Tangan Hangat Crazy Rich
Penulis:LianaAdrawi
GenreRomantis
Tangan Hangat Crazy Rich
Satu kebiasaan baru yang dibuat Rachel dan Jonathan yaitu berpegangan tangan saat tengah bertengkar. Allea tahu jika orangtuanya bermusuhan maka dari itu, dia memaksa mereka untuk berbaikan dengan cara ini. Seperti yang dia lakukan dulu dengan Nina.
Sejak tadi pagi, saat makan sarapan pun, Jonathan setia menggenggam erat tangan Rachel.
"Nah, gitu dong, Yah, Bun. Baikan, jangan bertengkar ya," kata Allea puas. Dia makan dengan riang, tanpa menyadari jika kedua orangtuanya tengah berkonflik batin.
"Bunda mau cuci piring dulu," ujar Rachel melepaskan tautan tangan mereka, dia membawa piring kotor miliknya ke tempat cucian.
Allea menatap punggung ibunya yang kian menjauh, lalu dia beralih kepada Jonathan dan berbisik, "ayah, Lea mau bilang sesuatu."
"Apa nak?"
Mendengar suara Jonathan yang mengeras membuat Lea menaruh jari telunjuknya di depan bibir. "Sutt! Pelan-pelan, nanti bunda dengar," balasnya dengan bisikan. "Ini rahasia Lea dengan ayah aja."
Jonathan mengangguk. "Kenapa, hm?" tanyanya ikut berbisik.
"Hari ini Lea diajak Nina untuk sekolah, di taman bermain depan itu loh, Yah. Tapi, katanya, Lea enggak boleh masuk karena belum terdaftar menjadi anak sekolahan," ujar Allea mengerucutkan bibirnya membuat pipinya semakin mengembang.
Jonathan berpikir sesaat, menelaah perkataan ambigu Allea. "Sekolah? Kalian kan masih 4 tahun."
"Enggak tau, tuh. Pokoknya, belajar berhitung, menggambar, bermain, dan bareng temen-temen, Yah. Tempatnya di pinggir jalan besar sana, Lea mau, Yah!" rengeknya kemudian. Matanya berkaca-kaca dengan wajah masam, tangan kecilnya menarik-narik pelan pakaian Lea.
"Tunggu nanti aja ya, Nak? Di sana juga hanya bermain, kalau untuk belajar kan bisa minta ajarkan bunda," kata Jonathan menolak dengan halus, dia mengusap pelan kepala Allea yang sudah menatapnya memprotes.
Allea membanting sendok di tangannya sampai berbunyi nyaring. "Nggak mau, pokoknya mau ikut sekolah!" teriaknya tak suka.
Jonathan menghela napas. "Iya nanti, minimal umur sekolah itu 8 tahun, Sayang. Masih 4 tahun lagi, sabar ya, Nak?"
"Bohong! Bohong! Buktinya Nina hari ini sekolah padahal umurnya sama dengan Lea," bantah Allea.
"Sekolah apa sih?" gumam Jonathan bingung. Dia beralih menatap Rachel yang tengah mencuci piring. "Bunda!!"
Allea segera menepuk-nepuk lengan ayahnya. "Ih, jangan bilang ke bunda!"
"Ya?" Rachel berjalan menghampiri mereka, duduk di sebelah Allea dan mulai menyisir rambut anaknya. "Ada apa?"
"Bun, Nina itu sekolah di mana?"
"Sekolah? Sekolah apa?"
"Itu loh, Bun. Kata Nina, dia mau sekolah di taman luas pinggir jalan depan sana," jawab Allea cepat. "Lea mau ikut!!"
"Oh itu, tempat penitipan anak," ujar Rachel kepada Jonathan.
"P-pe? Pe apa Bun?" Allea bertanya bingung, dia begitu asing dengan kosa kata tersebut.
"Pe-ni-ti-pan."
"Pe … ni … ti … pan!"
"Yap." Mata Rachel beralih kepada Jonathan yang terdiam. "Ayah sudah mau berangkat?"
"Eh, iya. Ayah berangkat dulu ya, ada orderan pagi ini," jawab Jonathan seraya mengambil barang-barangnya. Rachel segera pergi ke kamar untuk mengambilkan jaket berlogo ojek online.
Namun, saat Jonathan ingin beranjak, Allea segera memeluk erat kaki ayahnya, tak membiarkannya beranjak sedikitpun.
"Jangan pergi, jangan! Lea mau ke sana sama Nina, ayahhh!!" teriaknya merengek-rengek dengan air mata menetes yang semakin deras.
"Kamu masih kecil, Lea. Itu bukan sekolah tapi tempat penitipan anak … kamu kan ada bunda yang jaga, mungkin Nina nggak ada yang jaga," sentak Jonathan sedikit kesal seraya menarik tubuh Allea agar melepaskannya. Dia tengah terburu-buru saat ini, takut orderan dibatalkan.
Allea menggeleng kuat, tangannya semakin merengkuh kakinya erat. "Bohong, ayah bohong!"
"ALLEA!" teriak Jonathan kemudian. "Lepaskan kaki ayah, sekarang!"
Suara teriakan ayahnya membuat Allea ketakutan, perlahan, cengkraman tangannya terlepas. Tubuhnya bergetar hebat dengan tangis bagaikan hujan. Dia menunduk takut sedangkan Jonathan semakin emosi mendengar isakannya.
"Kamu ini, kenapa ingin ikut-ikutan orang lain, sih?!"
Rachel mendengar teriakan itu, hatinya teriris melihat anak perempuannya terisak karena bentakan sang ayah. "Jonathan!" Dia berlari menghampiri Allea, merengkuhnya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa Lea dibentak gitu?!"
Jonathan menggeram. "Ini nih karena kamu kerja kemarin, dia jadi main sama anak tetangga itu! Karena kamu, dia jadi ikut-ikutan hal-hal seperti itu," teriaknya kesal. "Sudah aku bilang jangan memberikan pengaruh buruk."
"Bicara baik-baik kan bisa, enggak perlu berteriak, malu didengar tetangga. Ini bukan apartemen kamu yang kedap suara," balas Rachel. "Aku enggak tuli dan masih bisa mendengarmu dengan baik!"
Jonathan berdecak sinis, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Rachel menatapnya tajam, entah kenapa, dia begitu murka melihat wajah menyebalkan Jonathan saat ini. Tangannya menutup kedua telinga Allea dan berkata, "seharusnya kamu bilang tidak jika tidak menyetujuinya. Katakan, apa karena uang, hah? Aku tau kita dalam kondisi buruk saat ini, tapi, aku harap jangan ada pertengkaran!"
Mereka berdua saling tatap, bersitegang.
Napas Rachel memburu, dia melempar jaket di yang tadi dia bawa ke arah Jonathan. "Sana pergi!"
Jonathan mendengkus kesal, dia segera pergi dari sana untuk bekerja. Tapi sebelum itu, dia menaruh uang dua ratus ribu ke atas meja, pemberian Nathalia.
Allea memeluk tubuh Rachel erat, dia begitu ketakutan. Ini pertama kalinya Jonathan berteriak murka dengannya. Dan, cukup membuatnya sangat trauma.
Rachel menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Dia mengusap punggung Allea pelan. "Maafkan ayah ya, Nak? Lea tau sendiri, ayah masih sakit dan harus bekerja untuk beri kita makan."
Allea terisak-isak, dia menggeleng kecil.
"Kalau ayah enggak kerja, siapa coba yang mau beri uang buat kita hidup, hm?"
Rachel menutup pintu rumah lalu membawa anaknya menuju kamar, merebahkannya, tetapi Allea masih memeluknya erat. Dia tidur miring dan kembali bersuara. "Hei, mau dengar penjelasan bunda, enggak?"
Allea berusaha menghentikan isakannya, dia menatap Rachel dengan mata bengkak. "A-apa?"
Rachel mengusap keningnya yang basah. "Sayang, ibunya Nina lagi ada pekerjaan, rumahnya ramai dan ayah Nina lagi kerja juga kan di luar kota?"
Allea mengangguk. "Iya," jawabnya pelan.
"Berarti, tidak ada yang bisa jaga Nina sekarang. Maka dari itu, dia akan ke tempat penitipan anak, rumah dengan taman besar di depan sana. Itu bukan untuk sekolah," jelas Rachel perlahan.
"Loh, kenapa dititipkan, Bun?"
"Iya, karena ibundanya Nina sibuk. Lea memangnya mau main sama Nina, hm?"
"Mau, Bun!"
"Oke, sekarang kita ke rumahnya Nina ya," ajak Rachel.
Tapi sebelum itu, dia membawa Allea ke kamar mandi dan membasuh wajahnya yang sudah sembab. Lalu, mereka segera menuju ke rumah Bu Tuti yang sudah ramai, tapi sebelumnya, tak lupa Rachel mengambil uang yang ditinggalkan oleh Jonathan. Dia tidak akan bertanya darimana uang itu berasal.
"Assalamualaikum, Bu," sapa Rachel pada Bu Tuti yang tengah memberi makan Nina.
"Wa'alaikumussalam, Dik." Bu Tuti tersenyum lembut.
"Bu, saya mau ikut jahit lagi. Biar Lea bermain dengan Nina ya? Boleh kan, Bu?" tanya Rachel.
"Wah, boleh-boleh. Nina kebetulan mau ke penitipan depan sampai nanti siang soalnya saya harus pergi ambil bahan ke toko. Nina bersama dengan Lea ya?"
Mata Allea berbinar-binar. "Lea mauu!"
Nina pun ikut mengangguk. "Iya, Mama."
"Terimakasih, Bu. Maaf merepotkan," ujarnya sambil tersenyum lebar.
"Santai saja, Dik. Ya sudah, sebentar ya Lea, Nina makan sedikit lagi."
Melihat Nina tengah menghabiskan makanannya, Rachel mensejajarkan tubuhnya dengan Allea. Mengusap pelan pipi anaknya dan berkata, "Nak, kamu main ya sama Nina. Tapi ini rahasia, jangan sampai Ayah tau, ya? Dan juga, jangan nakal. Terus dekat dengan Nina nanti kamu hilang."
Allea mengangguk. "Tapi, kenapa enggak boleh beritahu ayah, Bun?" tanyanya bingung.
"Nanti ayah marah … jangan beritahu tentang Lea main dengan Nina dan juga Bunda yang menjahit di sini," jelas Rachel lagi seraya mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji?"
"Janji~"
*
"Saya tadi kaget mendengar teriakan ayahnya Lea, dia tidak memperbolehkan kamu bekerja ya, Dik?"
Rachel tersenyum kecil saat salah satu pekerja yang merupakan tetangganya bertanya sedih.
"Ya begitulah bu, dia takut jika Lea sendirian," jawabnya lembut.
"Walah, padahal di sini main dengan Nina kan ya …."
"Hehe, iya Bu."
Entah hal ini masih menjadi rahasia atau tidak, Rachel mengetahui bahwa ada yang menyebarkan rumornya mengenai dirinya hamil di luar nikah dan tidak direstui oleh keluarga Jonathan. Para tetangga di sana pun pada percaya karena melihat fisik suaminya yang mendukung sebagai anak orang kaya.
"Dik, dulu dirimu bekerja di mana sih memangnya?"
"Di klinik Husada Bu, di daerah Sudirman sana."
"Wah, kenapa sekarang berhenti Dik? Kan bisa tuh kerja sambil cari pengasuh."
Rachel meringis kecil. "Waktu itu saya mengundurkan diri karena tengah hamil Bu, jika sekarang mau mendaftar lagi sepertinya sudah diisi oleh orang lain."
"Ya nggak gitu toh, pasti diterima kan dirimu alumni sana."
Rachel terkekeh pelan. "Ada-ada aja ibu ini," balasnya lalu dia kembali berfokus untuk memotong kain bendera.
Mereka kembali larut dalam obrolan.
"Eh, Bu. Kemarin saya dengar Bu Santoso teriak-teriak tidak dan menyebut kalau ada pelakor!"
"Hah, beneran Bu?"
"Dunia semakin tua ya memang."
"Ngeri banget ya sekarang, para perempuan bukannya cari pasangan yang single malah yang beristri. Menambah populasi jendes aja."
Rachel ikut tertawa bersama ibu yang lain mendengar celetukan tersebut. "Namanya kebutuhan, Bu. Mereka yang berani merebut suami orang pasti ada dua tipe, karena cinta atau harta," tambahnya kemudian.
"Ih, bener banget, Dik!"
"Tapi padahal Pak Santoso itu selalu rumah, main ponsel terus."
"Ya karena itu Bu, ketemu di internet, nyaman, ketemuan, dan terjadilah perselingkuhan," jawab Rachel lagi.
Banyak yang setuju dengan perkataannya.
"Dik, jaga suaminya loh. Hati-hati banyak tikungan tajam."
Rachel tersenyum. "Saingan saya bukan pelakor lagi, Bu. Melainkan restu," cetusnya membuat ibu-ibu di sana terdiam. Dia sengaja sih, ingin menyindir. Dia tahu bila mereka selalu menggosipkannya saat di belakang dan pura-pura baik di depan, Rachel hadir di sana juga karena kepepet.
"Aduh, jangan bilang gitu dong, Dik."
Rachel mengacuhkannya, dia kembali menekuni pekerjaannya yang bentar lagi selesai. Sampai, suara motor masuk ke dalam pekarangan rumah mengalihkan atensi mereka.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, ibu-ibu."
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."
Wanita memakai hijab syar'i dan menutup sebagian wajahnya menggunakan cadar tersebut mendekat, menyalami satu persatu yang ada di sana. "Apa kabar nih?"
Dia adalah ustadzah.
"Alhamdulillah baik, Ustadzah."
Saat dia ingin menyalami Rachel, tatapan matanya terlihat antusias. "Kebetulan sekali ada Mbak Rachel di sini," serunya.
Rachel tersenyum canggung. "Iya, Ustadzah. Tengah mencari saya?"
"Iya nih," katanya seraya duduk di sebelah Rachel. "Mbak dulunya perawat kan ya? Masih tertarik melanjutkan pekerjaan, enggak? Kebetulan, saudara saya sudah tua dan mencari perawat yang bisa home care. Mbak tenang aja, bisa bawa anak kok ke sana asal tidak mengganggu pekerjaan aja."
Rachel menatapnya berbinar-binar lalu kembali meredup. "A-ah, benarkah, Mbak? Saya belum berpengalaman," balasnya pelan.
"Loh, kok? Mbak sudah lama kan jadi perawat? Kenapa gitu, toh?"
"Belum, Mbak."
"Sing penting ono ilmune. Bisa dicoba, Mbak. Lumayan loh, perhari 400.000 rupiah dan mbak bekerja selama satu bulan. Ini saya sengaja minta bayaran lebih banyak mbak karena kenal Mbak Rachel, loh."
Tentu saja Rachel tertarik. Uang segitu bisa untuk makan beberapa bulan ke depan, tetapi dia ragu jika Jonathan menyetujuinya. Bekerja di dekat rumah saja dilarang, apalagi jauh dan sedikit berat.
Rachel meringis pelan. "Saya mau aja sih, Ustadzah. Tapi, saya izin suami dulu ya, takut Lea nggak ada yang jaga."
Ustadzah mengangguk. "Iya, Mbak. Anak dari saudara saya itu baru lulus kuliah keperawatan dan tengah pelatihan, jadi siang tidak ada yang menunggu. Kalau Mbak Rachel mau itu jam kerjanya pagi sampai siang … sekitar jam 3. Rumahnya enggak jauh dari sini, Mbak. Dia tinggal di apartemen."
"Iya, Ustadzah. Terimakasih informasinya, saya diskusikan dengan suami dulu ya," jawab Rachel final. Tak ingin berlama-lama, dia segera mengambil keranjang dan berpamitan sebelum masuk untuk menjahit. "Saya duluan ya ibu-ibu, sudah cukup target."
"Nggih~"
***
Hari ini, dapat seratus bendera. Rachel sangat bersyukur karena bisa menabung untuk biaya keperluan hamilnya nanti. Dia belum memikirkan bagaimana cara memberitahu Jonathan. Mungkin besok? Lusa? Entahlah, Rachel akan memikirkannya nanti.
Rachel terkekeh geli melihat Allea yang makan dengan lahap walau hanya menggunakan ati ampela dicampur dalaman ayam semur kecap, tahu goreng, serta kerupuk. "Pelan-pelan, Nak."
Allea menyengir, dia mengunyah dengan cepat lalu berkata, "bunda enggak makan?"
"Tadi sudah nak," jawabnya. Rachel memakan nasi kotak yang dibelikan oleh Bu Tuti dan setelahnya, dia membeli sayur mateng di warteg, beli banyak, bayar seikhlasnya. Program yang diadakan oleh sang pemilik setiap hari Jumat. Walau bayar berapapun, Rachel mengambil sayur secukupnya. Bisa untuk makan mereka bertiga sampai nanti malam dan memberikan harga sesuai, tidak banyak sih tapi sepadan dengan harga mentahnya.
Tok! Tok!
Ceklek.
Mereka berdua menoleh ke arah pintu yang terbuka dari luar. Jonathan pulang membuat Allea menundukkan kepalanya dan fokus makan dengan hati takut. Jonathan menyadari itu, tetapi dia biarkan. Tengah malas membujuk, dia berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar.
"Sudah pulang?" tanya Rachel menatapnya datar seraya ikut masuk ke dalam kamar. "Nyari apa?"
"Ganti baju, tadi nggak sengaja ketumpahan minuman pelanggan."
Rachel pun hanya diam dan memperhatikan Jonathan yang tengah berganti pakaian. "Em, Joe?"
Sontak, panggilan nama tanpa embel-embel 'ayah' itu membuat Jonathan mendengkus kecil. "Hm."
"Aku mau bilang sesuatu sama kamu—"
Ucapan Rachel terhenti karena Jonathan yang langsung berlari menuju kamar mandi dan menutup pintu dengan kasar.
"Huek-huek!"
Rachel memukul-mukul kayu tersebut dengan panik. "Joe, kenapa?!!"
"Ayah kenapa, Bun?" Allea bertanya pelan, dia ikut berdiri di depan toilet.
"Huek-huek!"
"Ayah buka," teriak Rachel lagi.
Suara muntahan lagi terdengar lalu suara siraman air sebelum pintu terbuka dan menampilkan wajah pucat Jonathan.
Rachel segera merengkuhnya. "Ya Allah, Joe!!" Dia membawanya menuju kamar, membantunya tiduran. "Kamu belum makan apa gimana sih?!"
"S-sudah," bisik Jonathan lemah. Dia memejamkan matanya erat.
Rachel menghela napas pelan, dia menuju dapur untuk merebus air. Tubuh Jonathan sedikit hangat, dia takut suaminya terserang demam.
Di dalam kamar, Jonathan membuka sedikit matanya ketika menyadari ada seseorang. Allea di sana, menatapnya dari jarak jauh. Dia merentangkan tangannya. "Sini, dekat ayah nak," katanya pelan.
Dengan langkah kecil, Allea mendekati Jonathan dan tubuhnya langsung ditarik ke dalam pelukan sang ayah.
Jonathan mengelus pelan kepala Allea. "Maafkan ayah ya, Nak. Ayah belum bisa memberikan banyak harta untuk Lea agar hidup nyaman dan makan dengan enak," bisiknya.
Allea mengangguk. "Iya, Ayah. Lea nggak papa, bunda selalu mengajari untuk menerima kehidupan apa adanya dan tidak memaksakan keinginan jika kita tidak mampu melakukannya," balasnya bijak.
Jonathan tersenyum sendu.
"Ayah jangan marah-marah lagi ya? Lea tau, kemarin ayah dan bunda bertengkar gara-gara Lea bilang kalau bunda bekerja kan? Tapi yah, yang Lea lihat adalah bunda begitu senang bisa beraktivitas di luar rumah. Selama ini, bunda jarang tertawa saat berbicara dengan tetangga … tapi Lea lihat sendiri kalau bunda berubah," bisik Allea sedih. "Lea enggak mau ayah dan bunda menangis."
"Maaf, Nak."
Allea mengangguk. "Kalau kalian sedih, Lea ikut sedih!!"
Mereka berdua sama-sama berpelukan, dalam tangisan diamnya, Jonathan menumpahkan segala emosinya yang terpendam. Dia sangat bimbang dan tidak bisa melepaskan apa yang dia miliki saat ini.
Dari luar kamar, Rachel mendengar semuanya. Dia bersandar pada dinding seraya mengusap pelan perutnya. "Nak, maafkan bunda yang belum bisa memberitahukan kehadiranmu," lirihnya bersamaan dengan air mata yang menetes perlahan.
Dia segera mengusapnya dengan kasar dan masuk ke dalam seolah-olah tidak terjadi sesuatu. Melihat Rachel yang tersenyum manis, mengobati rasa lelah di dalam diri Jonathan.