Sang Pengantin Pengganti: Membuat Kenangan Tentang Kita
Penulis:Paramita Palastri
GenreRomantis
Sang Pengantin Pengganti: Membuat Kenangan Tentang Kita
Brian menyipitkan kedua matanya dan berjalan ke arah Ayla. "Sejauh yang kudengar, mereka menyebutmu sebagai seseorang yang bernyali besar dan pemberani. Lalu, kenapa sekarang kamu malah ketakutan?"
"Aku... Aku hanya ingin bersekolah," Ayla tergagap, sembari tetap menundukkan kepalanya.
"Jika kamu datang ke sini hanya untuk berbicara tentang sekolah, kamu tidak perlu melakukannya. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi." Brian tidak pernah menyangka bahwa Arlini akan meminta izin padanya untuk pergi bersekolah. Dia percaya kalau wanita ini sedang mencoba membodohinya dengan alasan bersekolah, agar dia bisa keluar dan bertemu dengan teman-temannya di luar dan berhura-hura melakukan hal apapun yang dia inginkan.
Ayla kecewa mendengar Brian menolak permintaannya itu. Tidak bisakah dia pergi bersekolah lagi? Dia akan lulus dalam waktu dua tahun. Jika Brian menolak permintaannya sekarang, impiannya tidak akan pernah tercapai. Apakah dia harus menyerah sekarang?
Melihat Ayla berdiri sembari terperangah, Brian mengabaikannya dan berjalan ke kamar mandi, berharap Ayla akan pergi begitu saja. Tapi ketika dia keluar dari kamar mandi, Ayla masih berdiri di depan pintu. Dia memang seorang wanita yang keras kepala.
Ketika menyadari bahwa Brian tidak mengacuhkannya, kepala Ayla kembali tertunduk lesu. Dengan hati yang hancur, Ayla berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu!" Brian menghentikan langkahnya.
Ayla segera berbalik dan menatap Brian dengan penuh berharap. Brian terlihat sedang duduk di sofa sambil merokok, hal ini membuat Ayla merasa dirinya yang salah persepsi, seolah-olah tadi Brian sama sekali belum buka mulut dan belum mengatakan apa apa, melainkan dirinya sendirilah yang telah salah mendengar.
Mata mereka saling bertemu saat Ayla menunggu Brian mengatakan sesuatu. Namun, Brian tidak berbicara sepatah kata pun sampai rokoknya habis. Tatapannya terasa mengintimidasi hingga membuat Ayla langsung merasa ketakutan. Dia mengingatkan dirinya pada kejadian semalam. Rasanya seperti mengingat kembali sebuah mimpi buruk yang sangat sangat buruk dan dia tidak ingin hal semacam itu terulang lagi. Dia hanya ingin berlari dan bersembunyi dari Brian.
Ketika Ayla menyadari bahwa Brian tidak bermaksud mengatakan apa-apa, dia sudah berbalik untuk pergi.
"Apakah kesabaranmu hanya sampai di situ?" Brian perlahan berkata, mengejeknya. Suara Brian membuat langkah Ayla kembali terhenti.
Kali ini, Ayla tidak hanya berdiri di depan pintu. Dia berjalan ke arah Brian dan bertanya, "Jadi, apa kamu setuju?"
Brian bangkit dari duduknya dan berdiri dekat sekali dengan Ayla. Dia meraih dagu Ayla dengan ujung jarinya dan membuat Ayla menatap matanya.
"Berapa banyak pria yang sedang menunggumu di luar sana? Mengapa kamu begitu bersemangat untuk pergi keluar? Hmm?" dia bertanya pada Ayla dengan nada kasar.
"Tidak! Aku tidak tahu apa yang sedang kamu bicarakan, aku hanya ingin pergi bersekolah!" tidak peduli seberapa lemah penjelasan Ayla itu akan didengar oleh Brian, tapi Ayla tetap akan berusaha, dia tidak akan menyerah.
Ayla tahu dengan jelas orang seperti apa Arlini itu, alasan mengapa dia harus mengantikan Arlini, dan menikah dengan pria yang ada di hadapannya ini sebenarnya adalah agar dia dapat melindungi keluarga Ginanjar dan juga ayah angkatnya, Anton.
Semua yang dia lakukan sampai sekarang hanyalah untuk membalas jasa kebaikan sang ayah yang telah membesarkannya itu, tetapi dia juga tidak ingin kehilangan impiannya lagi.
"Kamu tahu, kan? Aku paling benci ditipu." kata Brian dengan nada kasar.
Ayla mengangguk kaku. Dia belum pernah berbohong pada Brian, kecuali saat dia menyembunyikan identitasnya.
"Jika aku mendapati kamu berbohong padaku, kamu bahkan tidak akan dapat membayangkan harga yang harus kamu bayar!" Brian ingin melihat seberapa jauh Arlini berani melangkah dan melakukan sesuatu dibelakangnya. Dia ingin menangkap basah Arlini dengan tangannya sendiri.
"Baiklah, aku mengerti. aku hanya akan pergi ke sekolah, kemudian pulang ke rumah ini. Aku tidak akan pergi ke tempat lain." Ayla berjanji pada Brian. Brian telah memberinya izin untuk pergi ke sekolah, tapi dia tidak bisa melanjutkan pekerjaannya. Karena sudah jelas, Brian tidak akan membolehkannya bekerja.
Brian kemudian memerintahnya, "Pergilah ke bawah sekarang!"
Dia tidak suka wanita sekotor Ayla muncul di lantai duanya, terutama di dalam kamarnya.
Ayla mengangguk kepalanya, "Terima kasih, Tuan Lesmana."
Ayla tidak berani mendekati iblis itu dan setelah itu dia pun langsung pergi tanpa bersuara.
Tidak ada perbedaan sama sekali antara tinggal di rumah keluarga Ginanjar dan tinggal dengan keluarga Lesmana. Orang tua kandungnya telah meninggalkannya sejak dia lahir. Jadi, Ayla memiliki keyakinan yang kuat bahwa dia memang ditakdirkan untuk hidup kesepian sepanjang hidupnya. Itulah mengapa dia selalu fokus untuk menggapai cita-citanya dan berusaha untuk mandiri, tanpa mengharapkan orang lain.
Brian tidak mengatakan apa-apa lagi, dia memandang Ayla yang menghilang sembari menggeretakkan giginya.
Ayla diberikan sebuah kamar kecil di lantai satu. Di dalamnya ada sebuah tempat tidur kecil dan sebuah meja, juga ada sebuah jendela yang cukup besar sehingga cahaya matahari bisa masuk dan menerangi seisi ruangan itu. Sebenarnya, kamar itu sudah lebih baik dibanding kamar yang dia tempati di rumah keluarga Ginanjar. Satu-satunya kekurangannya yang ada di rumah ini adalah dia telah kehilangan kebebasannya.
"Tuan Lesmana meminta saya untuk memberi tahu Anda, tanpa perintah darinya, Anda tidak boleh meninggalkan rumah ini. Jika Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa bertanya pada saya." ucap Maria dengan sopan.
"Terima kasih, Maria. Aku akan mengingatnya." Berdiri di tengah kamar, Ayla memandang sekeliling ruangan itu. Semua barang di sini bukanlah miliknya, dia tidak memiliki apapun. Sebagian besar barang-barangnya masih tertinggal di rumah tempat tinggalnya yang terdahulu, dan beberapa lainnya ada di sekolah. Dia perlu membeli beberapa barang yang akan dia perlukan, seperti pakaian misalnya.
Tapi dia tidak bisa keluar dari sini sesukanya.
Setelah beberapa saat kemudian, Maria datang kembali. Dia membawakan beberapa barang kebutuhan sehari-hari bersama dengan beberapa set pakaian baru. Ayla sama sekali tidak menyangka itu. Dia sangat lega karenanya. Dia berharap, semoga tinggal di sini tidak akan seburuk yang dia pikirkan.
Karena tidak ada yang bisa dia lakukan di kamarnya, Ayla pun pergi ke dapur untuk membantu memasak.
Maria agak terkejut melihat Ayla muncul di dapur. Dia telah mengetahui bahwa majikannya, Tuan Lesmana telah menikahi seorang wanita dari kalangan berada yang manja dan juga sombong. Tapi Nyonya Lesmana yang berdiri di hadapannya ini selain terlihat anggun, dia sama sekali tidak bertingkah seperti yang dideskripsikan itu.
Dia bahkan menyadari bahwa Ayla cukup gesit dan trampil dalam mencuci piring dan memotong sayuran, Maria bertanya, "Nyonya Lesmana, apakah Anda bisa memasak?"
Ayla menjawab sambil tersenyum, "Tidak banyak, tapi aku bisa memasak beberapa hidangan yang sederhana."
Ayla pernah belajar memasak dari para pelayan di keluarga Ginanjar.
"Apakah Anda ingin menyiapkan makan siang untuk Tuan Lesmana?" tiba-tiba Maria bertanya. Walaupun pada awalnya, dia salah persepsi mengira Nyonya Lesmana hanyalah seorang wanita kaya yang manja, mudah marah, dan tidak bisa mengerjakan apa-apa. Namun Maria sekarang dapat melihat, bahwa wanita ini sangat berbeda dengan apa yang dia pikirkan itu.
Ayla berhenti mencuci sayuran dan berbalik, memandang Maria. "Bukankah itu akan membuat Tuan Lesmana marah?"
Memang benar bahwa dia sangat takut pada Brian. Selain itu, dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bersekolah hanya karena dia memasak untuk Brian.
"Tidak, dia tidak akan marah. Tuan Lesmana tidak terlalu banyak berbicara dan mungkin dia terlihat agak mengintimidasi, tetapi pada kenyataannya, dia sangat mudah bergaul. Selain itu, dia tidak terlalu pilih-pilih soal makanan. Dia bahkan tidak akan menyadari perbedaannya." Maria telah bekerja di vila ini selama bertahun-tahun. Dia sangat memahami sifat dan kebiasaan majikannya, dia bahkan bisa menebak reaksi Tuan Lesmana nantinya.
Ayla mencerna dan mempertimbangkan kata-kata Maria dengan hati-hati, terutama saat dia mengatakan Brian mudah bergaul. Tampaknya hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Ayla, hanya dengan menatap Brian saja bisa membuat sekujur tubuhnya gemetaran. Lagi pula Ayla sama sekali tidak merasa Brian pria yang mudah bergaul. Dia hanya tahu, mereka berdua tidak akan pernah akur.
Tatapannya yang dingin itu selalu membuat Ayla merasa seperti berada di dunia yang dipenuhi dengan es dan kegelapan.
Namun, selama dia tidak dengan sengaja menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri, dia akan tetap mengerjakan tugasnya dengan patuh dan tidak ikut campur dalam hal yang bukan urusannya. Untuk menghindari konflik dan kemarahan Brian, dia akan mendengarkan segala perintahnya, tidak peduli apapun yang Brian ingin dia lakukan. Karena bagaimanapun, dia adalah istrinya yang telah dibeli dengan uang.