Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Sebelum kata-kata "Nyonya Hadi" terucap keluar dari mulut Edi, dia diinterupsi oleh sebuah suara keras. "Hai, yang di sana! Oh, ternyata kamu."
Dewi berjalan mendekatinya dan menariknya ke samping bahkan sebelum dia sempat bereaksi.
Edi berdiri dalam diam dan menatapnya dengan tatapan bingung. "Nyonya Hadi, ada apa? Tuan Hadi belum pernah bertemu dengan Anda, jadi saya ingin memperkenalkan Anda kepadanya."
Dewi ingin tertawa saat itu. Dia dan Kusuma telah menikah selama tiga tahun, tetapi mereka masih membutuhkan bantuan orang lain untuk memperkenalkan diri mereka pada satu sama lain.
Dewi membungkuk dan berbisik, "Terima kasih, Edi, tapi kamu tidak perlu melakukannya. Aku sudah meminta Panji untuk memberikan perjanjian perceraian yang aku tandatangani, jadi kami berdua sudah tidak perlu saling mengenal secara pribadi."
"Perjanjian perceraian apa? Apakah Anda akan menceraikan Tuan Hadi?" Edi sangat terkejut mendengar itu sehingga dia mundur selangkah dan menatap Dewi dengan tatapan heran.
Dia tidak bisa tidak bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan otak gadis ini. Kusuma adalah orang yang kaya raya. Kenapa Dewi mengambil inisiatif untuk meminta cerai pada pria seperti Kusuma?
Dewi menggenggam ujung gaunnya dan berkata dengan malu-malu, "Ya. Tapi untuk menghindari kesalahpahaman yang seharusnya tidak terjadi, tolong rahasiakan ini untuk kebaikan kami berdua."
Ketika Edi kembali, Kusuma baru saja selesai membayar barang-barang yang dibeli Olga.
Matanya yang dingin menatap wajah Edi sejenak. Dan ketika dia ingat bahwa dia dicium oleh Dewi kemarin, ekspresi wajahnya berubah menjadi suram. Dia berkomentar dengan cuek, "Edi, apa pun hubunganmu dengannya, aku tidak peduli. Tapi aku ingin kamu segera mengusirnya dari Plaza Cahaya Internasional. Orang seperti dia tidak pantas masuk mal ini."
"Tetapi Tuan Hadi..." Edi membalas dengan suara rendah.
"Edi, Tuan Hadi telah memberimu sebuah perintah. Mengapa kamu tidak segera untuk melakukannya sekarang?" Olga dengan puas menyela sebelum Edi bisa menyelesaikan kalimatnya tadi. Dia jelas merasa senang mendengar apa yang dikatakan oleh Kusuma barusan.
Dia berpikir bahwa Kusuma mengusir Dewi karena dirinya.
"Tapi Tuan Hadi, dia..."
Edi kini berada di tengah dilema. Wanita yang diperintahkan oleh Kusuma untuk dia usir adalah istri pemilik Plaza Cahaya Internasional itu sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal itu? Jadi dia mengumpulkan keberanian untuk berbicara balik pada Kusuma, berharap Kusuma akan berubah pikiran.
Tetapi ketika dia melihat tatapan dingin Kusuma, dia tidak berani mengatakan apa-apa lagi. Dia menoleh ke pengawal di belakangnya dan memerintahkan, "Minta mereka untuk keluar dari sini sekarang."
Edi melakukan usahanya yang terbaik untuk tetap bersikap sopan kepada Dewi. Dia merasa dirinya sekarang sangat tidak beruntung karena terjebak di antara bosnya dan istri bosnya dalam situasi seperti ini.
Dewi sudah menguping percakapan mereka, jadi dia mendengar bahwa mereka ingin mengusirnya dan teman-temannya dari mal ini.
"Kamu tidak perlu melakukan apa pun. Kami akan pergi sekarang." Setelah mengatakan ini, Dewi mengambil tas belanja dari pramuniaga dan pergi meninggalkan toko.
Kusuma memerhatikan sosoknya yang perlahan menjaduh dengan sedikit kebingungan terpancar di matanya yang gelap.
Olga memelototi punggung Dewi lalu menyesuaikan ekspresinya. Dia meraih lengan milik Kusuma dan berkata dengan lembut, "Tuan Hadi, saya lapar sekarang. Mari kita pergi ke lantai lima gedung Alioth, oke?"
Kusuma menoleh ke Edi dan memerintahkan, "Antarkan kami ke sana."
Edi mengesampingkan semua keraguannya dan buru-buru berjalan ke depan untuk mengantarkan mereka ke tempat selanjutnya.
Sementara itu, Dewi dan teman-temannya sudah berada di pintu masuk Plaza Cahaya Internasional.
Tiba-tiba, Dewi berhenti, menoleh, dan memandang Jaya dan Dimas. "Teman-teman, terima kasih telah bersedia membawakan tas belanja untuk kami. Mari kita makan di lantai lima Alioth dulu. Aku yang traktir."
Apa yang dia katakan mengejutkan Jaya. Dia secara berlebihan merosot dalam pelukan Dimas, yang berdiri di belakangnya. "Dimas... Apa dia sudah gila?"
Sebenarnya Dimas juga merasa bingung. Baginya, Dewi memang bertingkah cukup janggal hari ini.
Makanan yang ada di lantai lima Alioth itu sangat mahal. Hanya ada beberapa orang di Kota Yoya yang mampu membayar untuk makan di sana.
Kirani dengan tenang menendang kaki Jaya dan berkata, "Mobil yang biasa dipakai Dewi itu bernilai lebih dari sepuluh miliar rupiah. Tentu saja, dia punya cukup uang untuk makan di Alioth. Apakah kamu baru saja meremehkannya?"
Jaya merasa bahwa kata-kata yang diucapkan oleh Kirani ini terdengar masuk akal. Jadi dia berdiri tegak dan merapikan pakaian yang dia kenakan. Tapi... Dewi mungkin bisa mentraktir mereka untuk makan di Alioth, tapi tidak mudah bagi mereka untuk bisa mendapatkan meja di sana. Sebelum datang untuk makan di sana, orang-orang harus memesan meja terlebih dahulu. Jadi dia berkata, "Sekarang sudah jam untuk makan siang, jadi mungkin tidak ada meja yang tersedia untuk kita di sana."
Dia ingat bahwa setiap kali ayahnya mengundang beberapa tamu penting untuk makan di Alioth, dia harus memesan tempat dalam kurun waktu seminggu atau setengah bulan atau bahkan tiga bulan sebelumnya.
Namun, Dewi sama sekali tidak mendengar apa yang diucapkan Jaya. Pikirannya sedang sibuk sekarang. Suaminya, Kusuma, sudah secara terbuka mengajak wanita lain berbelanja dan membelikan barang-barang untuknya. Jika dia tidak salah, setiap tas belanja yang ada di tangan Edi seharga lebih dari puluhan juta. Atau bahkan mungkin menyentuh ratusan juta rupiah.
Tunjangan bulanan yang didapatkan Dewi dari Kusuma sebenarnya sangat besar. Tetapi dia berpikir bahwa dia hanya seorang mahasiswi dan tidak membutuhkan uang sebanyak itu, jadi setiap kali dia hanya mengambil sedikit dari tunjangan bulanan yang dia dapatkan. Dan Panji tampaknya telah menyimpan sisanya untuknya. Dia tidak menanyakan perihal uang itu lagi.
Dewi belum pernah membeli barang semahal itu untuk dirinya sendiri karena dia tidak ingin menghambur-hamburkan uang milik Kusuma. Tetapi wanita yang bersamanya tadi itu hanya mengucapkan sepatah kata, dan tanpa pikir panjang Kusuma langsung membayar semua yang diminta oleh wanita itu. Dewi adalah istri Kusuma, jadi kenapa dia harus bersikap pelit dan hemat? Mengapa dia harus mempertimbangkan banyak hal untuknya? Dia tidak seharusnya berusaha untuk hidup hemat, kan?
Bagaimanapun, dia akan segera menceraikannya. Jadi mengapa dirinya tidak mengambil kesempatan ini untuk menikmati kehidupan seperti orang kaya?
Dewi menoleh untuk melihat teman-temannya, yang masih mendiskusikan Alioth. Dia pikir, merupakan hal yang pantas dilakukan untuk mengundang mereka makan makanan mewah sampai puas.
Jadi dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Panji.
Panggilan yang dia lakukan itu hanya berlangsung selama satu menit. Setelah menutup telepon, dia menoleh lagi pada teman-temannya lagi. Teman-temannya, yang baru saja berdiskusi dengan begitu serunya, menatapnya dengan heran.
Tapi dia hanya berkata dengan tenang, "Ayo kita pergi."
"Pergi ke mana?" Kristina bertanya dengan hati-hati.
Dewi tersenyum dan menjawab, "Aku tadi bilang akan mentraktirmu makan, kan?"
Dia kemudian berjalan ke depan untuk memimpin jalan.
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya tiba di lantai lima Alioth.
Dewi sedang menunggu kedatangan pelayan untuk mengkonfirmasi ruangan pribadi yang dipesan atas namanya ketika lift yang ada di lantai lima terbuka lagi.
Pria yang keluar duluan memancarkan aura yang begitu kuat sehingga tidak ada yang bisa mengabaikan kehadirannya di sana.
Dewi mencengkeram dadanya karena terkejut melihat kedatangan pria itu. Ketika dia tidak memikirkan perihal perceraian, dia merasa bertemu dengan Kusuma adalah hal yang lebih sulit daripada pergi ke surga. Tetapi sejak dia mulai membicarakan mengenai perceraian, ini adalah ketiga kalinya mereka berdua bertemu.
Kali ini, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah Kusuma dengan sengaja muncul di depannya untuk mendapatkan perhatiannya dan menyelamatkan pernikahan mereka.
"Usir dia dari sini!"
Tiga kata sederhana ini membuat Dewi kembali sadar dari lamunanya.
Manajer lantai yang menerima perintah itu menyeka keringat dingin di dahinya dan menjelaskan dengan gugup, "Tuan Hadi, Panji yang mengatur pesanan untuk mereka."
Setelah mendengar nama Panji, Kusuma melirik para siswa yang ada di sana, menunjuk ke Dewi, dan memerintahkan, "Edi, usir dia dari sini, dan biarkan yang lain tetap ada di sini."
Olga, yang tetap diam sepanjang waktu, hampir tertawa terbahak-bahak. Dia masih berpikir bahwa Kusuma melakukan ini karena dirinya.
Edi, di sisi lain, sangat bingung. Kusuma sama sekali tidak mengenal Dewi. Kenapa bosnya ini nampak begitu kesal dengan kehadiran Dewi? Bahkan sepertinya dia sangat membencinya.
Setengah menit telah berlalu, tapi Edi masih tidak bereaksi. Kusuma kehilangan kesabarannya. Dia menatap Edi dengan tajam dan bertanya, "Edi, tidak bisakah kamu menangani masalah sepele seperti ini dengan baik?"
Edi merasa sangat ketakutan. Dia segera menjawab, "Bukan begitu, Tuan Hadi. Tidak seperti itu. Hanya saja dia... Sebenarnya dia adalah..."