Tangan Hangat Crazy Rich
Penulis:LianaAdrawi
GenreRomantis
Tangan Hangat Crazy Rich
"Assalamualaikum, Ayah. Sudah pulang? Hari ini semangat, kan?"
"Waalaikumussalam," jawab Jonathan lirih dengan wajah pucat dan tubuh lemas, dia begitu lelah hingga mengabaikan Rachel, langsung masuk ke kamar mandi. Membersihkan dirinya.
Rachel menatapnya bingung. "Ada apa dengan Jon?" tanyanya pelan. Tak ingin menerka-nerka lagi, dia segera menyiapkan makan untuk Jonathan. Sama seperti tadi pagi, dia hanya menghangatkan sayur, menggoreng ikan, telur, tempe, dan menyeduh kopi hitam untuknya.
Tak lupa, dia menyiapkan pakaian tidur suaminya. Kaos pendek dan bokser. Hari ini begitu panas, Rachel memilihkan yang sedikit terbuka.
"Allea mana, Bun?" tanya Jonathan tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
"Tadi main ke rumah sebelah, Yah." Walau sudah memiliki satu anak dan satu lagi masih di dalam kandungan, Rachel masih malu jika harus melihat tubuh telanjang Jonathan yang tengah memakai baju. Dia berdehem singkat. "Makan dulu ya, Yah. Sudah bunda siapkan."
Jonathan mengangguk. Dia memeluk Rachel sembari menuju ruang tengah di mana makanan sudah disediakan. Ya memang, di rumah kontrakannya tidak ada meja makan jadi mereka memutuskan untuk makan bersama di depan televisi.
Rachel memperhatikan wajah Jonathan, ada guratan-guratan kesedihan yang terpancar di sana. Dia berusaha keras menahan tenggorokannya untuk tidak mengeluarkan suara saat ini. Menekan rasa penasaran yang begitu kuat. Menurutnya, jangan menciptakan suasana saat makan yang tidak mengenakkan, malah yang ada, membuang rasa lapar dan menambah emosi.
Setelah Jonathan selesai, Rachel segera membereskan semuanya. Mencuci piring dan memasukkan sisa makanan ke dalam lemari. Dia mengambil keripik pisang dari Bu Tuti untuk disajikan kepada suaminya ditaburi dengan bubuk susu coklat.
"Yah," panggil Rachel pelan seraya berjalan ke arahnya. Jonathan memang menatap televisi, tetapi dia tengah melamun.
"Y-ya, Bun?"
Rasya memutuskan untuk duduk di sebelah Jonathan dan memijat pundak suaminya. "Ada apa? Hari ini ada masalah, ya?"
Jonathan menjadi tergagap mendengar serangan pertanyaan itu dia menggeleng kecil lalu berkata, "e-enggak ada apa-apa Bun, cuma hari ini nggak ada orderan aja."
Tatapan mata Rachel meredup, dia menatap Jonathan. "Oh yaudah nggak papa yah, besok masih ada hari besok."
"Tapi Bun …."
"Udah nggak usah dipikirin, bunda masih ada uang sisa kemarin dan hari ini untuk makan besok."
Jonathan menatap Rachel bersalah. "Maaf."
"Kenapa minta maaf, hm?"
"Kalau saja aku—"
"Itu semua terjadi di masa lalu sedangkan saat ini kita hidup untuk berada di masa depan, jadi, jangan pernah kita membahas masa lalu yang ada di belakang ya, Ayah."
Jonathan mengangguk dia menarik Rachel untuk masuk ke dalam pelukannya. "Terima kasih bidadariku. Aku sangat beruntung memilikimu," bisiknya bersyukur.
"Terimakasih sudah bertahan denganku."
"Always, because i love you."
Rachel tersenyum bahagia. Suatu pemikiran hinggap di benaknya, sejenak hatinya merasakan ragu, dia ingin membicarakan tentang anak di antara mereka. "Yah, bunda boleh tanya nggak?"
Jonathan menyeruput kopinya. "Apa?"
Rachel melepaskan pelukan mereka, dia berdehem kecil. "Apa pendapat ayah tentang anak kedua?" tanyanya pelan.
"Hah! Anak kedua? Yakin kamu sekarang? Di ekonomi kita saat ini?" Mata Jonathan beralih ke perut Rachel. "Kamu hamil?"
Butuh jeda beberapa saat bagi Rachel untuk menjawab. Dia menatap kedua bola mata Jonathan yang terkejut dan sedikit tidak suka ketika dirinya membahas tentang berbadan badan dua.
Mau tak mau membuat dia menggeleng sedih, dia berusaha kuat menahan tangisannya. "Nggak kok, tadi Allea bertanya. Temannya punya adik lagi, dia jadi mau," jawabnya dengan datar seraya memalingkan wajah agar Jonathan tidak melihat air matanya yang ingin tumpah ruah.
"Oh gitu kalau bisa kita jangan punya anak lagi ya, Bun. Buat makan sekarang aja kita masih kesusahan."
Rachel mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Iya, Yah …."
***
"AYAHHH~"
Jonathan dan Rachel menoleh. Allea tergopoh-gopoh berlari menghampiri ayahnya. Sudah beberapa hari ini, dia tidak bertemu Jonathan.
Dia sudah tertidur ketika Jonathan pulang.
Allea memeluk Jonathan erat, menyembunyikan wajahnya di leher ayahnya. "Lea rindu loh."
"Sama, ayah juga."
"Ayah selalu pulang malam!"
Jonathan mengelus pelan kepala Allea. "Iya, Nak. Maafkan ayah ya."
Rachel tidak memperhatikan kedua ayah dan anak tersebut, matanya fokus melihat iklan di televisi yang menampilkan seorang anak kecil tengah meminum susu coklat dan dia sangat menginginkan itu … bukan untuk dirinya melainkan Jonathan. Apakah dia tengah merasa mengidam?
Lantas dia menoleh. "Ayah dan Lea mau kan minum susu coklat?" tanyanya penuh harap.
Jonathan menatapnya bingung. "Loh, ayah kan sudah ada Bun," jawabnya seraya menunjukkan gelas kopi.
"Lea mau, mau susu!"
"Nggak papa, susu itu baik buat kesehatan. Bentar ya bunda buat!" Dengan semangat membara, Rachel segera membuatkan dua buah gelas susu coklat untuk mereka. Ditambah ekstra gula beberapa sendok lebih banyak.
Tidak membutuhkan waktu lama dia sudah jadi dan membawa susu tersebut ke ruang televisi. Allea segera meneguknya sampai habis sedangkan Jonathan menatap ke arah gelas tersebut dengan horor.
"Enak Bun, tapi sedikit manis aja, hehe," cengir Allea seraya mengembalikan lagi gelas kepada Rachel.
"Pas kok, perasaan Lea aja ih. Kenapa, Yah? Ayo minum," kata Rachel sedikit memaksa.
Jonathan menggeleng. "Besok aja ya, Bun? Ayah lagi enggak ingin minum susu," ucapnya.
Rachel menekuk wajahnya masam. "Yah … orang dibuatnya sekarang. Terus, siapa yang minum coba?" tanyanya kecewa.
"Ya bunda lah."
"Bunda tadi udah," kata Rachel berbohong.
Dia mendesah lelah, tak ingin banyak berdebat pun segera mengambil gelas tersebut. Jonathan menjepit hidungnya menggunakan jari lalu mulai minum susu. Baru sampai setengah gelas, perutnya langsung bergejolak hebat dan tanpa diminta, dia segera berlari menuju kamar mandi untuk memuntahkan seluruh isi perutnya.
"Huek-huek!"
"Ayah, nggak papa?!"
Rachel dan Allea segera mengikuti Jonathan, mereka menatap pria itu khawatir.
Namun, saat Rachel melihat muntahan Jonathan yang ternyata susu saja membuatnya sedikit bingung begitupula dengan Jonathan merasa, bahwa dia sudah mengeluarkan seluruh isi perutnya tetapi yang keluar hanya cairan.
Perutnya kembali bergejolak, Jonathan mual-mual lagi dan kali ini yang keluar hanyalah cairan putih.
"Ayah nggak papa?!" teriak Rachel begitu panik. "Lea ambilkan minyak kayu putih di keranjang bedak, Nak!"
Setelah Allea pergi, Rachel membantu Jonathan untuk duduk di ruang televisi. Dia segera membalur perut pria itu menggunakan minyak kayu putih sampai terasa hangat.
Dia menatap suaminya dengan khawatir, belum pernah Jonathan sakit seperti ini. Paling, flu.
"Ayah sudah enakan," kata Jonathan berpura-pura tegar.
"Ayah kenapa nggak bilang sih kalau lagi sakit? Pasti gini gara-gara kehujanan kemarin ya. Atau jangan-jangan karena bunda yang maksa minum susu ya, Yah?" tanya Rachel sedih.
"Ayah nggak papa, cuman perutnya aja yang nggak enak. Mungkin karena telat makan kali."
"Ayah belum makan?" tanya Allea terkejut.
"Sudah sayang, tapi badan ayah lagi sakit, jadi semua nya ikut sakit," dalih Jonathan segera.
Allea mengikuti Rachel yang sedang memijat-memijat tangan Jonathan. "Ayah jangan sakit, nanti Lea dan Bunda sedih."
Jonathan tersenyum lebar, dia mengelus kepala Allea sayang. "Iya, Nak."
"Yah, besok mau ke Puskesmas dulu nggak buat berobat?"
"Nggak usah, Bun. Ayah nggak punya BPJS."
"Gimana kalau bunda aja yang periksa? Nanti pakai keluhan ayah," usul Rachel.
"Boleh Bun. Besok ayah antar ya."
"Nggak usah, ayah kan lagi sakit. Di rumah aja sama Lea, Yah."
Allea mengangguk cepat. "Setuju, Bunda! Pokoknya, Lea yang akan jaga ayah besok."
Jonathan menatap Rachel ragu. "Bunda yakin mau sendirian aja ke Puskesmas?"
"Iya bunda yakin," jawab Rachel mantap seraya mengangguk menyakinkan.
Jonathan menatap Allea. "Nak, tolong ke kamar ambilkan ayah bantal dan selimut ya," pintanya yang langsung dituruti oleh Allea, dia segera menatap Rachel lagi. "Bunda, tapi kan kita nggak ada uang."
"Ayah, kan sudah bunda bilang, jangan khawatirin soal uang. Bisa kita pikirkan besok," jawab Rachel menenangkan.
"Tapi, ayah nggak enak, Bun."
"Sudah sekarang lebih baik kita nonton film horor."
"Iya, Bun."