Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Nakal Ayah Temanku

Gairah Nakal Ayah Temanku

Fajar Merona

5.0
Komentar
456.5K
Penayangan
344
Bab

Harap bijak dalam menentukan bacaan. Khusus Dewasa

Bab 1 Gairah Nakal

Jesika adalah nama gadis cantik itu. Gadis yang kini sedang duduk di lobi salah satu hotel berbintang yang berada di pusat kota. Diantara gadis-gadis lain yang kebetulan ada disana, Jesika memang terlihat lebih mencolok. Parasnya yang cantik alami pastilah membuat laki-laki tergoda untuk meliriknya.

Termasuk beberapa laki-laki yang kebetulan juga berada disana. Tidak sedikit diantara lirikan tersebut sempat beradu dengan tatapan Jesika. saat itu terjadi diantara mereka ada yang melempar senyuman, ada pula yang langsung tertunduk malu. Sebuah hal yang biasa bagi Jesika, sehingga ia terlihat tidak terlalu terganggu karenanya.

Jesika mengalihkannya pandangan dari layar smart phone yang dipegangnya. Matanya melirik lagi ke arah laki-laki paruh baya yang duduk beberapa meter didepannya. Tatapan laki-laki itu masih ke arah yang sama seperti saat tadi pertama kali ia memergokinya. Tatapan nanar ke arah kedua pahanya. Ekspresi ‘mupeng’ tergambar jelas diwajahnya. Keberadaan sang istri disampingnya seakan dianggapnya tak ada.

“Huuupt...”

Jesika merubah posisi duduk dengan menyilangkan kedua kakinya. Mengunakan tas jinjing ia menutup celah diantara rok jeans pendek yang dipakainya. Perhatiannya pun kembali tertuju kepada sosial media yang tadi sempat teralihkan. Sebenarnya Jesika tidak masalah apabila laki-laki paruh baya itu ingin menikmati apa yang ada di balik roknya, asalkan ada kompensasi yang cocok.

Kompensasi? Iya, kompensasi berupa uang.

Di balik profesinya sebagai mahasiswi semester akhir, Jesika juga memiliki profesi lain sebagai wanita penggilan kelas atas alias lady escort. Profesi ini sudah ia jalani cukup lama, hampir sejak awal ia mulai menyandang gelar sebagai mahasiswi. Jika anda ingin saya membuka paha, maka kuraslah isi dompet anda.

Itulah persyaratan yang ditetapkan Jesika. Jesika tidaklah kebetulan berada di hotel berbintang itu. Di hotel itu Jesika sedang menunggu laki-laki yang memiliki cukup modal untuk memenuhi persyaratannya. Entah apa yang mendasari ia menjalani profesi ini.

Faktor ekonomi? Oh tentu tidak.

Jesika bukanlah tergolong gadis yang berasal dari keluarga berkekurangan secara ekonomi.

Faktor sosial? Jawabannya tidak juga.

Jesika tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan untuk menjerumuskannya kepada profesi tersebut. Mungkin untuk alasannya, biarlah gadis cantik itu saja yang mengetahuinya sendiri.

Beberapa menit menunggu akhirnya ponsel yang dipegangnya berbunyi. Jesika menekan tombol jawab. “Halo.”

“Kamu dimana?”

“Jesika udah di lobi nih Om.”

“Udah lama nunggu? Maaf tadi Om kejebak macet.”

“Gak apa-apa kok Om,” sahut Jesika.

“Kalau gitu kita ketemu di resepsionis aja, gimana?”

“Oke Om.”

Jesika menutup ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sebelum berdiri, sekali lagi Jesika melirik ke arah laki-laki dihadapannya. Masih dengan tatapan yang sama, masih dengan ekpresi yang sama. Dengan sengaja Jesika membuka sedikit lebar kedua paha saat mengembalikan silangan kakinya.

