DIGILIR BESAN DAN MENANTU - Rahasia Birahi Kampung
lir di pelipisnya saat ia menghela napas panjang, meletakkan sabit di tanah. Rumput di sekitar
bayangan Widya menantu solihahnya yang selalu anggun juga tak kunjung pe
di atas tanah yang berdebu. Namun, ke
rdengar lang
Assalamu
a berdiri di hadapannya, membawa rantang makanan. Menantu yang sejak kemarin sore terus mengisi piki
t mencari kaosnya yang entah tergeletak di mana. Tubuh tuanya yang
sama Nayla gak diajak?"
u lihat-liat kerbau di sawah dekat rumah Ardi, mu
ya, abah juga tadi malam lama main s
ata Widya sambil tersenyum lembut, tapi di mata Bah A
atau pake caping, kan panas" sahutnya sambil tergopoh-g
gubug sawah. Suasana di dalam terasa hening. Hanya suara angin yang m
dimasukan ke dalam botol air mineral, lalu menuangkannya k
an yang masih canggung, berusaha fokus pada makanan di depannya. Tapi
-tiba dan tumben datang siang bolo
ngan mertuanya, Widya
a lirih, hampir
tunya. Tapi yang ia dapatkan justru sesuatu yang
ita sesuatu," Widya menunduk
ludah makin dagdi
h dari dua tahun..." Widya menggantungkan
n menyampaikan sebuah kabar yang memang seharusnya tidak dia dengar. Cuku
irnya, masih dengan suara pelan, tapi cukup jelas untuk me
kin mencoba bertanya, meski
a berkaca-kaca. "Mas... Rosid
de
a seperti diha
ua tahun," lanj
t? Sudah ham
ng keluar. Ia ingin menjawab, tapi pikirannya seperti kabur.
an bercerai?
dama Dimas, saya juga uda
aa
m meledak di t
obat belum?" Suara Bah
berobat, tapi gak ada
mbicaraan macam apa?' t
gakuan Widya. Keringat yang tadinya hanya akibat pa
a Bah Akin berusaha keras untuk tetap terlihat tenang meskibegitunya?" suara Bah Akin terd
us. "Abah pasti tahu, istri juga kan bukan
E
genteng rumah di musim kemarau. Napasnya tercekat, kepalanya langsung menund
ya, ya itu... Ya, gimana ya...?" Bah
mencondongkan tubuhnya sedikit. "Makanya, B
nantunya. Aroma yang biasanya hanya lewat sekilas ketika
em, mungkin... mungkin minta didoakan ke kyai?
Bah... Gak ada perubah
melihat ke arah lain-ke arah dinding bambu, ke arah
kata yang tepat, tapi Widya justru s
siapa. Saya cuma butuh tempat buat ngeluh, buka
tuanya gemetar saat menyentuh
g sabar ya, Neng
uk lemah. Ia k
keluhan saya," katanya dengan senyum ya
tanya mengikuti langkah Widya yang kelu
padi, Bah Akin menyandarkan punggung ke dinding
gumamnya denga
dengan kedua te
ntang dengan kedua ta
ah, Sid. Kamu kan tahu, sudah ba
ung melayang pada peri
at empang kebanggannya. Dia ditangi Ohim, tetangganya yang agak
menikmati angin sepoi-sepoi dan tarian sejumlah ikan d
Ohim, dia melihat ada kegusaran di wajahnya, sudah
hat Ohim yang menghela napas panjang, beberapa kali sambil memegang sebatang rokok, tapi h
ik, lalu menye
ngomong apa sama abah. Kaya
, menepuk jid
, Bah.
mendelik,
u ngutang ke RT Ju
a kutukan apa gimana, saya tidak tahu? Jujur aja Bah, udah
yeruput kopinya lang
us kamu?" se
nganggu
n kecil, tapi buru-buru menutup mulutny
u kok akhir-akhir ini kayak orang gak p
anjang, lalu meremas
ulu, nyindir tiap hari, sampai bilang mau cerai
ruk kepalanya y
periksa belum? Siap
uruh saya ke dokter, tapi malu, Bah! Masa laki-lak
ela napas, men
beda. Ini urusan rumah tangga. Kalo kamu nggak buru-bur
mende
dari pasar, abah tau kan yang
mengang
e doang, mana bisa ngangkat y
mel
angan ngeled
, tapi tidak keras dan
min gitu. Dia dipijat sama temen abah
ah yang mijitnya?
sud
a, katanya Abah bisa bantu mi
gak mijit lagi, ilmunya udah abah turu
bah Adul i
in men
nep juga di sana." Tanpa ba-bi bu lagi Ohim langsung pergi seteng
Bah Akin, memberi isyarat dengan acungan jempo
*
e. Lalu dia melangkah pulang, walau dengan perasaan yang
ah anaknya sendiri, nggak mau ditolong. Rosid dari dulu tahu ka
senja, rudal Bah Akin selain besar dan panjang ju
*