Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Wanita Penggoda

Wanita Penggoda

Syatizha

5.0
Komentar
15.4K
Penayangan
45
Bab

Wulandari, wanita berasal dari Desa ingin mengadu nasib ke ibukota. Tujuannya hanya satu ingin mengubah kehidupan perekonomian keluarganya yang kerap kali mendapat hinaan dan caci maki dari warga desa. Berhasilkah Wulan mengadu nasib di ibu kota?

Bab 1 Keinginan

Memiliki paras yang cantik dan fisik nyaris sempurna tidak lantas membuatku bahagia.

Namaku Wulandari, anak pertama dari empat bersaudara. Aku adalah satu-satunya anak perempuan di keluarga ini. Keluarga yang kerap kali dihina dan tak jarang mendapat perlakuan rendah orang-orang sekitar, hanya karena tidak memiliki harta berlimpah dan banyak hutang.

Bapak yang kupanggil Abah bekerja serabutan. Itu pun kalau sedang mau. Lebih sering berpangku tangan, mengandalkan Ambu yang bekerja sebagai buruh cuci pakaian di rumah Pak Lurah.

“Abah mau bertani. Gak mau bekerja!” tukas Abah saat Ambu mulai menyuruhnya mencari nafkah.

“Atuh Bah kalau bertani mah harus punya sawah. Emang kita teh punya sawah?” sahut Ambu penuh nada kesal.

Istri mana yang tidak kesal, melihat suami yang setiap pagi kerjanya duduk di bale sembari minum kopi dan merokok.

“Sudahlah, masih pagi udah ribut. Malu atuh sama tetangga Ambuuu ....”

“Yang kudu malu itu Abaaaah

... jadi suami gak ada tanggung jawabnya!”

Adu mulut itu hampir tiap hari terjadi. Aku dan adik-adik sudah tidak terlalu mempedulikan.

Selesai memandikan Ujang dan Asep, aku bergegas mengambil pakaian mereka. Memakaikannya satu persatu. Sedangkan Jaka adik pertamaku, menginap di rumah temannya. Usia Jaka sudah empat belas tahun, dia hanya tamatan SD. Ujang masih berumur satu tahun, sedangkan Asep empat tahun. Aku sendiri baru tamat SMA setahun lalu, itu pun dibiayai pemerintah. Karena termasuk siswa yang cerdas.

“Neng ... Neng Wulaaan ....”

“Iya Ambu?”

“Ini uang 30 ribu. Belikeun beras sama telur. Buat nanti makan.” Suara Ambu setengah berbisik.

“Jangan sampe ketauan sama Abah. Bisa-bisa dibeliin kopi sama rokok.” Aku mengangguk lalu menyimpan uang pemberian ibu.

***

Tak lama setelah Ambu pergi ke rumah Pak Lurah, aku pun ke warung untuk membeli pesanan Ambu.

“Mau ngutang lagi, Lan?” tanya Teh Mirna pemilik warung sembako dengan ketus. Ibu-ibu yang sedang berbelanja di warung menoleh ke arahku.

“Enggak. Ini Wulan bawa uang. Telur seperapat sama beras seliter ya teh?”

“Mana coba uangnya?” Wajar kalau Teh Mirna tidak percaya. Karena hutang keluargaku sudah berlembar-lembar di buku catatan hutang milik Teh Mirna. Aku memperlihatkan dua lembar uang kertas ke hadapannya.

“Lan, kamu kan lulusan SMA. Kenapa gak kerja di kota aja? Lumayan kan bantu-bantu Ambu kamu.” Celetuk Teh Zulfa yang tiba-tiba sudah berada di sampingku.

“Iya ih, komo punya badan bagus, wajah cantik. Uluuh pasti gampang atuh cari kerjanya.” Giliran Teh Yati ikut nimbrung. Aku masih enggan menanggapi.

“Jadi artis dangdut wae atuh Lan. Milu sama si Kang Heri. Kalau mau, nanti teh Zulfa yang ngomong.”

“Nih, belanjaannya. Telur delapan rebu, beras sepuluh rebu. Jadi delapan belas rebu.” Ujar Teh Mirna dengan suara yang jauh dari kata ramah. Aku menyerahkan uang berwarna hijau.

“Kamu mah Lan ... diajak ngobrol teh diam aja.” Protes Teh Yati.

“Si Wulan mah males. Cantik-cantik pemales. Makanya gak pada mau punya mantu kayak si Wulan! Cantik juga percuma, ditinggal kawin terus sama pacarnya. Ya iyalah, orang si Wulan mah males pisan.” sahut pemilik warung menyerahkan kembalian dua ribu.

“Kalau Wulan kerja, Ujang sama Asep siapa yang jaga?” Akhirnya aku buka suara. Sebenarnya ingin sekali kusumpal mulut-mulut mereka. Tunggu saja, suatu saat nanti aku pasti jadi orang kaya. Banyak uang! Tekadku dalam hati.

“Segala mikiran budak dua eta. Kan aya Abah kamu Lan. Ah emang wae keluarga pemalas. Sukana teh ngutaaang ka unggal jelema.(Segala mikirin anak dua itu. Kan ada Abah kamu Lan. Ah emang keluarga pemalas. Sukanya ngutang ke setiap orang.)” Mendengar ucapan Teh Marni darahku mendidih. Menahtapi apa yang mereka katakan ada benarnya.

Setelah mengambil uang kembalian dua ribu, aku memilih pergi meninggalkan mereka. Samar-samar terdengar omongan. Semuanya bernada mengejek dan merendahkan.

***

Buruh cuci yang Ambu lakukan hanya dikasih upah tiga puluh ribu perhari. Kalau ditambah dengan menyetrika dikasih upah delapan puluh ribu.

Aku tidak seperti gadis desa lain. Keseharianku hanya dirumah menjaga adik-adik. Sudah malas juga bergaul dengan anak-anak sebaya di desa ini.

“Mendingan aku tuh Lan. Walaupun gak secantik kamu tapi udah punya pacar.” Ujar Maesaroh suatu ketika.

“Kasihan kamu Lan, punya wajah cantik gak ada guna. Sekalinya punya tunangan malah ditikung sahabat sendiri. Tapi wajar sih, si Cecep pilih si Minah. Minah kan orang tuanya punya sawah banyak. Lah kamu? Cuma punya banyak hutang. Hahahaha.” Perkataan teman-temanku terdengar kembali.

Usia belasan tahun gadis di desaku sudah menikah. Sebenarnya dua bulan lalu, ada juragan tanah dari kecamatan lain yang ingin melamar. Tapi Ambu tolak karena laki-laki yang seumuran Abah itu telah memiliki istri.

“Jangan Neng. Walaupun dia kaya raya, kalau punya istri lebih baik ditolak. Neng juga ngerasain kan rasanya dia khianati pacar? Apalagi dikhianati suami?” Itu ucapan Ambu yang selalu kuingat.

“Kamu memang harus menikah dengan laki-laki yang kaya raya, tapi jangan yang sudah beristri Neng. Ambu lebih baik punya mantu duda tapi banyak uang.” Canda Ambu suatu malam. Aku hanya meringis.

***

Seperti malam-malam sebelumnya, mataku enggan terpejam. Keinginan menjadi orang kaya raya semakin kuat.

“Pokoknya aku harus menjadi orang kaya. Sudah cukup mereka menghina keluargaku.”

Tiba-tiba aku teringat obrolan Kang Sukri dan Kang Dandi di pos ronda.

“Cuma bertapa seminggu di gunung Kawi, balik dari sana si Mardun jadi banyak uang. Edan!”

Apakah aku juga harus ke sana?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Syatizha

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku