Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Galila semakin marah melihat tanggapan Dewi. Lalu tiba-tiba, dia merasakan aliran panas dari cairan yang mengalir di hidungnya. Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh aliran itu hanya untuk menemukan bahwa hidungnya berdarah. Galila dalam keadaan sangat marah sehingga dia berteriak, "Pelacur, aku akan membunuhmu!"
Dia kemudian berlari mendekat dan menerkam Dewi. Tapi sebelum dia bisa menyentuh Dewi, dia ditarik kembali oleh teman-temannya.
"Galila, tenanglah. Jangan lakukan itu. Kita bukan tandingan mereka."
"Ya, itu benar. Kamu baru saja melakukan operasi hidung bulan lalu. Bagaimana jika ada tinju yang mendarat di hidungmu?"
Galila sangat ingin membalas Dewi. Tetapi setelah mendengar apa yang dikatakan oleh teman-temannya, dia membeku di tempat, dan wajahnya berubah menjadi pucat.
Dewi yang menyadari bahwa Galila dan teman-temannya tidak punya rencana untuk melawannya, jadi dia memberikan tawa mengejek dan pergi bersama Kirani.
Galila hanya bisa melihat mereka pergi dan mengentakkan kakinya dengan marah.
Dia sudah dipermalukan, dan dia mendapatkan kerugian yang begitu banyak, jadi dia tidak akan pernah melepaskan Dewi dengan begitu saja.
Kemarahan terlihat jelas di matanya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon pacar barunya, Tengku Prayitno, putra dari dekan kampus.
Begitu panggilannya dijawab, Galila langsung menangis penuh dengan kesedihan.
Tengku tertegun sejenak ketika mendengar suara Galila yang terisak di ujung telepon. Dia dengan cepat menenangkan kekasihnya itu, "Hei, sayang! Ada masalah apa? Siapa yang sudah membuatmu menangis?"
"Pelakunya adalah Dewi," jawab Galila di antara isak tangisnya.
"Oke, berhentilah menangis sekarang. Air matamu itu menghancurkan hatiku. Tidak perlu khawatir. Apa pun yang terjadi, aku pasti akan membantumu melampiaskan amarahmu," ucap Tengku sambil membujuknya dengan sabar.
Mendengarnya langsung menangkap umpan yang dia berikan, Galila merasa senang. Tapi dia menyembunyikan itu dengan berpura-pura diam dan mendengus, "Bisakah kamu mencoba memberikan penalti di catatan akademisnya?"
Setiap kali dia memikirkan bagaimana Dewi bertindak begitu arogan, dia merasa kesal.
Di matanya, Dewi hanyalah seorang bajingan yang tidak memiliki hak untuk bersikap sombong.
Tengku terkekeh dan bertanya, "Aku sebenarnya bisa melakukan itu. Tapi... Bagaimana dengan permintaan yang kuajukan padamu sebelumnya? Bisakah kali ini kamu berjanji padaku?"
Mengetahui apa yang dia maksud, Galila merasa sangat jijik hingga dia merasa dirinya hampir muntah.
Jika bukan karena latar belakang keluarga Prayitno, dia tidak akan pernah memberikan perhatian pada orang aneh bernama Tengku ini, apalagi memutuskan untuk berpacaran dengannya.
"Apa kamu menyetujuinya?" Tengku bertanya lagi ketika dia tidak mendengar jawaban.
Dengan Dewi yang masih ada di dalam pikirannya, Galila menggertakkan giginya dan dengan enggan berkata, "Oke."
Sementara itu, sekarang Dewi dalam suasana hati yang baik setelah dia menyingkirkan Galila. Sepanjang perjalanan kembali ke asrama mereka, dia dan Kirani sibuk mengobrol dan tertawa.
Mereka baru saja sampai di gedung asrama ketika ponsel miliknya berdering.
Itu adalah panggilan masuk dari sebuah nomor yang tidak dikenal, tetapi dia masih menjawabnya dan berkata dengan sopan, "Halo! Ini siapa, ya?"
"Halo! Apakah ini Dewi Nayaka? Ini Paulus Harahap, asisten dekan."
"Oh, ya, Pak Harahap! Apa ada yang bisa saya bantu?" Dewi menjawab dan mengedipkan matanya pada Kirani, mengisyaratkan pada temannya itu untuk diam.
"Sebenarnya ini tentang laporan yang kami terima bahwa kamu sudah membuat masalah di sebuah bar. Apakah kamu tidak tahu bahwa yang kamu lakukan itu melanggar tata tertib kampus? Dewan kampus telah mendiskusikan masalah itu, dan kami mengambil suatu keputusan. Aku menyesal untuk memberitahumu bahwa kami harus memberikan penalti pada catatan akademismu."
"Penalti? Pak Harahap, apakah sudah terjadi semacam kesalahpahaman?"