Jesika kembali membuka kedua pahanya saat memperbaiki posisi high heel yang dipakainya. Hanya saja kali lebih lebar dari sebelumnya. Semua gerakan itu sengaja ia lakukan dengan pelan dan perlahan. Jesika tahu benar kalau posisi kakinya saat ini membuat apa yang seharusnya tidak terlihat, menjadi terlihat.

Lirikan Jesika berubah menjadi tatapan tepat saat laki-laki itu mengalihkan arah pandangannya. Kedua mata mereka beradu. Ekspresi laki-laki itu mendadak berubah tegang. Oke cukup, pikir Jesika. Diapitkan kembali kedua pahanya, lalu gadis cantik itu berdiri.

Laki-laki itu terlihat semakin tegang ketika Jesika berjalan menuju ke arahnya dan melempar senyuman. Laki-laki itu menjadi salah tingkah karena perbuatan nakalnya ketahuan. Melihat Jesika yang tersenyum kepada suaminya, si istri langsung melengos dan mencubit paha suaminya.

“Rasakan itu,” gumam Jesika dalam hati.

Jesika dengan santainya berjalan melewati pasangan tersebut. Sekilas gadis cantik itu bisa mendengar sang istri menghardik suaminya. Guratan kepuasan terpancar di wajah Jesika. Paling tidak disaat yang sama ia mendapat pahala karena menghilangkan rasa penasaran laki-laki itu, sekaligus memberikan sedikit ‘pelajaran’ atas kenakalannya. Ia pun terus melanjutkan langkahnya menuju resepsionis.

“Jesika?” tanya seorang laki-laki yang berpenampilan necis di depan meja resepsionis.

“Pak Ganwa?”

“Waw ternyata benar kata teman Om, kamu cantik sekali.”

“Terima kasih,” ucap Jesika singkat sambil tersenyum. Mungkin pujian seperti ini sudah terlalu sering ia dengar, sehingga bukanlah sesuatu yang luar biasa untuk Jesika.

Laki-laki yang dipanggil Pak Ganwa itu berperawakan semampai. Agak terlihat pendek dibanding postur tubuh Jesika yang saat itu memakai high heel. Beberapa helai rambutnya sudah tampak memutih metampakkan kematangan usia – kalau tidak boleh disebut tua. Belum lagi kerutan-kerutan di wajahnya menambah kesan ‘tua’ tersebut.

Dari segi wajah, Pak Ganwa ini jauh dari yang dapat didefisikan sebagai tampan. Menurut informasi dari ‘klien’ langganan Jesika yang memperkenalkan mereka, Pak Ganwa ini adalah seorang pengacara. Ini juga terlihat dari setelan jas hitam yang dipakainya saat itu. Setelan itu jelas terlihat mahal.

Tapi wajah dan penampilan bukanlah yang utama. Di mata Jesika yang utama adalah si ‘klien’ bisa memenuhi standar harga yang ditetapkannya, itu saja.

“Kamu tunggu sebentar, biar Om nyelesaiin administrasinya dulu.”

Jesika hanya mengangguk. “Silakan.”

Sambil menunggu Pak Ganwa menyelesaikan urusannya, Jesika melihat-lihat dan berjalan-jalan ke sekitar. Ada sepasang turis asing di sampingnya terlihat sedang menyelesaikan pembayaran untuk check out. Dia mengambil brosur hotel yang disediakan di sudut meja resepsionis.

Jesika berdecak kagum dengan harga kamar hotel yang tertera di brosur. Pak Ganwa ini pastilah berdompet tebal sampai mampu mengajaknya ke hotel dengan tarif setinggi ini. Jesika terkesan.

“Oke sudah, yuk kita ke kamar.”

Jesika meletakkan brosur itu kembali dan mengikuti langkah Pak Ganwa menuju lift. Tak lama pintu lift terbuka. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift yang kebetulan kosong.

“Kamu gak kuliah hari ini?” tanya Pak Ganwa.

“Gak Om, Jesika udah gak kuliah tinggal nyusun.”

“Oh dikit lagi wisuda dong?”

“Iya kalau lancar Om.”

“Sudah bab berapa?”

“Masih bab dua sih, Om.”

Percakapan mereka terhenti ketika pintu lift di depan mereka terbuka. Terkejutlah Jesika ketika melihat seorang laki-laki yang berdiri diluar lift. Laki-laki itu sepertinya hampir sebaya dengan Pak Ganwa. Saat itu ia terlihat sedang menggandeng seorang gadis. Tidak kalah mengejutkan lagi adalah kalau ternyata Pak Ganwa juga mengenal laki-laki paruh baya tersebut.

“Hei Pak Lukman, kok udah keluyuran jam segini,” sapa Pak Ganwa menyapa laki-laki itu sambil menepuk pundaknya.

“Eh Pak, Bapak sendiri ngapain di sini?”

Pak Ganwa dan laki-laki itu berjabat tangan. Keduanya tertawa bak kenalan lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dilain pihak Jesika tampak panik. Dia berusaha memalingkan wajahnya, walaupun dia tahu kalau usahanya itu pastilah sia-sia belaka.

“Biasalah nyalurin hobby, hahaha.” Pak Ganwa melepaskan jabatan tangan mereka.

“Cewek baru lagi nih? Hahaha,” tanya Pak Lukman

“Rekomendasi temen, gak enak kalau gak dicoba, hahaha,” timpal Pak Ganwa.

“Sama dong, saya juga habis nyoba rekomendasi temen, nih.” Jawaban enteng dari Pak Lukman. Sepertinya dia juga baru selesai menyalurkan hobbynya.

Ketika mata Pak Lukman menatap ke arahnya, Jesika ibarat terkena petir di siang bolong. Keduanya terlihat kaget, sangat kaget. Pak Lukman tampak kikuk sama halnya dengan yang dirasakan Jesika saat itu. Keduanya ternyata memang saling mengenal.

Laki-laki paruh baya itu adalah Pak Lukmansyah atau biasa ia panggil Pak Lukman. Pak Lukman adalah ayah dari Felisia, sahabat karibnya di kampus. Jesika dan Felisa sudah bersahabat karib sejak SMA. Baik Jesika maupun Felisia sudah saling mengenal keluarga masing-masing dengan sangat dekat. Jesika bahkan cukup akrab dengan Rifky adiknya Felisa yang kini masih SMA.

Jesika sudah terbiasa menginap di rumah Felisia, demikian pula sebaliknya. Jadi, Pak Lukman bukanlah sosok yang asing bagi Jesika. Di mata Jesika, Pak Lukman seorang ayah yang simpatik dan kebapakan. Jauh sekali dari kesan laki-laki mata keranjang yang suka mencicipi gadis-gadis muda.

Kini dia mendapti langsung jika Pak Lukman sedang menggandeng seorang gadis muda. Jesika sangat yakin jika ayah temannya itu baru selesai menikmati kehangatan tubuh gadis yang sedang digandengnya itu. Gadis yang dia sangka usianya lebih pantas jadi adiknya Felisa, atau pacarnya Rifky, adiknya Felisia.

Tak kalah terkejutnya dengan Jesika, Pak Lukman juga berpikiran yang sama. Di mata Pak Lukman, Jesika adalah sosok gadis muda yang baik dan cerdas. Memang dia dan putrinya sering pergi menghabiskan malam di klub atau sekedar hang out, namun itu dinilainya masih pada batas-batas kewajaran.

Hampir tidak ada secuil pun dalam pikiran Pak Lukman kalau Jesika adalah seorang gadis yang bisa di-booking. Memang dia tidak bisa begitu saja menuduh Jesika demikian. Namun dia cukup tahu tabiat mesum rekannya, Pak Ganwa.

Apakah Jesika salah satu wanita sampanan Pak Ganwa? Mungkin saja, namun kali ini bukanlah saat yang tepat bagi Pak Lukman untuk mencari tahu kebenarannya.

“Eh kenapa kamu, Luk, kayak gak pernah liat cewek cantik aja, heheheh.” Pak Ganwa kembali menepuk pundak Pak Lukman.

