam. Untuk menghilangkan rasa canggungku, sekitar jam 7 malam si Parno penjaga malam aku panggil masuk ke rumah. Aku jelaskan bahwa sekarang ada pembantu yang menginap jadi dia juga harus menjaganya.

Sedang aku asyik bicara dengan parno si Yanti masuk sambil membungkuk-bungkuk lalu mengawali pembicaraan dengan mohon maaf, bahwa dia takut menempati kamarnya di belakang. Yanti ternyata penakut. Dia bermohon-mohon tidur dengan tikar di ruang makan saja.

Aku tidak sampai hati jika dia tidur di ruang makan dengan beralaskan tikar. Aku beri dia kamar yang tidak terpakai di sebelah kamarku. Dia agak ragu, karena tampaknya dia takut pula menempati kamar itu.

Di kamar itu sudah tersedia tempat tidur single, lemari pakaian dan meja tulis. Yanti membereskan bajunya lalu masuk ke kamar itu. Namun dia tidak menutup pintunya. Ketika kuberitahu soal pintunya harus di tutup, Yanti beralasan takut tidur di kamar yang pintunya ditutup. Aku dan Parno saling liat-liatan dan tersenyum.

Jam 9 malam si Parno pamit keluar untuk tugas jaga malam. Aku perintahkan si Yanti mengunci semua pintu. Setelah itu dia kutawari menonton TV bersamaku di ruang tengah. Yanti serta merta bergabung bersamaku. Aku tanyakan dia ingin nonton film apa. Namun dia menyerahkan kepada aku dan dia ikut saja.

Jam 10 malam mata mulai mengantuk, Aku minta diri masuk duluan ke kamar karena ngantuk. Yanti wajahnya agak tegang, mungkin dia merasa sendiri, jadi muncul kembali rasa takutnya. Aku tanya apa dia takut kutinggal sendiri. “iya pak,” katanya.

Entah bagaimana prosesnya, tiba-tiba saja aku punya ide untuk minta dipijat. Ketika kutawarkan untuk memijatku, Yanti langsung menyanggupi dan dia mengatakan bahwa tidak terlalu pandai memijat.

Aku mengenakan sarung dengan celana dalam dan kaos oblong. Aku berbaring di tempat tidur yang lebar. Yanti yang malam itu mengenakan daster kuminta memulai dengan memijat kakiku. Dalam posisi telungkup Yanti mulai memijat kakiku bergantian kiri dan kanan. Lumayan juga pijatannya, paling tidak bisa melemaskan otot-ototku yang tegang.

Sambil memijat aku korek keterangan mengenai kehidupan pribadinya. Dia jadi terlarut bercerita panjang lebar mengenai kehidupan pribadinya. Kami jadi akrab dan Yanti makin terbuka.

Agak iseng kutanyakan mengenai selama menjanda apa gak kepengen kumpul seperti sama suaminya dulu.

“Ah bapak, ada-ada saja nanya gituan, ya pengenlah pak, tapi gimana orang janda gak punya suami, mau sama siapa pak,” katanya.

Aku tanya kenapa gak kawin lagi aja.

“Ah susah pak cari laki yang bertanggung jawab, banyakan maunya dijadikan gendak, mending kalau bagus orangnya, mana udah tua, paling-paling pangkatnya cuma mandor, seberapa sih pak duitnya jadi mandor, kok mau piara gendak,” kata Yanti.

Dia malah balik bertanya kenapa aku belum beristri. Aku jawab sekenanya saja bahwa belum ada yang cocok.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku