Tangan Hangat Crazy Rich
Penulis:LianaAdrawi
GenreRomantis
Tangan Hangat Crazy Rich
Setelah meminta izin baik-baik, Jonathan akhirnya memberikan izin bagi Allea untuk bermain dengan Nina lagi. Anaknya sangat senang sampai meloncat-loncat kegirangan.
Jonathan memberikan uang pecahan sepuluh ribu kepada Allea yang langsung pergi ke rumah Nina untuk membeli jajan.
Rachel tengah menemani Jonathan makan dengan santai. Walau matanya menatap ke arah televisi, tetapi otaknya berpikir tengah keras, banyak cabang saat ini.
"Bun, mau nelpon ibumu, gak?"
"Untuk?"
"Ya siapa tau rindu gitu," balas Jonathan.
Rachel menggeleng dan kembali berdiam. "Jon," panggilnya kemudian.
"Yes?"
"Habis ini langsung berangkat?" tanyanya basa-basi.
"Iya. Kenapa, Bun?"
Bibirnya sudah ingin berbicara tetapi kembali terkatup. Dia menggeleng kecil bersamaan dengan telepon genggam jadulnya berbunyi.
Dari sang ibu.
"Ibu nelpon, aku angkat dulu ya … oh iya, jangan pergi dulu Yah," katanya pamit menuju kamar untuk menjawab panggilannya.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Bu."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar, Nak?"
"Alhamdulillah, baik, Bu. Kabar ibu sendiri gimana?"
"Sehat, Nak. Cuma bermimpi lagi, kalian baik-baik aja kan di sana?"
"Iya ibu. Kalau bisa, mimpi jangan terlalu dipercaya begitu," kata Rachel lelah. Dia tengah tegang dan harus mendengar mimpi konyol ibunya.
"Tapi kan ini mimpi waktu—"
"Aku tau, Bu. Masih dengan jelas aku mengingat setiap perkataan ibu mengenai mimpi meninggalnya bapak. Dan kumohon, jangan mengulangi lagi seolah-olah aku yang membunuh bapak!" bentak Rachel dengan napas terengah-engah.
"T-tapi nak, ibu h-hanya …."
"Sudahlah, jika ibu hanya ingin mengatakan tentang mimpi itu." Rachel memejamkan matanya, dia menarik napas pelan dan menghembuskannya. "Kita bicarakan tentang hal lain ya, Bu?"
Terdengar suara helaan napas dari seberang sana. "Maaf, Nduk. Jika ucapan ibu menyinggungmu."
"Jangan dipikirkan, Bu. Maafkan ucapanku yang kasar barusan," balas Rachel merasa bersalah. "Ibu sudah makan?"
"Nggih, sudah baru saja. Bagaimana Lea dan Jon?"
"Kami baik bu di sini. Alhamdulillah, orderan Jon lancar jadi mencukupi kebutuhan sehari-hari, maaf kalau aku belum bisa beri ibu."
"Jangan pikirkan ibu. Di sana, kamu harus makan yang cukup dan menabung. Em, Nak. Bolehkah ibu bertanya?"
"Apa itu, Bu?"
"Kamu enggak ada niatan untuk memiliki anak kedua begitu, Nak? Ada yang bilang, banyak anak, banyak rezeki."
Tubuh Rachel mematung.
"Allea kan sudah besar. Ibu rasa sekarang sudah waktunya untuk mengandung lagi, kan? Atau, kalian tidak ingin menambah anak?"
Rachel terdiam.
"Semua keputusan berada di tangan kalian, Nduk. Tapi jika boleh ibu beri saran, ikuti keinginan suamimu ya. Kamu saat ini tidak memiliki dua kantong restu dari orangtuanya jadi ibu harap, karena dua pemikiran kalian yang berbeda membuat mertuamu itu memiliki kesempatan untuk membawa Jonathan pergi. Ibu tidak ingin terjadi itu … oh ya, ibu matikan dulu ya teleponnya, ada tamu!"
Tutt! Tutt!
Rachel terduduk di atas kasur, tangannya meremas pelan ponsel tersebut. Apakah benar jika ada telepati seorang anak dan ibu? Kenapa ibunya bisa mengetahui perasaan dia saat ini?
Dia menggeleng kuat, mengenyahkan pikiran buruk yang hinggap di otaknya. Jonathan—ah!
Rachel keluar dari kamar segera ketika mengingat bahwa suaminya dilarang untuk pergi tanpa izin.
"Yah," panggilnya seraya mendekati Jonathan yang tengah membereskan barang-barang di sekitar televisi yang berantakan.
"Sudah selesai? Ibu ngomong apa aja?" tanya Jonathan.
Rachel duduk di kursi, diikuti oleh Jonathan. "Yah, ibu menyarankan sesuatu. Karena kamu masih sakit juga kan, dia meminta aku yang bergantian bekerja, bagaimana?" tanya Rachel hati-hati, suaranya dibuat selembut dan sepelan mungkin. Dia berbohong.
Sebelah alis Jonathan terangkat. "Menjahit maksudmu?"
"Bukan tapi home care. Perawat yang datang ke rumah pasien," jawabnya lagi. "Ibu takut, kamu semakin parah sakitnya. Jadi beliau meminta aku buat bekerja sementara."
Jonathan bergeming.
"Tenang aja, aku nanti bawa Allea—"
"Enggak," tolak Jonathan final. "Aku yang kerja, aku kepala rumah tangga. Jadi, kamu di rumah aja, oke?"
Rachel menahan napasnya.
"Bilang ke ibu, aku sehat-sehat aja dan bisa bekerja rodi."
***
Bahkan sebelum berangkat tadi, Jonathan sempat mual-mual. Tentu saja. Rachel khawatir. Dia tidak bisa menerka-nerka penyebab dari penyakit suaminya.
Suhu tubuhnya normal, tidak demam, flu, batuk, dan tidak memiliki riwayat penyakit dalam lain. Rachel sudah memberikan obat lambung dengan pikiran bahwa ada infeksi tetapi masih saja, Jonathan mual-mual mengeluarkan cairan putih—eh?
Cairan putih?
Rachel tersentak dari duduk membuat Allea yang tengah tertidur ikut terkejut. Dengan sigap, Rachel menepuk-nepuk pahanya agar kembali tenang. "Shh, bobok lagi ya nak," gumamnya.
Setelah dirasa Allea sudah tidur nyenyak kembali, Rachel perlahan keluar dari kamarnya. Dia menuju tetangga samping rumah yang tengah duduk santai di depan halaman.
"Assalamualaikum, Mbak."
"Wa'alaikumussalam, dik. Sini main-main."
Rachel mendekat ke arahnya. "Mbak, saya boleh minta tolong enggak?"
"Apa itu?"
"Boleh pinjam ponselnya nggak, Mbak? Saya mau cari sesuatu di internet," katanya kemudian.
"Oh, boleh-boleh. Ini," balasnya sambil memberikan ponsel yang sudah menampilkan aplikasi internet.
Rachel mengangguk berterima kasih dan mulai mengetikkan serangkaian kalimat yang dia ingin cari. Sedangkan tetangganya pamit ke dalam karena tengah menggoreng.
'Apakah seorang ayah bisa mengalami morning sickness?'
Dan banyak sekali artikel yang keluar. Rachel memiliki salah satu di antara mereka.
——
'Sangat unik sekali, seorang ayah dapat merasakan gejala kehamilan yang dialami oleh bunda.'
'Bagi para ayah, morning sickness merupakan sindrom couvade. Gejala yang biasanya dialami yaitu mual, muntah, perut bergejolak, tidak nafsu makan, tubuh sakit, berat badan naik, dan juga ada kasus terjadi iritasi kandung kemih.'
'Selain kondisi fisik, ayah dapat merasakan gejala psikologis seperti cemas berlebihan, gelisah, tidak nafsu berhubungan intim, sampai perubahan pola tidur.'
'Pada kasus ini, ayah akan ikut merasakan kondisi morning sickness pada trimester pertama dan akan muncul lagi saat trimester ketiga sampai menjelang persalinan.'
'Ketika ayah begitu menantikan calon buah hati, dapat meningkatkan kadar hormon prolaktin dan estrogen yang terjadi pada trimester pertama lalu saat trimester ketiga kehamilan, kadar testosteron dan hormon stress kortisol menjadi menurun rendah.'
