Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Burhan Prayitno, sang dekan sekolah, berjalan mondar-mandir dengan penuh rasa gugup di gerbang sekolah. Tangannya menyeka keringat dari dahinya dari waktu ke waktu.
Sepuluh menit kemudian, datang sebuah limusin Lincoln yang berhenti di gerbang.
Burhan berlari menuju ke mobil dan dengan hormat menunggu seorang tamu terhormat yang ada di dalam mobil untuk keluar.
Saat pintu mobil itu terbuka dari dalam, dia menundukkan kepalanya. "Tuan Hadi, merupakan suatu kehormatan bagi kami untuk mendapatkan kunjungan dari Anda ke sini. Atas nama semua dosen dan mahasiswa, saya ingin mengucapkan terima kasih atas investasi sebesar seratus miliar rupiah yang sudah Anda berikan pada universitas kami."
Kusuma berpakaian lengkap, dia mengenakan setelan hitam elegan yang dirancang khusus untuk menyesuaikan ukuran tubuhnya. Wajahnya yang tanpa ekspresi tidak banyak mengurangi aura kekuasaan, kepercayaan diri, dan keanggunan yang dia pancarkan.
Perubahan drastis dalam cara menjalankan bisnis baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri dapat dikaitkan dengan pria yang sangat berbakat ini. Bahkan, setiap keputusannya berdampak pada Produk Domestik Bruto beberapa negara.
Sebagai tanggapan, Kusuma menganggukkan kepala.
Burhan berdiri tegak, menyibak rambutnya yang menutupi matanya dengan memberikan sebuah senyum gugup yang lemah.
"Tuan Hadi, apa ada kabar terbaru tentang rencana pembangunan gedung pengajaran? Apakah ada hal lain yang perlu kami ubah?" Burhan bertanya dengan hati-hati.
Mata Kusuma menyapu wajah pria itu sebelum mendarat pada Edi. "Tunjuk seseorang untuk menindaklanjuti pembangunan gedung pengajaran. Kita harus memastikan bahwa semua pengeluaran dari dana yang diberikan digunakan untuk melakukan konstruksi bangunan dan pengajaran saja."
Ketika Burhan menyadari bahwa Kusuma telah melihat niatnya untuk menggelapkan dana investasi yang diberikan, wajahnya menjadi merah.
"Baik, Tuan," jawab Edi dengan hormat.
"Tuan Hadi, Anda tidak perlu khawatir. Saya akan bekerja sama dengan Tuan Cataka. Mari saya antar Anda untuk melihat-lihat kampus terlebih dahulu." Burhan melangkah ke samping, berusaha yang terbaik untuk mempertahankan ekspresi tenang, saat dia mengulurkan tangannya dan mengajak Kusuma untuk berjalan di depan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kusuma berjalan melewati gerbang besar kampus.
Sementara itu, Kirani mengutuk dan menggerutu dalam perjalanan mereka kembali dari kantor dekan karena dia dan Dewi tidak bisa bertemu dengan dekan yang mereka cari.
Dia telah memutuskan untuk pergi mengunjungi kantor dekan lagi di lain waktu. Kemudian di kejauhan, dia melihat para mahasiswi berteriak-teriak.
"Lihat! Tuan Hadi ada di sini!"
"Ya, Tuhan! Itu Tuan Hadi!"
"Ya ampun! Wajah Tuan Hadi jauh lebih tampan dari sebagian besar bintang film!"
Semua mahasiswi dan bahkan anggota staf memadati jalan setapak kampus untuk melihat Kusuma. Kirani melihat ke depan dengan rasa ingin tahu dan sekilas melihat sosok Kusuma. Dan sang dekan mengikutinya berjalan berkeliling seolah-olah dia adalah orang yang sangat penting.
"Dewi, dekan ada di sana!" Tanpa ragu-ragu, Kirani meraih tangan Dewi dan berlari ke arah kerumunan.
Sayangnya, Dewi kehilangan keseimbangan karena dia tidak menyangka akan ditarik oleh Kirani dan dia menabrak salah satu penjaga keamanan sebelum mendarat di pelukan seorang pria.
