Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Sang Pemuas
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
"Anak laki-laki gak boleh pegang sapu, biarkan saja kakak perempuanmu yang mengerjakannya!" Aku menghela napas kala ibu kembali mengatakan hal itu pada Dino, adikku. Sesak, ya itu yang kurasakan karena pekerjaan rumah ini mesti aku yang menyelesaikannya. Dino yang hendak membantu selalu saja dilarang oleh ibu.
"Anak laki-laki gak boleh di dapur, ini bukan tempatmu! Pergi nonton tv saja, gih!" Ibu merebut bawang yang di tangan Dino, lalu meletakkannya ke dalam wadah yang ada di hadapanku.
Entah apa yang ada di pikiran ibu, mengapa Dino yang sudah berusia tujuh tahun selalu dilarang membantu pekerjaan rumah, sementara aku dari usia lima tahun sudah diperintahkan untuk menyapu dan mencuci piring. Aku merasa ibu sangat pilih kasih!
"Din, bekas makannya taruh saja di wastafel, biar kakakmu saja yang mencucinya! Pantang bagi seorang lelaki memegang pekerjaan wanita." Aku terdiam, tak tahu kata apa yang harus aku ungkapkan pada ibu. Mengapa harus selalu aku yang mengerjakannya? Tidakkah ibu tahu jika aku pun lelah dalam membantunya? Usiaku masih sepuluh tahun, tapi pekerjaan ibu hampir semua aku yang mengerjakannya.
Seusai sarapan, ayah dan ibu pergi ke pasar untuk berjualan. Sementara Dino pergi ke sekolah bersama teman-temannya, dan aku? Ya, tinggal di rumah karena harus mengemasi semuanya hingga rapi, selepas itu aku harus menyusul ayah dan ibu ke pasar. Aku tidak diperkenankan untuk sekolah, sebab kepahaman mereka semua itu percuma karena ujung-ujungnya wanita akan ke dapur dan sumur juga.
Aku tak dapat membantah, karena aku tahu jika sekolah itu membutuhkan biaya, dan aku tak mau menambah beban pengeluaran ayah dan ibu.
"Jadi perempuan itu harus serba bisa, jangan cuma bisa kerja di rumah aja, tapi harus bisa kerja di luar rumah juga cari duit!" Kata-kata ibu selalu saja terngiang-ngiang di telinga, benar-benar mengganggu dan membuat hatiku kian teriris.
Jika anak-anak seusiaku di luar sana sedang asyik bermain dan menikmati masa kecilnya, maka berbeda denganku di sini yang harus bertengkus lumus mencari uang. Terkadang aku menangis, iri terhadap gadis kecil lainnya yang bisa bersekolah dengan riangnya. Akan tetapi, aku sadar jika buliran bening yang mengalir ini tak akan berarti apa-apa di mata kedua orangtuaku. Yang mereka tahu dan pahami adalah, anak lelaki di atas segala-galanya.
"Kerjaan rumah sudah selesai?" tanya ibu dengan tangan yang sibuk menata barang di keranjang.
"Sudah, Bu."
"Cucian sudah dijemur?" Aku mengangguk. Entah mengapa perasaanku seperti mengatakan jika ibu tak percaya.
"Kamu pergi ke sekolah Dino, jual buah ini di dekat pintu masuknya."
Aku kembali terdiam, baru sampai beberapa menit yang lalu sudah harus berjualan ke sekolah adikku yang berjarak satu kilometer. Apakah ibu tidak memedulikan kelelahanku?
"Eh, ini anak malah bengong. Cepat pergi sana!" Ibu mendesakku seraya menaikan tempah berisi buah semangka dan nangka yang siap makan. Mungkin ini sudah menjadi takdirku, terlahir di keluarga menengah ke bawah dengan pemikiran yang sangat kolot.
Dengan hati yang tak bersemangat akhirnya aku melangkahkan kaki yang terasa berat. Sedih, kecewa, plus malu bercampur aduk di dalam benakku.
Tampah yang berisi buah sukses membuat kepala dan tanganku pegal. Ini kali pertama aku disuruh ibu untuk berjualan di sekolah, sebab sebelum-sebelumnya aku hanya diperintahkan membantu di pasar saja. Aku berhenti sejenak, menurunkan buah dan duduk di pinggir trotoar. Baru beberapa menit aku beristirahat, tiba-tiba saja orang-orang berlarian karena dikejar oleh orang-orang yang berseragam. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa melihat dengan kebingungan, para petugas itu mendekatiku dan memaksa agar aku ikut dengan mereka.
"Lepaskan, Pak. Saya salah apa? Kenapa saya ditangkap?"
"Kesalahan Adik ya karena berjualan di tempat yang tidak sesuai!"
"Lepaskan saya, Pak. Saya mau jualan ke sekolah adik saya," rengekku pada aparat yang berbadan tegap itu, tetapi mereka abai dan tetap memaksaku naik ke mobil bak terbuka yang sudah terdapat beberapa orang di dalamnya.