Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Gairah Sang Majikan
Sebuah rumah berlantai dua yang megah terlihat semakin mewah pagi ini. Semua orang berkumpul di halaman belakang rumah dengan gaya pakaian dan riasan elegan seolah ingin menampakkan kualitas dirinya. Halaman belakang rumah disulap menjadi Garden Party bertema Rustic memanjakan para tamu yang hadir.
Seorang perempuan bernama Arlyta Prinsa duduk termenung dalam kamar. Tangannya saling bertaut menahan gelisah dan takut.
"Semua akan baik-baik aja, Ta." Narita, sahabat sejatinya sejak SD berusaha memberi kekuatan. Dia merasa tak bisa melakukan hal lain untuk menolong sahabatnya.
"Nasibku ke depan gimana, Na?" lirih Arlyta saat melihat dirinya dalam cermin. Narita tak mampu menjawab selain dengan pelukan berharap memberi sedikit kekuatan bagi sahabatnya.
Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi seorang pengantin bertolak belakang dengan yang Arlyta rasakan. Sebuah pernikahan yang tak pernah dibayangkan dan diharapkan olehnya.
"Siap-siap ya, Ta, kayanya akadnya sebentar lagi mau dimulai, deh," ucap Narita melihat keluar kamar. Jendela kamar yang menghadap ke taman belakang membuat Narita bisa memantau hal yang terjadi di sana.
Rombongan pengantin pria sudah duduk di tempat yang disediakan. Kedua keluarga besar mempelai duduk dengan penuh khidmah di acara yang sakral ini. Sang Pria yang bernama Nando Putra İrawan, berulang kali menghela nafas ingin mengurai dadanya yang sedikit sesak karena sebenarnya tak ingin pernikahan ini terjadi.
"Kak, kamu sudah siap kan? Papa tidak ingin kamu mengecewakan keluarga," tegur sang ayah saat melihat sang anak tak bersemangat di hari pernikahannya. Nando hanya mampu mengangguk berusaha meyakinkan diri.
Serangkaian acara dipandu oleh Master Of Ceremony hingga waktunya akad nikah dilakukan. Nando menjabat tangan ayah mempelai wanita dan mengucapkan akad dengan penuh ketegasan hingga terlontar ucapan SAH dari seluruh tamu yang hadir. Doa dirapalkan oleh penghulu agar pernikahan yang dijalani penuh keberkahan dan kebahagiaan.
Di dalam kamar, Arlyta menangkupkan wajah dan tak terasa air matanya menetes saat terdengar kata SAH terucap. Kini dirinya sudah menjadi seorang istri dari seorang lelaki asing yamg tak pernah dikenalnya.
Saat Arlyta sedang berpelukan dengan Narina, İbunya Arlyta datang menjemput untuk turun ke halaman belakang karena sudah sah menjadi suami istri.
"Kamu sudah menjadi seorang istri, Caca, Mama harap kamu bisa menjadi istri yang baik untuk suamimu nanti hingga tak membuat malu keluarga besar kita." Perkataan İbunya membuat beban di pundak Arlyta terasa semakin berat, tak ada pelukan apalagi ungkapan penuh kasih sayang layaknya seorang ibu untuk anaknya saat melepas status lajangnya. Arlyta hanya mengangguk tak ingin membantah lebih banyak.
Dengan perlahan Arlyta dibimbing berjalan ke taman belakang tempat akad dan resepsi diadakan. Hanya keluarga besar yang diundang mengingat pernikahan ini dilaksanakan dengan persiapan waktu yang sangat singkat.
Master Of Ceremony mempersilahkan Arlyta untuk melakukan sungkem kepada sang suami sekaligus dilakukan pemasangan cincin pernikahan. Arlyta cukup penasaran dengan wajah suaminya yang sedang menghadap ke arah depan sehingga membelakanginya.
Jarak Arlyta semakin dekat dengan suaminya, perasaan Arlyta semakin gelisah karena sosok tegap suaminya seperti mengingatkan pada seseorang meski perasaanya terus berusaha dia tepis karena merasa tak mungkin.
Semakin dekat, sang suami membalikan badan dengan kotak beludru berisi cincin yang sudah berada dikedua tangannya bersiap untuk diselipkan di jari sang istri. Arlyta merasa detak jantungnya semakin cepat dan seperti ada yang menghantam dada saat dari dekat dia melihat wajah suaminya.
"Kamu?!" Dengan susah payah Arlyta ingin mengeluarkan segala sumpah serapahnya namun tanpa mampu dikendalikan kesadarannya perlahan menghilang. Semua orang berteriak kaget melihat Arlyta pingsan, Narita yang sejak tadi memapahnya berusaha menahan agar tubuh Arlyta tak jatuh.
***
Sekitar enam bulan yang lalu.
Siang ini lebih panas dari hari biasanya, meski kalau dipikir-pikir udara Jakarta sepertinya sangat mustahil mendapatkan predikat sejuk walau di malam hari sekalipun. Semester tujuh alih-alih fokus pada mata kuliah magang di perusahaan, tidak berlaku bagi seorang Arlyta yang harus mengulang mata kuliah Statistik yang sebelumnya mendapatkan nilai D.
Siang ini Arlyta terpaksa harus berada di kampus dengan memaksa Narita untuk menemaninya mumpung sedang tidak ada jadwal magang. Dalam sepekan Magang hanya berlaku empat hari, sedangkan hari lainnya disibukkan dengan proposal judul skripsi yang akan diambil ketika nanti semester delapan.
"Ta, dengar-dengar gosip kelas Statistikmu bakalan diampu Pak Nando, lho," ucap Narita sambil sibuk makan bakso di Kantin kampus.
"Ya, terus?" jawab Arlyta santai.
"Masih bisa santai aja kamu,Ta," kekeh Narita melihat respon sahabatnya yang terlampau tak acuh, "İnfonya sih dosen Killer tapi banyak penggemar karena gantengnya di luar nalah, cuy." Narita terus sibuk menceritakan tentang Pak Nando yang tidak sama sekali menarik menurut Arlyta.