Keheningan yang canggung bisa terasa di udara.
Dewi sudah cukup populer di kalangan mahasiswa karena dia dikenal sebagai primadona kampus.
Kerumunan yang semula hening menjadi pecah penuh dengan celoteh suara.
"Ah! Kenapa aku tidak memikirkan ide itu? Aku juga ingin berpelukan dengan Pangeran Tampanku!"
"Dewi memang luar biasa. Aku mengaku kalah. Bisakah aku menjadi orang kedua yang beruntung untuk bisa memeluk Pangeran Tampan?"
"Tidak! Dewi adalah gadis impianku. Bagaimana bisa dia melemparkan dirinya ke pelukan pria lain?"
Kerumunan mulai asik berbisik di antara mereka sendiri. Mata Dewi terbelalak kaget saat dia mengangkat kepalanya dan melihat wajah tampan milik Kusuma.
Saat mereka saling bertatapan, Dewi merasa dirinya seperti disambar petir.
'Apa yang dia lakukan di sini?' Dewi bertanya-tanya dan segera melepaskan diri dari pelukan Kusuma.
Dia tampak kesal pada nasib karena lagi-lagi sudah menempatkannya dalam pertemuan canggung dengan Kusuma, terutama setelah dia mengajukan perceraian.
"Tuan Hadi, apakah Anda baik-baik saja?" Karena ketakutan wajah Burhan menjadi pucat ketika dia melihat seorang mahasiswi menabrak Kusuma.
"Aku tidak apa-apa."
Kusuma melirik Dewi dengan dingin dan meluruskan kemejanya yang sedikit kusut dengan ekspresi jijik tergambar jelas di wajahnya.
Ekspresi arogan dan angkuh yang ditunjukkan oleh Kusuma membuat Dewi marah.
Beraninya pria ini memperlakukan dirinya seperti itu?
"Ada apa denganmu?" Burhan berteriak pada Dewi sambil menunjuknya. "Kamu itu sangat ceroboh. Cepat dan..."
"Pak Prayitno!" Kirani menyela ucapan Burhan sebelum dia bisa selesai berbicara. "Tolong periksa semua bukti sebelum memberikan penilaian apa pun! Itu bukan salah Dewi. Kenapa dia mendapatkan penalti?"
"Kita akan membahas masalah ini secara rinci di lain waktu. Jangan rusak kunjungan Tuan Hadi ke sini." Burhan mengerutkan kening dan memberikan isyarat pada Kirani untuk menyingkir.
Namun, Kirani tidak mau menerima begitu saja. Sebagai gantinya, dia mengangkat suaranya dan bertanya kepada Burhan, "Mengapa kita perlu membicarakan soal ini nanti? Sepertinya sekarang merupakan saat yang tepat untuk membicarakan masalah ini di sini!"
"Kamu!" Burhan tidak menyangka Kirani akan membuat keributan di depan umum. Karena malu, dia memasang ekspresi tidak senang sambil memelototi Dewi, dan memberi isyarat padanya untuk menghentikan apa yang dilakukan oleh Kirani.
Dengan ekspresi cuek di wajahnya, Dewi tersenyum dan berkata, "Saya juga ingin tahu mengapa saya diberikan penalti!"
"Kamu..." Burhan sangat marah, tetapi dia tidak berani kehilangan kesabaran di depan Kusuma. Dia berbalik dan berteriak pada Paulus, "Paulus, apa yang sudah terjadi?"
"Apa? Bukankah itu perintah dari Anda?" Paulus sangat ketakutan sehingga dia menyeka keringat yang berkumpul di dahinya dan dengan cepat membela diri.
"Apa yang sedang kamu bicarakan? Beraninya kamu menyalahkanku atas ini?" Burhan memelototi Paulus dan membentak padanya.
Paulus merasa ingin menjambak rambutnya sendiri. Dia menjawab, "Bukankah Anda yang sudah meminta Tengku memberitahukan pada saya untuk memberikan penalti pada Dewi?"