Pak Lukman tersadar dari lamunannya. Sambil tergagap dia hanya menjawab singkat, “Saya musti buru-buru ke kantor lagi nih Pak, ada meeting setengah jam lagi.”

“Oke lah, entar kabar-kabar kalau ada barang yang fresh ya, hehehehe,” timpal Pak Ganwa cengengesan. Sementara Pak Lukman hanya tersenyum kecil.

Lalu dengan wajah yang masih menunjukkan kekikukan, cemas dan khawatirnya, Pak Lukman menggandeng tangan gadis belia usia SMA di sebelahnya itu masuk ke dalam lift.

Jesika menghembuskan napas lega. Paling tidak saat itu baik Pak Lukman maupun dirinya tidak saling membuka identitas, walaupun keduanya sudah pasti tidak bisa mengelak setelah ini. Mereka berdua tidak menyangka akan bertemu dalam situasi seperti ini.

Untungnya saja mereka bisa kompak bersandiwara untuk berpura-pura tidak saling mengenal. Dalam hati Jesika terbersit rasa was-was apabila harus bertemu lagi dengan Pak Lukman setelah kejadian ini.

“Yu!” ajak Pak Ganwa.

Jesika sedikit terkaget namun cepat bisa mengusai diri. Dengan tersenyum, gadis cantik itu menerima rangkulan Pak Ganwa dan berjalan menuju kamar.

Pasca masuk ke dalam kamar tak banyak yang bisa diceritakan. Seperti layaknya ‘klien’ berumur lainnya, Pak Ganwa tidak sejago bicaranya ketika beradu di atas ranjang. Bahkan Jesika harus berusaha ekstra keras untuk membuat ‘senjata’ Pak Ganwa siap tempur.

Untuk pelanggan berusia muda, mungkin hanya dengan membuka pakaian saja sudah mampu membuat mereka tegang. Namun untuk Pak Ganwa, bahkan kocokan dan kuluman dalam keadaan telanjang bulat pun, ternyata tidak mempan untuk membuatnya ereksi. Sampai akhirnya ketika ‘senjata’ itu berhasil dibangunkan, beberapa goyangan pinggul Jesika dengan cepat membuatnya muntah dan tidur kembali.

“Gak apa-apa kok Om, mungkin Om lagi capek.” Akhirnya Jesika harus membesarkan hati sang ‘klien’ ketika lelaki berusia hampir senja itu meminta ronde kedua, namun tak kunjung mampu melakukannya.

Jesika sampai harus memberikan kocokan dan kuluman ekstra atas permintaan Pak Ganwa, namun semuanya sia-sia. Pemainan birahi itu pun berunjung dengan Jesika yang tampak seperti seperti baby sitter yang sedang menyusui bayi besarnya. Bayi besar bernama Ganwa Garninda Nusantara.

“Om masih boleh kan nelpon kamu lagi, Jes?” tanya Pak Ganwa.

“Boleh dong Om, boleh banget,” sahut gadis cantik itu begitu selesai memakai kaos ketat model tanktopnya.

“Boleh Om minta cium?” pinta kolega Pak Lukman itu.

Jesika tersenyum dan berjalan mendekati Pak Ganwa yang masih duduk telanjang di atas ranjang. Diciumnya bibir lelaki tua itu dengan cukup lama, kemudian diakhiri dengan sapuan lidah. Jesika juga membiarkan sejenak Pak Ganwa meremas-remas payudaranya sebelum mereka berpisah.

Untuk uang sebanyak yang diserahkan Pak Ganwa, hari ini termasuk kerja yang sangat ringan bagi Jesika.

Dengan uang sebanyak itu, untuk sementara Jesika bahkan dapat melupakan pertemuannya dengan Pak Lukman. Namun itu hanya untuk sementara saja. Jesika sangat meyakini ayah Felisia, sahabatnya itu akan menghubunginya di lain waktu. Jesika terpaksa menyusun rencana agar semua tidak terjadi.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku