5.0
Komentar
33K
Penayangan
56
Bab

Elang terpaksa menikahi Huri demi melunasi utang ibunya pada orang tua Huri. Padahal Elang berstatus suami dari Kiya. Berhasilkah Elang menjalani perannya sebagai suami yang memiliki dua istri?

Bab 1 Utang Ibu

"Bu ... darimana kita mendapatkan uang sebanyak ini? Dan ... uangnya Ibu pakai untuk beli apa? Perabotan rumah Ibu biasa aja. Semua Elang yang belikan. Emas juga Ibu hanya pakai satu cincin dan itu pun Elang yang beli saat lebaran dua tahun lalu. Terus ini? Lima puluh lima juta uangnya Ibu pakai untuk apa?" lelaki berusia tiga puluh tahun itu terduduk pasrah di kursi ruang tamu ibunya. Secarik kertas tagihan berada di tangannya. Tagihan yang dia tidak tahu kapan ibunya meminjam dan ke mana larinya uang itu.

"Lang, Ibu'kan kreditin barang-barang sama tetangga kanan kiri. Awal-awal bayarnya pada benar. Jadi, Ibu pinjam ke Bu Rima, karena cepat cairnya. Kalau pinjam ke bank, Ibu harus pakai jaminan. Eh, malah orang yang kredit ke Ibu bayarnya pada susah. Ada yang kabur, ada yang ngeles mulu. Gak bisa ditagih pokoknya. Jadi, Ibu juga kredit macet bayarnya ke Bu Rima" jawab Bu Latifah tanpa berani menatap wajah anak lelaki satu-satunya.

Elang meremas rambutnya kasar. Kopi buatan ibunya yang selalu menjadi kopi terbaik di mulutnya, menjadi tidak menarik. Asap sudah tidak mengepul di atasnya, menandakan minuman itu telah dingin untuk beberapa jam lamanya. Bu Latifah mencuri pandang menatap anaknya. Ada perasaan bersalah menyelimuti hatinya, tapi wanita itu tidak punya pilihan. Elang yang selalu menghormati dan tidak pernah sekalipun membantah ucapannya. Pasti kali ini pun sama.

"Bu, Ibu tahu'kan kerjaan Elang hanya tukang servis AC, TV, dan kulkas? Semua masih menjadi tanggungan Elang, Bu. Darimana Elang bisa membayar utang Ibu lima puluh lima juta dalam waktu satu minggu. Jikalau mati pun, uang takziah dari tetangga belum bisa membayar utang Ibu yang sebanyak ini." Elang merengek pada ibunya. Belum lama dia harus membayar sewa toko servisnya sebesar dua juta sebulan. Kontrakan ibu dan juga kontrakannya bersama istrinya. Biaya hidup lainnya, semua dia yang harus usaha. Lalu, apa yang harus dia lakukan? Merampok? Begal?

Bu Latifah menggigit bibirnya. Wanita itu juga nampak gelisah dengan memilin ujung baju batik yang dia kenakan. Untuk beberapa saat, tak ada satu pun dari keduanya yang bersuara. Wajah Elang pucat dengan bahu yang melemah. Kepalanya ia sandarkan di punggung kursi, seraya memejamkan mata.

"Begini, Lang. Bu Rima menawarkan solusi." Seketika Elang duduk tegak. Memandang ibunya dengan tatapan penasaran.

"Apa itu, Bu?" tanya Elang. Lelaki itu menggeser duduknya agar lebih dekat dengan ibunya.

"Kamu menikahi Huri. Putri bungsu Bu Rima." Suasana hening seketika.

"Ha ha ha ... Saya jual diri untuk bayar utang Ibu? Astagfirulloh, Bu. Saya anak Ibu satu-satunya dan udah punya istri. Ada Kiya istri saya, Bu. Duh, Ibu ... jangan aneh-aneh deh!" Elang masih tergelak sambil menggelengkan kepalanya. Tenggorokannya mendadak kering karena ucapan orang tua yang tidak masuk akal. Diraihnya cangkir kopi yang telah dingin, lalu diteguknya hingga tersisa ampasnya saja.

"Hiks ... jika tidak bisa membayarnya dalam waktu sepekan, Ibu kamu dipenjara, Lang. Ya sudah, mungkin memang ini semua salah Ibu. Biar Ibu tanggung jawab. Kamu tidak perlu memikirkan keadaan Ibu." Bu Latifah menangis ketakutan. Bukanlah hanya acting semata, tetapi benar-benar takut. Wanita itu tidak pernah memikirkan dampak dari perbuatannya yang lupa diri saat diberikan pinjaman dalam jumlah besar. Ketika dia tidak bisa membayar, pasti harus ada yang dikorbankan. Mungkin kebebasannya menghirup udara harus dia kalahkan.

"Ya sudah, kamu pasti capek. Pulanglah! Ibu besok biar ke kantor polisi menyerahkan diri. Tak perlu menunggu minggu depan. Toh, Ibu gak bisa bayar juga." Bu Latifah bangun dari duduknya masih dengan isakan. Hati Elang patah. Tidak mungkin ia membiarkan ibunya yang single parent puluhan tahun mengurusnya seorang diri, harus berakhir di penjara.

"Bu ...." Elang bangun dari duduknya, menyingkap kain pembatas antar ruang tengah dan ruang depan kontrakan. Dilihatnya sang ibu masih terisak, duduk di atas kasur busa single yang tidak terlalu tebal.

"Pulanglah!" suara Bu Latifah semakin bergetar.

Elang mendekat dan memeluk Ibunya dari samping. Ia pun turut meneteskan air mata kesedihan.

"Bu ... jika dengan menikahi anak Bu Rima adalah jalan terbaik, maka Elang bersedia, Bu. Elang gak mau Ibu masuk penjara." Tangis lelaki itu pecah di pundak wanita yang telah melahirkannya.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Diganti Mawaddah

Selebihnya

Buku serupa

Gairah Liar Ayah Mertua

Gairah Liar Ayah Mertua

Gemoy
5.0

Aku melihat di selangkangan ayah mertuaku ada yang mulai bergerak dan mengeras. Ayahku sedang mengenakan sarung saat itu. Maka sangat mudah sekali untuk terlihat jelas. Sepertinya ayahku sedang ngaceng. Entah kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Aku juga bingung apa yang harus aku lakukan. Untuk menenangkan perasaanku, maka aku mengambil air yang ada di meja. Kulihat ayah tiba-tiba langsung menaruh piringnya. Dia sadar kalo aku tahu apa yang terjadi di selangkangannya. Secara mengejutkan, sesuatu yang tak pernah aku bayangkan terjadi. Ayah langsung bangkit dan memilih duduk di pinggiran kasur. Tangannya juga tiba-tiba meraih tanganku dan membawa ke selangkangannya. Aku benar-benar tidak percaya ayah senekat dan seberani ini. Dia memberi isyarat padaku untuk menggenggam sesuatu yang ada di selangkangannya. Mungkin karena kaget atau aku juga menyimpan hasrat seksual pada ayah, tidak ada penolakan dariku terhadap kelakuan ayahku itu. Aku hanya diam saja sambil menuruti kemauan ayah. Kini aku bisa merasakan bagaimana sesungguhnya ukuran tongkol ayah. Ternyata ukurannya memang seperti yang aku bayangkan. Jauh berbeda dengan milik suamiku. tongkol ayah benar-benar berukuran besar. Baru kali ini aku memegang tongkol sebesar itu. Mungkin ukurannya seperti orang-orang bule. Mungkin karena tak ada penolakan dariku, ayah semakin memberanikan diri. Ia menyingkap sarungnya dan menyuruhku masuk ke dalam sarung itu. Astaga. Ayah semakin berani saja. Kini aku menyentuh langsung tongkol yang sering ada di fantasiku itu. Ukurannya benar-benar membuatku makin bergairah. Aku hanya melihat ke arah ayah dengan pandangan bertanya-tanya: kenapa ayah melakukan ini padaku?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku