Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
213
Penayangan
11
Bab

Kisah sebuah lukisan misterius yang ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang Dan berliku

Bab 1 Bagian 1

Naim maju ke depan, hendak menghadapi bapaknya yang sedang dipeluk wanita asing, entah siapa. Tapi Fiki buru-buru menarik tangan Naim."Sabar, Mas Naim!" bisik Fiki. Naim mengibaskan tangan Fiki. "Saya kenal wanita itu! Dia, kan sering muncul di kantor polisi!" kata Naim. Dan dengan setengah berlari dia menuju ke teras rumah bapaknya. Membuat wanita itu terkejut dan melepas pelukannya pada Fadli. Wanita itu sangat terkejut ketika melihat Naim. Matanya membeliak tak percaya."Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Naim dengan suara yang tegas dan keras. Wanita itu menunduk.

"Kenapa kamu berani datang ke sini? Siapa kamu?" tanya Naim lagi.Wanita itu semakin menunduk. "Kamu ingin kutelponkan Pak Widi? Bukankah dia yang sering menangkap kamu?" tanya Naim murka.Wanita itu menggeleng."Jangan, Mas Naim!" kata wanita itu lemah."Lalu kenapa kamu memeluk-meluk suami orang? Yang kamu peluk itu bapakku!" teriak Naim.Wanita itu masih diam seribu bahasa. Naim jengkel, dia akhirnya membuka HPnya. Wanita itu langsung berteriak."Jangan, Mas! Jangan! Saya Pipit. Saya istrinya Ustadz Heri. Saya ke sini hendak berterima kasih pada Ustadz Fadli karena telah banyak membantu saya ....""Apa perlu berterima kasih sambil memeluk segala?" teriak Naim. Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Sudah, Im! Kasihan anaknya!" kata Yasna. Dia tersenyum pada wanita itu dan mengajak sang wanita dan anaknya masuk ke dalam rumahnya, sebelumnya Yasna meminta anak-anaknya ke rumah Naim saja. Dia akan menyelesaikan semua masalah ini dengan Fadli."Mbak ini siapa?" tanya Yasna, setelah mereka semua duduk di ruang tamu."Saya Pipit, Ustadzah. Saya tetangganya Pak Dimas dan Ustadz Fadli di Senopati," jawab Pipit pelan.Yasna diam saja, dia memandang Pipit dengan tegas."Oh! Aku paham sekarang! Kamu anaknya Pak Aziz yang menjadi istri Ustadz Heri, ya? Tapi ... tapi kenapa kata Naim kamu sering ke kantor polisi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Fadli dengan kening yang mengerut. Wanita bernama Pipit itu menunduk dan diam saja. Dia tidak menjawab pertanyaan Fadli. Fadli dan Yasna berpandangan."Panggil Naim saja!" kata Fadli pada Yasna.Pipit mendongak, wajahnya basah oleh air mata."Jangan, Ustadz! Jangan! Jangan panggil Mas Naim! Nanti saya bisa dipenjara lagi!"Fadli dan Yasna berpandangan lagi."Kalau Mbak Pipit mau cerita, saya tidak akan memanggil Naim!" kata Fadli tegas. Pipit mengangguk. "Njih, Pak saya akan bercerita," jawab Pipit, "tapi saya minta menelpon sebentar, njih, Pak?" Fadli mengangguk. Pipit keluar rumah Fadli dan menelpon, anehnya anak Pipit sama sekali tidak ingin ikut Pipit keluar dan malah asyik makan cemilan yang disediakan Yasna. "Kamu namanya siapa?" tanya Yasna pada anak lelaki itu.Anak lelaki kecil itu tersenyum."Namaku Rama.""Rama sudah sekolah?" Rama menggeleng."Tadi sama ibu dari mana?"Rama menjengit."Ibu? Mana ibu Rama?" tanya Rama agak kebingungan. Yasna dan Fadli berpandangan."Yang tadi bersama Rama ke sini, bukannya ibunya Rama?" tanya Yasna."Oh, itu! Itu, kan, Mbak Pipit! Dia sering mengajak Rama ke mana-mana!"Fadli dan Yasna berpandangan lagi. "Maksud Rama apa?" tanya Yasna. "Ya, Mbak Pipit