Mendengar apa yang dikatakan Dewi, Kirani memasang ekspresi serius di wajahnya dan mencondongkan tubuh lebih dekat ke Dewi, mencoba mencari tahu apa yang mereka sedang bicarakan.
"Dewi, ini adalah suatu masalah besar. Pihak kampus tidak akan langsung mengambil kesimpulan terkait masalah ini tanpa mencari tahu terlebih dahulu. Kami telah memverifikasinya, dan pihak kami sudah mengonfirmasi bahwa itu benar terjadi. Apakah kamu ingin mengajukan keberatan untuk hal ini?"
"Karena kamu sudah mengonfirmasinya, apa gunanya bagiku untuk mengajukan keberatan?" Dewi menjawab dengan nada kesal.
Jelas, di sini dia adalah korbannya. Bagaimana dia bisa menjadi yang membuat onar?
"Dewi, perhatikan sopan santunmu. Karena kamu tidak keberatan, kami akan mengeluarkan pemberitahuan atas tindakan disiplin yang kami berikan dalam beberapa hari. Itu saja." Setelah mengatakan ini, Paulus langsung menutup telepon.
Dewi ingin melampiaskan amarahnya. Tapi sebelum dia bisa mengatakan sesuatu, ponselnya sudah berdering lagi. Itu adalah panggilan telepon dari nomor asing lainnya.
"Dewi, bagaimana rasanya mendapatkan penalti? Apakah kamu merasa kesal?" ucap sang penelepon dengan nada sarkasme begitu Dewi menjawab panggilan telepon itu.
Suara serak laki-laki itu terdengar tidak menyenangkan dan vulgar di telinganya. Siapa lagi pemilik suara ini? Kalau bukan Tengku, putra dekan yang biasa mengganggunya.
Dewi sekarang mengerti mengapa dia tiba-tiba mendapat penalti dalam catatan akademisnya tanpa ada alasan yang jelas. Jadi dia mencibir, "Jadi kamu pelakunya."
"Kamu sangat cerdas. Tapi kamu tidak bisa menyalahkanku. Kamu sudah menindas pacarku, kan?" ucap Tengku penuh dengan rasa bangga.
Dewi mengingat perselisihan yang terjadi antara dirinya dan Galila barusan dan akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi. "Bagus. Kalian berdua benar-benar pasangan yang sangat cocok."
Tengku benar-benar orang bodoh. Dia tidak tahu maksud dari perkataan Dewi. Pria itu bahkan melanjutkan dengan nada puas, "Bagaimana perasaanmu sekarang? Apakah kamu menyesalinya? Tapi aku punya sebuah tawaran bagus untukmu. Jika kamu bersedia untuk tidur denganku, aku bisa memberikan bantuan padamu untuk menangani masalah ini."
Dewi mencibir dan berkata dengan santai, "Tidak, terima kasih. Aku tidak ingin menjadi kotor."
"Kamu..."
Tengku sangat marah sehingga dia ingin memaki Dewi. Tapi sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Dewi sudah terlebih dahulu mengakhiri panggilan.
Kemudian tanpa berlama-lama, dia langsung memblokir nomornya.
Kirani tidak bisa menahan rasa cemasnya lebih lama lagi. Jadi begitu Dewi menutup telepon, dia langsung bertanya, "Apa yang sudah terjadi? Kenapa kamu mendapatkan penalti?"
"Asisten dekan tadi mengatakan bahwa aku sudah membuat masalah di bar. Dia pasti mengacu pada apa yang terjadi di pesta ulang tahunku," jawab Dewi sambil mengangkat bahu.
Meskipun dia merasa dirinya diperlakukan tidak adil, dia masih menampilkan ekspresi tenang di wajahnya.
"Tidak, aku tidak bisa menerima itu begitu saja. Seseorang membuat masalah di belakangmu. Pasti pelakunya adalah Galila si Jalang itu," ucap Kirani dengan kesal, air liurnya hampir tersemprot ke wajah Dewi.
Melihat temannya merasa gusar, Dewi menepuk punggung Kirani dengan lembut dan berkata, "Tidak perlu dipermasalahkan. Aku sebenarnya tidak peduli tentang itu."
"Ayo kita pergi ke dekan untuk membuat masalah ini menjadi jelas."
Setelah mengatakan ini, Kirani menarik Dewi untuk pergi ke kantor dekan meskipun dia menolak.
Orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi akan mengira bahwa Kirani-lah yang dirugikan dari semua ini.
Sesampainya di depan pintu ruang kerja dekan, Kirani mengetuk pintu cukup lama, namun tidak ada yang menjawab.
"Dekan sepertinya tidak ada di sini. Ayo kembali lagi di lain hari," usul Dewi. Kemudian dia berbalik dan berjalan menuruni tangga ke bawah.
Dia benar-benar tidak peduli tentang apa yang baru saja terjadi. Dia bahkan merasa bahwa suatu hal yang baik sang dekan yang mereka cari tidak ada di kantornya.