Sang Pengantin Pengganti: Membuat Kenangan Tentang Kita
Ayla tidak menjawab pertanyaan teman-temannya. Karena dia tahu mereka tidak akan memahami situasi yang sedang dia hadapi, tidak peduli walau bagaimana pun dia menjelaskannya.
Kebetulan mata kuliahnya tidak terlalu padat, setelah berbincang-bincang dengan temannya, Ayla pun menghabiskan waktunya cukup lama di perpustakaan, hingga hari mulai gelap, matanya sudah mulai terasa letih. Sembari menggosok matanya, Ayla mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling tempat itu. Hanya ada beberapa orang saja di perpustakaan sekarang. Ayla menghela napas saat dia menggeser buku-buku di hadapannya ke samping dan memijat pundaknya yang terasa pegal. Matanya melayang ke arah jam dinding, seketika membuat dia tersadar. Dia sudah terlambat pulang ke vila.
Ayla mengerutkan keningnya, 'Gawat! Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi.'
Ayla cepat berdiri dan bergegas keluar dari sekolah dan melihat mobil yang sudah tidak asing lagi baginya, mobil itu tampak sedang menunggunya. "Pak Lukman, aku benar-benar minta maaf! Aku tidak menyadari bahwa hari sudah sesore ini."
Lukman memandangnya dengan acuh tak acuh dan berkata, "Nyonya Lesmana, silakan masuk ke dalam mobil. Tuan Lesmana sudah lama menunggu Anda di vila."
Sepanjang perjalanan, Ayla sangat gelisah. Bagaimana mungkin dia bisa sampai lupa waktu? Brian telah memintanya untuk kembali ke vila pada pukul setengah enam sore setiap hari. Tetapi pada hari pertama, dia sudah melanggar aturan itu.
Ruang tamu vila itu terlihat terang-benderang. Lampu kristal yang diimpor dari Italia tampak bersinar terang di atas kepalanya. Tapi atmosfer di dalam ruangan itu terasa sangat dingin.
Begitu Ayla melangkah memasuki ruang tamu, matanya langsung tertuju pada Brian, yang sedang duduk di sofa dan sedang merokok. Bau rokok yang kuat membuat Ayla merasa mual. Dia beberapa kali terbatuk-batuk saat bau asap rokok menusuk hidungnya. Matanya jatuh ke asbak yang sudah penuh dengan puntung rokok bekas, Ayla menggigit bibirnya. Dia memang sial hari ini. Ayla berdeham ketika dia mulai berbicara pada Brian, "Tuan Lesmana, a-aku minta maaf. Aku lupa waktu."
Brian langsung membentaknya, "Beraninya kamu mengabaikan kata-kataku?"
Brian sudah berkata dengan sangat jelas pagi ini bahwa dia harus pulang kembali tepat waktu. Tapi Ayla malah terlambat pulang sampai dua jam. Bagaimana dia bisa begitu ceroboh dan berpikir Brian akan memaafkannya hanya dengan sebuah permintaan maaf?
"Tidak. Aku jujur padamu. Aku benar-benar lupa waktu." tapi, penjelasan yang diberikan Ayla tidak terlalu berarti dan tidak akan mengubah keadaan, karena Brian sama sekali tidak memercayai perkataan Ayla.
Brian curiga bahwa Ayla dengan sengaja pulang terlambat dan sekarang dia sedang berbohong, mencari alasan untuk menghindari kemarahannya.
Meskipun Ayla baru tinggal bersama Brian selama dua hari, tapi dia sudah tahu bagaimana jalan pikiran laki-laki itu. Tapi dia tetap harus menghadapi pria yang dingin dan kejam ini terus-menerus, setiap hari, untuk sepanjang sisa hidupnya.
Brian membuang puntung rokoknya ke asbak, lalu berdiri, dan berjalan ke arah Ayla. "Siapa yang tadi kamu temui? Beritahu aku!"
Mata mereka bertemu, sementara kedua alis Ayla bertaut dengan bingung. Brian meragukannya.
"Kamu tidak perlu tahu siapa yang tadi kutemui. Kamu juga tidak akan percaya padaku walaupun aku telah berkata jujur padamu." Ayla adalah seorang wanita yang lemah, tetapi dia memiliki harga diri yang tinggi, dan dia sangat keras kepala.
"Ayo naik ke lantai atas denganku," perintah Brian dingin, lalu dia berbalik dan menaiki tangga ke lantai atas.
Ayla melirik mata Maria yang memandangnya dengan simpati. Entah kenapa, hal itu malah membuatnya merasa gugup. Dia menggigit bibirnya, lalu mengikuti Brian ke lantai atas.
Setelah Ayla tiba di kamar tidur, Brian yang sedang duduk di sofa memandangnya dan berkata, "Kamu tangguh dan juga keras kepala, Arlini. Tetapi kamu harus tahu bahwa jika kamu tidak menghormatiku, aku bisa membuat seluruh keluarga Ginanjar lenyap dari muka bumi ini."
"Aku tahu. Aku selalu tahu itu." Ayla tahu betapa berkuasanya Brian. Kalau bukan karena kekuasaannya itu, Anton tidak akan menukarnya dengan keselamatan keluarga Ginanjar.
"Kamu tahu itu? Tapi tindakan yang sudah kamu lakukan tidak mencerminkan pengetahuanmu." Brian selalu curiga kalau Ayla ingin keluar rumah karena ada pria di luar sana yang ingin ditemuinya. Keterlambatannya hari ini justru makin menguatkan keyakinan itu.
Tatapan dingin Brian membuat Ayla tanpa sadar melangkah mundur.
"Apa besok kamu masih mau pergi ke sekolah?" Brian ingin Ayla menjawab secara negatif, tetapi di sini pun, wanita itu tidak bisa memuaskannya.
"Ya, aku akan pergi." Ayla takut pada Brian dan tidak ingin Brian pergi ke sekolah untuk menyelidikinya.
Meskipun Anton telah menukar file informasi dirinya dengan Arlini, bisa saja ada satu hal yang terlewatkan. Bagaimana jika dokumen-dokumen itu membeberkan identitas aslinya?
Brian tiba-tiba mengulurkan tangan dan merobek pakaiannya, membuat Ayla tersentak kaget. Matanya yang dingin tampak memandang keindahan kulit Ayla yang putih bersih dan lembut. Kemudian dia memerintah dengan perlahan, "Pergi!, bersihkan dirimu! Jangan keluar sampai aku menyuruhmu."
Ayla menurut dengan diam dan segera pergi ke kamar mandi. Dia berdiri di tengah sebuah kamar mandi besar dan mengamati dekorasi mewah yang terpajang di kamar mandi itu. Kemudian dia menanggalkan seluruh pakaiannya dan mulai menggosok kulitnya dengan sabun. Ayla merasa bagaimanapun dia menggosok dan membersihkan tubuhnya, tubuhnya tetap terasa kotor, dia sudah tidak bisa dibersihkan lagi, dia sudah ternoda.
Dia telah mengerahkan kekuataan saat menggosok kulitnya sehingga sekarang warna kulitnya berubah menjadi kemerahan. Pembuluh darahnya bahkan bisa terlihat melalui kulitnya yang sekarang transparan.
Dia merasa sangat lelah sehingga dia seperti berbisik, "Toby, kenapa kamu belum kembali juga? Aku sudah lama menunggumu. Kamu bilang, kamu akan kembali dan membawaku pergi bersamamu, tapi kamu tidak pernah melakukannya!"
Sekarang dia malah takut, saat Toby kembali nanti, dia sudah tidak memenuhi syarat untuk bersamanya dan bersanding di sisinya. Bahkan kalaupun dia menanti kedatangan Toby, dia sudah tahu bahwa dia tidak lagi bebas karena pernikahan yang terpaksa ini.
Ketika Brian mendorong pintu kamar mandi hingga terbuka, dia mendapati Ayla yang meringkuk seperti bola dan menangis tersedu-sedu. Seluruh tubuh Ayla tampak aneh, berwarna kemerah-merahan. Brian melangkah masuk dan memeriksa Ayla dengan meletakkan tangan di bahunya. Dia menyadari bahwa Ayla mengalami demam tinggi.
Brian kembali menaruh curiga pada wanita ini, mungkin dia dengan sengaja mandi air dingin agar terkena demam tinggi. Wanita ini selalu memainkan berbagai macam trik dengannya.
"Maria!" Brian berteriak dengan keras.
Ketika Maria datang sambil berlari-lari kecil, Brian memintanya untuk membawa Ayla ke kamar tamu lain.
"Tuan, Nyonya Lesmana sedang demam tinggi. Apakah Anda ingin saya memanggil dokter?" Maria merasa sedikit khawatir.
Brian berdiri di sampingnya tanpa mengatakan apa-apa. Dia terlihat ragu-ragu selama beberapa saat.
"Toby, Toby..." Ayla terus mengigau nama itu. Dalam keadaan tidak sadar itu, dia melihat Toby. Dia melihat Toby yang datang untuk membawanya pergi bersama. Dia telah berjanji akan membawanya pergi ke tempat di mana hanya akan ada mereka berdua saja. Di sana, mereka akan hidup bersama selama-lamanya.
'Apakah wanita itu sedang memanggil-manggil nama pria lain? Siapa laki-laki itu?' Brian mengerutkan alisnya. Sambil melambaikan tangan pada Maria, Brian meninggalkan ruangan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, mobilnya sudah meninggalkan vila.