Sang Pengantin Pengganti: Membuat Kenangan Tentang Kita
Penulis:Paramita Palastri
GenreRomantis
Sang Pengantin Pengganti: Membuat Kenangan Tentang Kita
Setelah Ayla mengganti pakaiannya dan keluar dari dalam kamar mandi, dia melihat Brian sedang duduk di sofa di luar, menunggunya keluar dari kamar mandi. Ayla melihat Brian meliriknya sekilas dengan tatapan yang dingin dan dagunya tampak menegang, tanpa mengeluarkan sepatah kata, Brian langsung beranjak dari sofa dan bergegas keluar. Ayla pun mengejar dan mengikutinya dari belakang dengan patuh.
Perjalanan mereka di dalam mobil terasa sangatlah canggung, hal ini membuat Ayla semakin merasa tersudut. Suasana di dalam Bentley berwarna perak itu terasa begitu tegang sampai-sampai Ayla hanya dapat memandang keluar jendela dan berdoa dalam hati agar perjalanan itu bisa segera berakhir.
Setiap kali dia bergeser sedikit, dia merasa dirinya gemetar, takut kalau Brian akan menariknya mendekat tanpa persetujuannya.
Sepanjang perjalanan itu terasa sangat sunyi senyap. Satu jam kemudian, mereka tiba di vila mewah milik Brian. Vila yang elegan itu memiliki tata ruang yang indah, yang hanya mampu dimiliki oleh seorang seperti Brian.
Mobil meluncur masuk ke dalam garasi lalu berhenti. Brian turun dari mobil dan memerintahkan Ayla dengan nada masam, "Turun!"
Keluarga Ginanjar juga memiliki sebuah vila, tetapi vila mereka tidak sebanding dengan vila milik Brian yang sangat besar. Dengan takut-takut Ayla mengikuti Brian di belakangnya, ia mengambil setiap langkah dengan hati-hati.
"Tuan, Anda sudah pulang." Ruben, sang kepala pengurus rumah, berlari ke arah mereka dan melirik wanita cantik di belakang Brian, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
Brian tidak menjawab sapaan itu. Dia langsung menuju ke ruang tamu dan duduk di sofa. Maria segera keluar dan menyajikan kopi dalam cangkir kopi yang halus dan mahal untuk Brian. "Tuan, ini kopi untuk Anda." Brian memiliki kebiasaan meminum kopi saat ini.
Brian menghirup aroma kopi yang kuat. Kopi itu terbuat dari biji kopi Jamaika kelas atas yang bermutu tinggi. Itu adalah aroma kopi favoritnya.
Sementara itu, Ayla tetap berdiri dengan gelisah. Suasana yang cukup tegang di dalam vila itu kembali mengingatkannya bahwa dia tidak pantas berada di sini. Akan tetapi, kenyataannya, dia tidak bisa melarikan diri.
Tiba-tiba, terdengar suara cangkir kopi yang terjatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. "Tuan!" Maria berseru dan ia segera membersihkan pecahan cangkir kopi itu, akan tetapi pekerjaannya berhenti di tengah jalan ketika Brian mengangkat tangannya.
"Kamu, kemari dan bersihkan ini!" Brian berpaling pada Ayla dan memerintahnya dengan nada yang kejam.
Ayla tersentak kaget mendengar perkataan Brian. Dia menatapnya, terperangah, tidak memercayai pendengarannya.
"Nyonya Lesmana, apa ada masalah? Apakah kamu tidak mendengar perkataanku? Atau, apakah kamu ingin mencoba menentangku?" Brian bertanya dengan nada sarkastik yang kentara.
Ayla mengerjapkan mata, lalu mengalihkan pandangannya. Bukan masalah bagi Brian, jika dirinya merasa tidak sudi, tapi laki-laki itu tetap akan membuat Ayla tunduk dan menuruti perkataannya. Lagi pula, sebelumnya Ayla juga telah melakukan hal yang sama seperti ini di rumah keluarga Ginanjar.
Bagi Ayla, itu adalah pekerjaan yang mudah untuk dia kerjakan.
Ayla perlahan membungkuk tanpa bersuara. Ia mulai mengambil serpihan-serpihan cangkir itu satu per satu dan membuang semuanya ke tempat sampah. Maria memberinya kain lap, yang kemudian digunakan Ayla untuk membersihkan lantai setelah semua potongan kaca sudah dia buang.
Matanya menyadari bahwa ada noda kopi di sepatu Brian. Dengan hati-hati, Ayla menyeka noda itu dengan kertas tisu, dia takut Brian akan menendangnya jika dia tidak menyukai tindakannya itu.
Tapi kewaspadaan itu tetap tidak menghalangi Brian untuk membencinya. Untuk wanita yang paling dia benci sepenuh hatinya, Brian tidak akan menunjukkan rasa belas kasihan.
Namun, Brian tidak dapat memahami, mengapa Ayla bisa begitu menurut padanya. Dia tidak pernah menyangka kalau Ayla akan mematuhinya tanpa mempertanyakan hal apa pun. Tiba-tiba, Brian menarik kembali kakinya, dia sedikit tidak yakin dengan apa yang sebaiknya dia lakukan.
Ayla menatap Brian, setengah takut, setengah bingung. Apakah dia telah melakukan sesuatu yang salah? Apakah Brian merasa tidak puas?
Brian mencondongkan tubuhnya ke depan dan meraih dagu Ayla, mencengkeramnya dengan kuat. "Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini tanpa membuat keributan sedikit pun. Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizinku. Kamu juga harus bekerja mengurus segala hal yang ada di sini. Mulai dari bersih-bersih, hingga apa pun yang aku inginkan."
"Apakah perkataanku dapat dimengerti?" Brian bertanya dengan nada otoriter.
Ayla mengerti bahwa Brian ingin dia tinggal di sini sebagai pelayan, bukan sebagai Nyonya Lesmana.
"Ya." Ayla mengangguk.
"Bagus sekali!" Brian tampak senang dengan jawaban Ayla, lalu ia berdiri dan pergi dari ruangan itu.
"Tunggu, ada sesuatu yang ingin kutanyakan." Melihat Brian yang akan pergi, Ayla buru-buru menghentikannya.
Brian berpaling kembali dan berkata, "Jika kamu membutuhkan sesuatu, tanyakan saja pada Ruben atau Maria."
Brian tidak ingin berbicara dengannya lagi.
"Tidak! Bukan itu." Ayla meraih tangan Brian dan memegangnya dengan ragu sebelum berkata, "Aku bersedia melakukan apapun yang kamu minta, tetapi aku ingin melanjutkan sekolahku."
'Wanita ini ingin bersekolah?' Brian tercengang mendengar perkataan itu. Apakah yang barusan didengarnya itu sebuah lelucon?
"Kamu mau ke sekolah? Apakah kamu sedang bercanda? Kamu adalah Arlini Ginanjar, yang sekarang sudah menjadi Nyonya Lesmana. Kamu bisa mendapatkan apa pun yang kamu inginkan. Kenapa kamu ingin bersekolah? Selain itu, sejauh yang aku tahu, kamu bukanlah seorang siswa teladan." Brian mendengus.
Ayla tidak tahu apa yang harus dia katakan. Arlini mungkin saja tidak pernah peduli terhadap apapun, tetapi Ayla berbeda. Dia ingin mandiri dan mewujudkan impiannya.
"Jangan ganggu aku lagi!" Brian mendorongnya agar menjauh, kemudian berbalik dan langsung pergi.
"Tuan Lesmana." Namun, Ayla tidak mudah menyerah. Dia ingin mengikuti Brian, tetapi langkahnya dihentikan oleh Maria.
"Kamu tidak bisa naik ke lantai atas! Kamu tidak bisa naik ke lantai dua tanpa izin!" tukas Maria.
"Tidak! Kenapa?" Bagaimanapun juga, Ayla merasa dia perlu berbicara dengan Brian. Butuh begitu banyak usaha baginya untuk bisa melanjutkan pendidikan di universitas. Dia telah bekerja sepanjang liburan musim panas untuk memperoleh dan mengumpulkan biaya kuliah. Bagaimana mungkin dia bisa menyerah begitu saja?
Dia segera berlari ke atas saat Maria lengah.
Ketika Ayla menerobos masuk ke kamarnya, Brian berteriak keras. Dia sangat marah, "Siapa yang mengizinkanmu naik ke atas?"
Ayla tersentak dan menyadari, dia telah melakukan hal yang ceroboh. Seharusnya dia tidak naik ke lantai atas ini tanpa seizin Brian.
"Keluar!" Melihat Ayla masih berdiri di depan pintu, Brian kembali berteriak.
Ayla tersentak lagi pada nada bicara Brian yang tinggi. Dengan cepat Ayla menunduk dan tidak berani memandang Brian lagi. Dia hanya ingin lari dan bersembunyi dari pria itu.