Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Takdir Cinta Gigolo Kampung

Takdir Cinta Gigolo Kampung

Fajar Merona

5.0
Komentar
5.5K
Penayangan
15
Bab

Sebuah sisi yang sangat diungkapkan dengan kata-kata biasa

Bab 1 Prologue

[JAUHI DELVIRA, ATAU NYAWA NENEK LU MELAYANG!]

Ancaman dari nomor misterius itu kembali masuk ke nomorku. Aku bisa menduga siapa yang berada di balik ancaman itu, tetapi seperti apa penampakan orangnya, masih goib.

Saat keluar dari gerbang sekolah, Mang Ali, pelayan warung nasi milik Pak Agung, mencegatku.

“Ada apa Mang?” tanyaku heran.

“Maaf, Lang. Di warung Pak Agung, ada dua orang yang nungguin kamu. Katanya ada urusan penting,” jawab Mang Ali.

“Siapa?” tanyaku makin heran. Seingatku hari ini tak ada janji bertemu dengan siapapun.

“Namanya Pak Hasto dan Mas Adian,” terang Mang Ali.

“Saya gak kenal mereka. Ada perlu apa ya?” selidikku.

“Kurang tahu, katanya sangat penting. Mendingan kamu temui dulu, biar semuanya jelas. Tapi sebaiknya hati-hati, karena sepertinya mereka sedang marah,” pesan Mang Ali.

“Oke, siapa takut, hehehe,” timpalku sambil terkekeh.

Aku dan Mang Ali beriringan menuju warung makan yang berjarak kurang lebih lima puluh meter dari sekolahku. Setelah sampai, aku masuk mengikuti Mang Ali menuju ruangan paling belakang. Warung nasi ini walau sederhana namun ruangannya cukup luas, biasanya selalu ramai, namun sore ini pengunjungnya tampak sepi.

Di salah satu meja sudut, terlihat dua orang lelaki sedang duduk. Yang terlihat tua, tatapannya sangat bengis, berkumis tebal mirip Adam Suseno, suaminya Inul. Posturnya tinggi dan gagah. Memakai jas hitam dipadu kemeja merah saga, aku duga dialah yang bernama Hasto. Sementara yang satunya lagi, masih muda, model pakaiannya tak jauh beda dengan Pak Hasto, hanya beda warna kemejanya. Aku duga dia yang bernama Adian.

“Ini Gilang, Pak,” ucap Mang Ali pada Pak Hasto sambil menunjuk dadaku dengan jempolnya.

“Terima kasih,” jawab Pak Hasto. Lalu Mang Ali pun berlalu meninggalkan kami.

“Asalamualaikum, selamat sore Bapak dan Mas?” sapaku santun sambil menyodorkan tangan mengajak mereka bersalaman. Namun orang yang kuduga bernama Hasto itu tak acuh. Ucapan salamku hanya dijawab pelan oleh lelaki mirip oppo korea itu, yang aku yakini bernama Adian. Namun dia juga tidak menerima uluran tanganku untuk bersalaman.

“Hmm, sopan juga ternyata kamu. Sejak kapan orang miskin bisa sopan begitu?” tanya Pak Hasto menohok. Dia bahkan tidak mempersilakan aku duduk.

“Maaf, Bapak dan Mas ini ada perlu dengan saya?” tanyaku to the point, malas basa-basi.

“Makanya sore-sore begini saya dan Nak Adian datang ke sini itu, karena ada perlu. Kamu benaran si Gilang anak kampung itu?” tanya Pak Hasto langsung nyolot, tatapannya kian menghujam jantung, intimidatif dan sangat merendahkan.

Tanpa disuruh, aku pun duduk di kursi berhadapan dengan mereka. Tak peduli lagi dengan etika, karena sepertinya orang tua beranam Hasto ini pun tidak peduli etika. “Ada perlu apa, kalau boleh saya tahu?” tanyaku masih sangat sopan, sambil berusaha tersenyum tipis dan menatap mata mereka bergantian.

“Kamu kenal siapa kami?” tanya Pak Hasto sambil menujuk dirinya dan Adian.

Aku menggelengkan kepala, biar mereka sendiri yang memastikan siap mereka yang sesungguhnya.

“Pantesan! Gembel miskin seperti dia mana mungkin kenal sama kita, Nak Adian!” sergah Pak Hasto sambil tersenyum sinis. Dan Adian pun ikut tersungging.

“Kenalkan, saya Profesor Doktor Hasto Saptomartono, SH. Paman merangkap bodyguardnya Delvira Faradiany Nurazizah. Dan ini, Adian Dewangga Putra Manggala, tunangannya Delvira. Jelas?”

“Jelas Pak, salam kenal, saya Gilang.”

“Nak Adian ini, pengusaha muda yang sukses. Ahli waris konglomerat ternama. Pemilik beberapa hotel bintang enam di Pulau Dewata dan Labuhan Bajo. Dia juga owner beberapa perusahaan multinasional yang super bonafied!” sambung Pak Hasto tanpa merespon salam kenalku.

Ternyata benar ucapan Intan. Keluarga Delvira, bermulut besar, super songong, tidak segan-segan menghina, merendahkan dan menyakiti orang yang tidak mereka sukai, beda jauh dengan Delvira. Ini baru paman dan tunangannya, bagaimana dengan orang tua dan kakak-kakanya yang kata Intan sombongnya melebihi langit?

“Salam kenal semuanya, saya Gilang Gerhana, temannya Delvira.” Kembali aku memperkenalkan diri, karena yang tadi tidak dianggap.

“Sudah tahu! Dan karena itulah kita bicara enam mata saat ini, untuk menyelesaikan segala permasalahan yang diakibatkan oleh kamu, Gilang!” sergah Pak Hasto makin bengis.

“Oh ya? Silakan, Pak!” jawabku tegas namun kalem, walau dadaku mulai bergemuruh, jantung dag-dig-dug, darah mendidih namun tetap berusaha tidak terpancing. Aku menduga mereka adalah manusia bejad yang sering mengirim pesan teror dalam beberapa hari terakhir ini.

Sejatinya aku sangat siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Gilang bukanlah lelaki pecundang yang akan berlari diajak berperang. Gilang cucu kesayangan Mak Erat yang sakti dan baik hati. Gilang cucu almarhum Mbah Ahmadi, Jawara Kampung yang semasa hidupnya rajin mengajariku berbagai macam ilmu bela diri dan kedigjayaan.

Berhadapan dengan manusia-mansuia sombong sekelasnya Hasto, Adian atau Janggar, jauh lebih mudah dibanding menghadapi orang santun, kalem dan penyabar. Manusia sombong mudah terpancing emosi, gegabah dan grasa grusu, pendendam sehingga akan jatuh dengan sendirinya tanpa harus repot-repot dijatuhkan.

“Gilang! saya tegaskan sama kamu. Mulai detik ini, kamu tidak boleh mendekati Delvira. Memangnya kamu belum pernah lihat rumah orang tua Delvira seperti apa? Harusnya kamu ngaca dan tanya dirimu sendiri. Pantes tidak gembel seperti kamu berteman dengan anak konglomet?”

Ucapan Pak Hasto yang menjijikan itu, sontak membuatku sedikit terperangah dan kebahisan kata-kata. Tak menduga, ternyata keturunan Fir’aun yang sombongnya nauzubillah itu benar-benar masih berkembang biak di Bumi Nusantara tercinta ini.

“Ya, lantas?” tantangku kepalang tanggung.

“Mulai saat ini, kamu terlarang kenal, apalagi mendekati Delvira! PAHAM!”

“Paham, Pak!”

“Bagus. berarti kamu sadar diri. Coba kamu perhatikan Nak Adian ini. Dia jauh lebih pantas menjadi pendampingnya Delvira. Kamu bahkan jadi jongosnya Nak Adian pun, tidak pantas.”

“Iya Pak,” jawabku sambil mengangguk kecil. Berusaha menahan diri agar tidak terpancing. Namun aku pun tidak mau terlihat ketakutan oleh manusia yang sepertinya terlalu banyak makan uang haram, hingga hatinya membatu dalam kesombongan.

“Saya sangat paham dan sama sekali tidak keberatan!” jawabku kalem.

“Bagus. Memang orang miskin tidak perlu mengajukan keberatan. Menanggung hidup kamu saja sudah berat. Kalau kamu gak disumbang sama orang, mana bisa hidup. Anak janda miskin bisa apa?”

“Ya, silakan Bapak sampaikan pada Delvira, agar dia tidak mendekati saya lagi. Karena sesungguhnya saya tidak pernah meminta dia menjadi teman saya, tapi Delvira sendiri yang memaksa saya untuk menjadi temannya.” Dengan nada yang kalem aku menyampaikan fakta yang sebenarnya.

BRAK!

Tiba-tiba Pak Hasto menggebrak meja.

“BULSHIT!” bentaknya, “Justru kamu selalu ngejar-ngejar Delvira untuk numpang hidup. Kamu manfaatkan kecerdasan akademikmu untuk memoroti uang Delvira, iya kan?”

“Tidak!” sangkalku masih tenang.

“GAK PERLU MUNAFIK! LU MAU MOROTIN UANG KEPONAKAN GUA, KAN?” maki Pak Hasto cukup keras seolah sengaja agar semua orang mendengarnya. Dan memang semua orang pun sontak menolehkan wajah, memandangku curiga atau mungkin iba.

“Sekali lagi saya sampaikan. Bukan saya yang mengejar-ngejar Delvira, tapi dia sendiri yang memaksa ingin jadi pacar saya!”

BRAK!

Kembali Pak Hasto memukul meja, “JAGA MULUT LU, BEDEBAH!” bentaknya.

“Om, tahan emosinya, Om!” Adian yang sejak tadi hanya diam, berusaha menenangkan calon paman iparnya. Memegangi lengan kanan Pak Hasto yang hendak menamparku.

Sejatinya aku tidak takut dengan gertakannya. Sangat siap menangkis segala serangannya, bahkan jika harus berduel lawan dua sekalian pun. Sudah lebih dari setangah tahun tidak berduel dan menjatuhkan manusia-manusia sombong seperti Hasto ini.

“Sudah! Kamu gak usah banyak omong, Gilang!” ucap Pak Hasto agak pelan dan terdengar gusar. “Pokoknya saya gak suka kamu dekat dengan keponakan saya, titik!” sambungnya tegas namun tidak berteriak.

Aku mencoba tersenyum, agar dia memahami jika sikapnya sangat tidak etis, tidak layak dipertontonkan kepada siapapun. Dia juga tidak perlu merasa dirinya sebagai manusia yang semua keingannya harus dipenuhi, atau merasa semua orang harus takut pada dirinya. Ini saatnya aku menunjukan, jika Gilang bukanlah seorang pecundang.

“Pak Hasto, saya berteman dengan Delvira atau siapapun, itu karena mereka yang mau berteman duluan. Saya tidak punya hak melarangnya. Saya tahu Delvira sudah punya calon, tapi mengapa dia masih ngejar-ngejar saya?” ejekku untuk membuat Pak Hasto makin kebakaran bulu hidungnya.

Delvira pernah cerita, jika dia memang sudah dijodohkan dengan Adian, namun hatinya menolak, karena Adian dicurigai sebagai lelaki bertulang lunak. Dia bahkan pernah bercanda, jika mata Adian sangat berbinar ketika melihat fotoku yang hanya mengenakan celana renang saat sedang praktik olah raga. Foto itu pun diambil oleh Delvira dari hapenya Imron.

BRAK!

Untuk ketiga kalinya Pak Hasto memukul meja.

“HEH! GEMBEL KAMPUNG! LU JANGAN COBA-COBA NGEHINA ATAU NGATUR-NGATUR HIDUP DELVIRA!” bentaknya kembali lepas kontol dan aku rasa sangat tidak nyambung.

“Om, sabar Om. Ingat, kita sedang di tempat umum!” Adian tampaknya mulai risau.

Mungkin Adian malu atau takut, karena beberapa orang sudah berdiri dan siaga untuk melerai, bahkan mungkin membelaku. Mereka rata-rata kenal denganku, terlebih lagi para pegawai warung ini semuanya sudah sangat akrab denganku. Dua diantaranya murid bela diriku.

“Nak Adian, manusia keparat seperti dia, tidak perlu dikasih hati. Bisa-bisa makin ngelunjak!” sergah Pak Hasto tak mau mengalah.

“Iya saya paham, Om. Bolehkah saya bicara empat mata dengan Gilang?” pinta Adian pada Pak Hasto.

“Kamu mau ngomong apa sama gembel ini? Om, sudah menyelidiki siapa si Gilang sebenarnya. Dia tidak lebih hanya cucu janda miskin, yang bahkan silsilah orang tuanya pun gak jelas! Bisa jadi, sebenarnya dia ini anak pelacur yang dibuang. Jadi buat apa kamu harus bicara dengan anak haram ini!”

BRAK!

Kepalan tanganku tak sadar menghantam meja makan di depan kami.

“JAGA BACOT LU, ANJING HASTO!” bentakku sambil menujuk wajah Pak Hasto. Kali ini aku tidak bisa lagi pura-pura sabar dan mengalah.

“HEI STOP! STOP! JANGAN BIKIN KERIBUTAN DI SINI!” teriak sesorang dan tak lama kemudian beberapa orang mengerubuti kami, menarik tubuhku menjauh dari meja itu.

“HASTO, LU BOLEH HINA GUA! TAPI JANGAN PERNAH NGEHINA IBU DAN NENEK GUA, ANJING!” Aku terus teriak-teriak memaki dan menantang Pak Hasto yang didorong keluar dari warung oleh beberapa orang. Aku memang tidak tahu siapa sebenarnya ayah kandungku, tetapi yang pasti, ibuku bukan pelacur.

“Sabar Gilang! Sabar!” Pak Agung sang pemilik warung, memeluk tubuhku berusaha menenangkan aku yang meronta-ronta.

‘TUNGGU PEMBALASAN GUA, ANJING HASTO!” teriakku sambil menahan geram dan gejolak darah yang mendidih dalam sekujur tubuhku.

^*^

Orang sering bilang, jangan menilai buku dari covernya. Sampul bagus belum tentu isinya. Pepatah itu mungkin berlaku juga buat diriku. Di balik wajahku yang tampan, imut nyaris tanpa dosa, bentuk tubuh atletis proporsional, serta senjata andalan yang mendebarkan, tersimpan sejuta misteri yang sulit diterjemahkan. Goodboy or Badboy?

Banyak orang berkata jika cinta itu seperti cappuchino. Enak diminum pada saat panas, tapi resikonya cepet habis. Kalau gak mau cepet habis, diminumnya pelan-pelan, tapi resikonya keburu dingin. Cinta memang bisa ngebuat hidup kita selalu jadi serba salah namun berwarna, nikmat dan indah, tidak terkecuali ‘Takdir Cinta Gigolo Kampung.’

Selamat menikmati petualangan gila yang akan sangat mendebarkan semua orang.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku