Tangan Hangat Crazy Rich
Penulis:LianaAdrawi
GenreRomantis
Tangan Hangat Crazy Rich
Sembilan bulan yang lalu. Di ruang konsultasi bidan desa yang pintunya tertutup rapat, Rachel dengan gelisah berbaring di ranjang pemeriksaan. Rambutnya yang diikat setengah menyebar di bantal sedikit acak-acakan, kaos gombrong yang ia pakai disibak ke atas menunjukkan sebagian perutnya. Ruangan itu begitu sunyi sehingga hanya suara napas yang bisa terdengar. Rachel mengerutkan kening dengan tidak nyaman, wajah kecil kurus yang menunjukkan sedikit perasaan gugup. Ia menggigit bibir, pandangannya tidak sejenak pun berpaling dari bidan yang berdiri di sampingnya.
“Gimana Bu, apa hasilnya?” Rachel tak bisa tidak bertanya saat bidan mengoleskan gel dingin ke atas perutnya, karena ia benar-benar penasaran, ingin tahu hasilnya.
“Bu ya sabar, toh. Baru juga mau dilihat udah nanya hasilnya. Emangnya sulap apa?” Bidan Mirna menimpali dengan nada bercanda. Untung dia sabar menghadapi Rachel yang saat ini panik.
Ditegur begitu, Rachel hanya bisa nyengir dan merasa sedikit canggung. Habis ya namanya orang panik kan bikin rusuh.
“Kemarin pake testpack hasilnya gimana?” Bidan mengajukan pertanyaan untuk memastikan. Semua pemeriksaan tidak lengkap jika tanpa anamnesa yang lengkap.
“Garisnya dua, tapi yang satu samar hampir nggak kelihata gitu, Bu.” Rachel menjawab dalam satu kali tarikan napas. Dia berharap yang samar itu tak menjadi jelas dan dia kini tak dalam keadaan tengah mengandung.
Mata Bidan Mirna tidak beralih dari layar ketika dia kembali bertanya, “Tesnya berapa kali?” Jika hanya satu kali kan tidak cukup, butuh beberapa kali agar lebih pasti.
“Dua kali, Bu. Tadi pagi sama kemarin lusa.” Rachel mengingat-ingat, tapi yang lebih akurat itu jika tesnya dilakukan saat baru bangun tidur dan saat alat dicelupkan pada air kencing yang baru pertama kali keluar dari tubuh.
“Dua, duanya begitu? Samar juga ?” Bu bidan ini memandang Rachel seperti polisi yang tengah mengintrogasi penjahatnya saja.
Rachel mengangguk. “Iya, dua-duanya samar. Apa karena saya pake yang murah kali ya, Bu? Makanya hasilnya nggak jelas?” Sungguh pertanyaan yang bodoh. Kalau dalam keadaan gugup begini, mana bisa berpikiran jernih.
Rachel agak rendah hati waktu ia bilang pakai test pack murah. Habis mau bagaimana lagi, uang belanja yang diberi suaminya sehari lima puluh ribu. Setelah dipakai untuk beli beras, cabai, sayur, dan lauk paling banyak hanya tersisa sepuluh ribu. Dan itu jatah buat Alea, putrinya. Kalau beli alat test pack yang mahal, nanti dia tak punya uang untuk jajan anak pertamanya.
Umur Alea baru empat tahun, kalau lihat temannya beli ini itu dia mau juga. Ada teman mainnya jajan ciki, dia kepingin. Ada tukang cilok atau tukang ice cream langsung diberhentikan dengan teriakan cempreng. Dengan uang lima puluh ribu dari Jo, Rachel harus pandai-pandai mengatur menu untuk makan keluarga tiga kali sehari, belum untuk jajan anaknya. Karenanya, sewaktu Rachel sadar haidnya bulan ini belum datang, ia hanya mampu membeli test pack seharga tiga ribu di apotek sekitar tempat tinggalnya.
Entah kenapa hasil tesnya sepertinya kurang akurat. Dua garis yang samar membuatnya ragu-ragu, maka dari itu pagi tadi begitu sang suami berangkat dengan motornya untuk mencari nafkah sebagai ojek online, Rachel mengambil uang simpanan yang ia tabung dari sisa uang jajan Alea. Kemudian menitipkan Alea ke tetangga kontrakan supaya ia bisa bergegas pergi ke tempat praktik bidan paling dekat. Rachel sengaja memilih bidan, biarpun agak jauh dari rumah kontrakannya, tapi biaya periksa lebih murah. Fasilitas di sini juga lumayan lengkap, minimal ada alat USG.
Menanggapi pertanyaan Rachel, Bidan Mirna tersenyum dan menjawabnya dengan sabar, “Nggak juga ah, semua test pack sama aja. Hasil test pack bisa samar biasanya karena hormon hCG yang dihasilkan masih sangat rendah jadi belum bisa terdeteksi sepenuhnya. Nanti kalau usia kehamilan bertambah, hormon hCG dalam tubuh bumil meningkat, hasil test pack akan semakin jelas. Oh iya, hari pertama mens terakhirnya kapan?”
Rachel mengingat-ingat dengan ekspresi yang sangat serius, “Lupa, soalnya sering nggak teratur. Kayaknya antara tanggal 5 sampai 10 deh, Bu, lebih dari dua minggu. Kalau nggak salah pas imunisasi balita bulan lalu.”
Bidan melihat kalender kegiatan di atas meja, “Itu sih sudah mau sebulan, tapi nggak minum apa-apa kan? Kayak pil atau jamu terlambat datang bulan gitu?”
Rachel menggeleng. Sudah tiga minggu ternyata, bisa-bisanya dia lalai. Hatinya perlahan mulai diliputi perasaan cemas. Berbagai spekulasi berkecamuk dalam benaknya.
Aku takut hamil, pikir Rachel dengan gelisah dan gusar.
Bidan di sampingnya hanya memandang layar USG dengan serius, satu tangannya yang memegang alat pemindai menyusuri perut Rachel yang memiliki sedikit lipatan lemak.
Alis Bidan Mirna mengerut hampir menyatu dengan keningnya yang lebar, terurai dengan cepat. Disusul senyum muncul di wajahnya yang ayu keibuan. “Nah, kelihatan juga akhirnya.”
Rachel melihat layar yang dalam pandangannya sama, agak gelap. Firasatnya buruk. “Apanya yang muncul, Bu?”
“Kantung rahim. Lihat, nih, bulatan hitam dalam kantung rahim, artinya sudah ada calon bayi disana.”
Bidan mengatakan kepada pasien di sebelahnya apa yang telah dia amati, dia menoleh dan mendapati bahwa pasiennya sedang menatap dengan mata yang membulat. Rachel memegang tangan Bidan Mirna erat-erat, seolah-olah ia tidak percaya. Matanya yang bening semakin berkilau diselimuti genangan air mata. Bidan Mirna mengira itu adalah air mata bahagia.
“Ha-hamil? Jadi beneran saya hamil, Bu?” Wajah pucat Rachel Amanda semakin putih, seputih kertas.
Hasil ini memang sudah sesuai prediksinya, tapi tetap saja Rachel merasa tak siap dan juga takut. Memiliki bayi artinya bertambah tanggung jawab, bertambah pengeluaran. Paling ia khawatirkan itu reaksi suaminya nanti.
Berapa harga susu bayi paling murah sekarang? Belum popoknya, baju, imunisasi, obat-obatan, mainan, produk perawatan bayi, dan lain-lain. Semua mahal!
Dengan kondisi perekonomian mereka sekarang, rasanya tidak mungkin buat Rachel dan Jonathan menambah beban satu anak lagi. Jangan lupa biaya untuk Allea yang semakin besar semakin membengkak. Terus terang Rachel prihatin, mungkin karena gizi Alea tidak cukup, putri sulungnya tumbuh begitu mungil. Rachel bahkan kuat mengangkatnya dengan satu tangan. Di umur Alea yang masih kecil dan serba kekurangan, tak mungkin Alea sanggup punya adik lagi.
Bidan yang tidak tahu jalan pikiran Rachel dengan cepat mencetak gambar hasil USG, lalu mengangkat kelopak matanya untuk melihat Rachel yang masih termenung dengan wajah kacau. Dahi wanita itu kembali mengeriput. Ini adalah pertama kalinya ia bertemu pasien yang begitu muram dengan kehamilannya. Padahal setahu Bidan Mirna pasien di hadapannya ini punya suami, jadi apa yang harus ditakutkan?
“Iya, benar Mbak Rachel.” Bidan mengambil tiga lembar tisu, memberikannya kepada Rachel yang langsung digunakan oleh wanita itu buat membersihkan sisa gel dari perutnya. Sembari menunggu Rachel, bidan berjalan lagi ke mejanya. “Kondisi janinnya sehat, tapi tetap harus hati-hati lho. Jangan berhubungan dulu dengan suami sampai benar-benar kuat.”
Nasihat itu menimbulkan rona merah di wajahnya karena malu-malu. Bayangan Jonathan, suaminya yang memang terlalu bersemangat saat memberikan nafkah batin berkelebat sepintas di benak Rachel. Sesaat kemudian ia menyesali kebodohannya yang merasa selama ini baik-baik saja biarpun kadang memakai kontrasepsi atau kadang tidak saat berhubungan suami istri.
Tetapi punya satu bayi lagi? Benarkah dirinya dan Jo akan memiliki seorang bayi lagi.
Seolah tidak percaya, dia melihat kembali foto USG itu dengan cermat, dan baru lima kali setelah membaca setiap data dia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Melihatnya terus terdiam, Bidan Mirna yang memeriksanya bertanya, “Kok malah bengong, Mbak Rachel? Harusnya senang dong dapat rejeki lagi.”
Bibir mungil Rachel ditarik membentuk senyum yang terlihat agak terpaksa. “I-iya, Bu.
Benar, anak ini adalah rejeki. Kenapa dia harus takut dengan rejeki yang dianugerahkan oleh Tuhan?
Sekarang yang harus dia pikirkan adalah cara bagaimana dia menyampaikan kejutan ini kepada Jonathan.