'Morning sickness bisa terjadi dengan ayah karena beberapa faktor seperti khawatir terhadap kesehatan bunda dan janin, merasa frustasi sebab tidak dapat membantu menurunkan kondisi mual dan sakit pada bunda, serta terdapat kecurigaan bahwa bunda tengah pura-pura mual.'
——
"Semua gejala yang ditunjukan sama Jonathan hanya mual dan gelisah aja," gumam Rachel. "Dia nggak merasa khawatir, dia tau aku hamil aja enggak."
"Tapi, kok bisa Jonathan mual-mual, sih? Apa benar karena morning sickness? Aku juga kok nggak mengalami gejala hamil ya," katanya kebingungan. "Dulu waktu hamil Allea, usia kandungan lima minggu aja udah mual banget."
Rachel menggeleng kecil, mengusir pemikiran negatifnya. Dia segera menghapus riwayat pencarian dan mengembalikan ponsel tersebut kepada sang pemilik.
Dia kembali ke rumah kontrakannya, menemani Allea tidur dengan perasaan kacau. Banyak sekali yang dia pikirkan.
Bahkan sampai saat ini, Jonathan masih bertindak semaunya. Tidak memperbolehkan dirinya bekerja, apalagi jika tahu dia hamil? Apakah mereka akan bertengkar hebat?
Tok! Tok!
Rachel tersentak kala mendengar suara ketukan pintu rumahnya begitu tidak sabaran.
"Dik Rachel! Apa ada di dalam?"
Rachel segera membuka pintu rumahnya. "Iya, Bu. Ada apa?"
Di sana terdapat Bu Tuti yang begitu panik. "Dik tolong bantu saya, Nina jatuh dari motor!!"
"Innalillahi, iya Bu. Saya bangunkan Allea terlebih dahulu." Rachel kembali masuk ke dalam, dia mengguncang pelan bahu Allea yang langsung terusik. "Nak, ayo bangun. Kita ke rumah Nina ya."
Allea perlahan membuka kelopak matanya, dia merentangkan tangan ke arah Rachel yang langsung menggendongnya dan mereka segera berjalan menuju rumah Bu Tuti.
Sesampainya di sana, sudah ramai oleh ibu-ibu yang menenangkan Nina tengah menangis hebat.
Rachel menurunkan Allea di sebelah Nina. Tatapannya beralih kepada Bu Tuti dan berkata, "Bu, saya minta cairan alkohol, kain kasa, betadine, handscoon, hypafix … plester luka bentuk putih ya."
Lalu, dia beralih kepada Nina. "Nak, tahan sebentar ya," katanya seraya meniup-niup pelan lukanya. Terdapat goresan di lutut Nina sedikit lebar dan tulang kering.
Bu Tuti segera menyerahkan apa yang diminta oleh Rachel. "Ini, Dik. Semua saya bawa, ada plasternya juga."
"Terimakasih, Bu."
Rachel menarik napas dalam-dalam, dia akan melakukan tindakan keperawatan pertolongan pertama yang sering dia lakukan dulu.
Sedikit, dia merasakan deja vu.
***
Hal pertama yang dilakukan Rachel yaitu memakai handscoon lalu menyiram kain kasa menggunakan cairan alkohol. Dia sudah meminta Bu Tuti untuk memegangi kaki Nina agar tidak bergerak-gerak karena ini akan sangat perih.
"Tahan ya, Nak."
Mulai dari lutut, Rachel membersihkan luka tersebut. Bukan di gosok-gosok melainkan tap-tap sampai keluar busa. Dia lakukan itu juga ke luka bagian lain.
Nina sudah meraung-raung hebat.
Rachel tak lupa meniup-niup luka tersebut. "Bentar ya, Sayang. Dikit lagi hilang lukanya," katanya menenangkan.
Setelah selesai membersihkan menggunakan alkohol, Rachel menuangkan betadine di atas kain kasa dan melakukan hal yang sama dengan sebelumnya.
Suara tangisan Nina meredup, tidak terlalu hebat dan hanya terisak pelan.
"Nah, selesai kan?"
Terakhir, supaya tidak terkena polusi udara, Rachel menaruh beberapa kain kasa yang sudah dilumuri betadine untuk menutupi bagian luka tersebut. Lalu membalutnya menggunakan hypafix atau plester khusus untuk merekatkan pembalut luka.
"Bu, nanti kalau mau ganti perban, cara buka plasternya itu dibasahi menggunakan cairan RL atau NACL untuk infus itu ya, Bu. Bisa beli di apotek, jangan terlalu basah, lembab saja cukup. Waktu buka, secara perlahan soalnya akan sakit," jelas Rachel. "Untuk membersihkan luka, jangan lupa memakai handscoon steril sekali pakai seperti tadi. Setelah dibersihkan, berikan salep agar tidak menimbulkan belas dan cepat sembuh."
Bu Tuti mengangguk.
"Ganti perban dilakukan dua kali sehari, saat pagi dan sore. Jangan lupa Bu, sebab jika tidak diganti, luka akan melembab dan bakteri akan hinggap."
"Untuk salepnya, apa itu?"
"Sebenarnya, untuk luka jatuh seperti ini bisa menggunakan betadine, tetapi kalau ibu mau memakai salep lain juga bisa."
"Baik-baik, pakai betadine aja deh Dik yang sering dipakai," kata Bu Tuti sedikit lega. "Oh iya, nanti sesudah saya beli, tolong lihat apakah benar ya, Dik."
"Nggih, Bu. Waktu jatuh, apa kepala Nina terbentur, Bu?"
"Enggak, Dik. Dia jatuh sama saya, masuk ke dalam pelukan saya. Kan saya lagi duduk di atas motor, belum siap tapi dia lebih dulu loncat ke arah saya," jelas Bu Tuti.
"Oalah begitu. Tidak ada luka lain selain ini Bu?"
"Ndak."
"Kalau ibu sendiri? Apakah ada luka? Memar atau lecet?"
Bu Tuti menyengir. "Nggak ada, Dik. Saya mah sudah kebal."
Rachel tersenyum tipis. "Kalau misal nanti setelah sembuh ada bekas luka dan ibu tidak menginginkan itu, ibu bisa beli ke apotik untuk menanyakan obat penghilang bekas luka ya Bu. Saya permisi, sudah sore hehe."
"Iya, Dik. Terimakasih banyak pertolongannya."
"Sama-sama, Bu."
***
Di sisi lain, Jonathan menghela napas lelah, dia merasa tidak enak badan dan orderan semakin banyak. Ada yang meminta mengantar barang, membelikan sesuatu, mengantar orang, dengan lokasi yang begitu jauh-jauh. Jika ingin menolak, takut tidak mendapatkan penghasilan, Jonathan akan bekerja apapun.
Tetapi, dia sudah sakit begini. Satu kalimat yang selalu Rachel tekankan.
'Tidak apa-apa enggak memiliki uang, asal tidak sakit.'
Dan, Jonathan baru menyadari makna dari kalimat tersebut. Perut yang terasa mual-mual dan kepala sangat sakit, tapi dia tidak bisa melakukan apapun.
Dia melepaskan jaketnya, menuju salah satu tempat duduk di restoran. Hari ini, para ojek online diberi voucher gratis untuk makan.
Sebelum ke sana, dia lebih dulu membeli paracetamol, obat antibiotik yang bisa menyembuhkan penyakitnya saat ini.
Baru saja duduk dan selesai minum obat, Jonathan dikejutkan dengan tarikan kursi di meja tempatnya. Dia menatap sang pelaku yang tidak sendiri.
"Nah kan bener, Jonathan!"
Hal yang paling dihindari Jonathan adalah bertemu kenalannya dulu, di mana mereka tahu jika dia seorang anak orang kaya.
"Shit, sekian banyak tempat, kenapa bisa ketemu di sini sih?" umpat Jonathan dalam hati dengan wajah tanpa ekspresi.
"Oh, bro!" sapanya kemudian.
Mereka adalah teman kampusnya dulu. Satu tongkrongan.
"Gimana bro pernikahan lo?"
Jonathan mengangguk kecil. "Baik aja."
"Gue denger, lo diusir sama nyokap gara-gara nikah, bro?"
Dia hanya diam.
Temannya yang duduk di sebelah Jonathan menepuk bahunya prihatin. "Bro, gue udah pernah bilang, jangan deketin cewek yang beda agama sama kita. Apalagi keluarga lo itu taat agama, pastilah enggak merestui hubungan kalian."
"Kerja di gojek sekarang lo, Bro?"
"Ya mau gimana lagi," gumam Jonathan.
"Balik aja lah ke rumah ortu, gue denger, sepupu lo mau nikah bulan depan bro, Si Michelle. Mending lo sujud, minta ampun supaya dimaafkan. Lo itu anak laki satu-satunya, pasti mereka nunggu lo balik serasa nggak ada yang mewariskan semua harta."
Jonathan mulai kepikiran, dia merenungkan kembali ucapan temannya itu.
"Soal anak? Istri? Gampang sih, Bro. Ceraikan aja, sekarang bukan cinta yang dibutuhkan tapi uang. Lo udah merasakan bagaimana susahnya hidup dengan cinta, yakin mau terus lanjut?"
Tiga orang di sana saling melemparkan ujaran provokasi dan juga mendorong Jonathan untuk kembali jaya.
Pria yang duduk di hadapan Jonathan ikut berkata, "gue denger sih, habis Michelle menikah, keluarga besar lo mau holiday beberapa bulan ke Dubai. Ada bisnis baru di sana, kalau lo nggak gerak cepat bisa ketinggalan pesawat nih, hahaha."
"Ada-ada aja lo, Bro. Oh iya, mau ikut join sama kita-kita nggak?"
Jonathan menatapnya bingung. "Ke mana?"
"Udah lama kita enggak kobam bareng, yuk lah sesekali."
"Gue lagi gak enak badan, Bro. Mual-mual sejak kemarin," tolak Jonathan halus.
"Hamil apa lo?"
"Ngaco, gue laki-laki."
"Kenapa memang kalau lo laki-laki, Bro? Waktu bini gue hamil, badan gue terasa nggak enak banget, nggak nafsu makan, sakit-sakit badan, dan mual gitu lah, Bro. Ternyata waktu dicek ke dokter, itu sindrom seorang ayah yang ikut morning sickness."
"Wow lo mau punya anak lagi Bro? Selamat!"
"Ngadi-ngadi lo semua, gue nggak punya anak lagi ya. Udahlah ya gue balik dulu mau ambil orderan," balasnya. Saat Jonathan berdiri temannya langsung menariknya untuk duduk kembali.
"Santai bro, gini deh, hari ini gua bayarin semua. Lo ikut kita kobam, refreshing sekalian menghilangkan stress nanti gua kasih uang jalan. Gimana? Setuju?"
"Wah mantap nih ada yang bandarin, gas lah."
Melihat temannya yang begitu memaksa membuat Jonathan tidak bisa menolak. Mereka memutuskan makan lebih dulu di restoran tersebut lalu pergi ke sebuah klub malam.
Dulu merupakan tempat langganan Jonathan bersama teman-temannya, dan ini pertama kalinya setelah sekian lama dia menginjakkan kaki lagi di sini.
Sesampainya di sana, ternyata sudah ada teman-teman Jonathan yang lainnya tengah menunggu. Mereka bahagia karena hari ini adalah acara reuni kampus dan Jonathan hadir setelah 4 tahun absen.
Bahkan di sana ada mantan pacar Jonathan yang merasa kasihan melihat keadaannya saat ini, tetapi mereka semua setuju untuk tidak membahas apapun mengingat apa yang dilalui Jonathan merupakan rahasia umum lagi.
Jonathan tidak sadar jika waktu berlalu begitu cepat dan dia sudah menghabiskan 5 sloki tequila dicampur dengan wine.
Jonathan melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 08.00 malam, dia mengambil jaketnya yang sebelumnya dilepas dan berniat untuk pergi dari sana.
Tetapi sorakan mereka terdengar kuat, teman-teman Jonathan tidak setuju jika dia pulang saat ini yang menurutnya masih begitu sore.
Dan, tanpa Jonatan sadari, waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 malam, keadaannya sudah setengah sadar.
Teman yang mengajak tadi menelpon seorang sopir untuk mengantar Jonathan pulang menggunakan sepeda motornya. Tak lupa dia menyisipkan berlembar-lembar banyak uang merah dan sebuah surat di saku jaket.
Dengan harapan jika Jonathan kembali kepada kehidupan lamanya yaitu menjadi anak berbakti pada orang tua demi harta yang berlimpah.