selalu ngajak Rama cari uang. Keliling-keliling minta uang dari rumah ke rumah. Kadang ke pasar-pasar juga!" jawab Rama polos.Yasna dan Fadli berpandangan. Fadli langsung berdiri dan keluar mencari Pipit, tapi sayangnya Pipit sudah tidak ada di teras. Fadli cukup panik, tapi anehnya Rama sama sekali tidak takut dan bingung. Dia masih asyik makan cemilan di rumah Fadli, dan sama sekali tidak peduli dengan kehebohan yang terjadi di sekelilingnya."Mas, kamu rumahnya mana?" tanya Fiki, dia penasaran kenapa anak kecil itu sama sekali tidak takut sendirian di tempat yang baru."Rumahku di belakang pasar, Ust! Aku bisa pulang sendiri, kok. Tapi aku lapar, aku boleh makan nggak?" tanya Rama.Fiki terhenyak."Boleh, tentu saja boleh! Nanti kalau kamu sudah makan, om antar pulang ke rumah kamu, ya?" kata Fiki.Rama memandang Fiki sebentar. Dia nampak agak bingung. Tapi kemudian mengangguk. "Tunggu sebentar, ya?" kata Fiki, dia segera mencari Salma. Salma memandang Fiki tak percaya."Belakang pasar? Pasar mana?" tanya Salma.Fiki mengangkat bahu."Ya, mana kutahu! Kamu, kan yang orang Karang Pandan," kata Fiki. Salma menyiapkan makan sambil berpikir. Bukankah daerah belakang pasar itu daerah pelacur**? Apa benar Rama tinggal di sana?"Ustadz, nanti kalau mau mengantar Rama sebaiknya dengan Mas Naim saja, biar nggak kesasar, ya?" kata Salma, beralasan agar Fiki tidak terkejut ketika mengantar Rama nanti.Fiki mengangguk dan segera mengajak Rama untuk makan.****"Belakang pasar? Oke nanti kuantar Ustadz Fiki ke sana," kata Naim keheranan, dia sebenarnya ingin bertanya lagi, tapi Naim harus menahan diri karena dia sedang menunggu jawaban Pak Widi yang sering menangkap Pipit."Sebenarnya selain minta uang, Pipit itu jadi apa, Im? Kenapa sering ditangkap oleh polisi?" tanya Yasna di ruang tamu rumahnya, sambil menunggu Rama selesai makan."Dia sering menipu, Buk. Dia sering mengaku-ngaku orang miskin, orang kesusahan, orang yang suaminya baru meninggal, dengan tujuan agar orang kasihan padanya dan memberinya uang. Dia sering juga mengemis dan meminta-minta di stasiun atau halte bis atau di terminal. Dan sepertinya dia punya cara baru dengan mengajak anak orang lain atau mungkin anak temannya untuk dijadikan alat agar orang kasihan padanya," jawab Naim."Astaghfirullah! Tapi katanya dia tadi istrinya Ustadz Heri, benarkah?" tanya Yasna. Naim mengangkat bahunya. "Naim malah baru tahu tadi, Buk! Bisa jadi juga, sih, Buk!" jawab Naim."Tapi ... tapi aku kenal keluarga mereka, Im! Pak Aziz itu orang baik-baik, apa mungkin anak Pak Aziz ada yang jadi pengemis, ya?" tanya Fadli, tidak jelas pada siapa.Mereka berpandangan."Kapan-kapan ke Senopati, tanyakan pada Pak Aziz, Mas!" kata Yasna. Fadli mengangguk."Insya Allah! Aku benar-benar prihatin kalau memang benar seperti itu adanya. Kalau memang benar ada anak Pak Aziz yang menjadi orang seperti Pipit," jawab Fadli.****Mobil Naim melaju perlahan, menembus jalan Karang Pandan yang semakin ramai dan semakin padat."Rama di rumah sama siapa?" tanya Faza, yang ikut dengan kakak dan kakak iparnya mengantarkan Rama."Dengan ibu.""Bapaknya Rama kerja di mana?"Rama mengangkat bahu."Kata ibu sejak bayi Rama tidak punya bapak. Jadi ibu yang kerja sekaligus merawat Rama," jawab Rama. Fiki dan Faza berpandangan."Ibu kerja apa, Ma?" tanya Fiki, dia ingin menguji sampai sejauh mana Rama tahu pekerjaan ibunya, yang di sebuah kawasan 'kotor' di belakang pasar itu."Ibu kerja jadi tukang cuci piring di salah satu kafe, Om! Ibu saya bukan pelac*r!" kata Rama sambil tersenyum. Semua orang dewasa di mobil itu terkejut, apalagi kalau melihat raut muka Rama yang santai dan tenang dalam menjawab pertanyaan Fiki dan Faza. Sepertinya Rama telah mengerti istilah itu sejak lama.Rama tertawa melihat raut wajah orang dewasa di sekelilingnya."Banyak yang mengira ibu saya pelac**, Ustadz," kata Rama lagi.Fiki mengangguk dan tersenyum paham."Apa ibumu tidak marah kalau banyak yang datang ke rumahmu sekarang?" tanya Fiki lagi. Rama menggeleng."Ibu pulangnya sore, kadang juga malam. Jadi di rumah tidak pernah ada siapa-siapa, Ust! Tapi nanti aku diturunkan di lapangan saja, Ust! Aku mau main dengan temanku!" kata Rama. Fiki mengangguk."Mas Naim tahu lapangan itu di mana, kan?" tanya Fiki. Naim mengangguk."Nggih, Ust. Insya Allah saya tahu," jawab Naim. Dan beberapa menit kemudian sampai di sebuah lapangan bola yang cukup luas. Rama mengucapkan terima kasih dan mencium tangan semua orang dan kemudian dia segera berlari ke lapangan dan langsung bermain dengan teman-temannya.Fiki menghela napas berat."Kasihan, ya?" bisik Faza. Fiki tersenyum."Iya! Dia masih kecil dan sudah begitu dewasa. Menurutku hidupnya pasti berat, ya?" kata Naim.Mereka berpandangan lagi. Fiki masih diam dan tak berkata-kata. Dia teringat pada masa kecilnya sendiri, yang mungkin hampir seperti Rama, apa-apa dilakukan sendiri, tanpa kehadiran seorang ibu, apalagi setelah ayahnya meninggal.Ah! Kehadiran Rama seakan mengingatkan Fiki pada masa lalunya.****Sholat Subuh pertama di pesantren dalam keadaan yang mengantuk tiada tara. Nay berusaha menahan kuapnya. Tapi tidak bisa. Dia menguap dan akhirnya menyerah dalam tidurnya.Padahal ini adalah sholat Subuh pertamanya di pesantren ....****Mutia buru-buru membantu beberapa orang santri akhwat yang mengangkat temannya yang pingsan ketika sholat Subuh."Siapa namanya?" tanya Mutia."Nayaka, Ustadzah.""Dari blok mana?" "Blok C-2, Ustadzah. Yang dekat dengan tangga naik."Mutia mengangguk."Kita bawa ke ruang rawat dulu, ya?" kata Mutia. Teman santri akhwat dan tim kesehatan mengangguk dan segera membawa santri bernama Nay itu ke ruang rawat di bagian dalam pesantren. Cukup jauh dari masjid.Dan, ya, begitulah. Hari kedua tahun ajaran baru di pesantren. Mutia menghela napas panjang ketika akhirnya mereka berhasil membawa Nay ke ruang rawat. Mutia segera menghubungi seorang perawat yang menjadi istri salah satu ustadz, yang rumahnya ada di belakang pesantren. Kurang dari lima menit, perawat bernama Irawati sudah memeriksa Nay.Setelah memeriksa Nay, Ira keheranan. Dia memandang Mutia."Ustadzah, santri ini tidak pingsan!" kata Ira, "dia tidur!" kata Ira lagi.Mutia mengerutkan keningnya."Nopo leres, Mbak? (Apa iya, Mbak?") tanya Mutia sangsi. Ira mengangguk. "Napasnya sangat teratur dan pelan. Detak jantung dan denyut nadi semua normal. Dan kalau kita bangunkan, pasti santri ini akan segera bangun. Kita coba, ya, Ust?" Mutia mendadak menjadi ragu, tapi kemudian dia mengangguk juga, karena Mutia berpikir, bahwa Nay juga harus segera sholat Subuh lagi."Njih, Mbak, silahkan!" jawab Mutia.Ira segera menepuk bahu Nay."Mbak Nay! Mbak Nay!" Ira memanggil Nay. Nay nampak menggeliat perlahan. Persis seperti orang bangun tidur."Lima menit lagi, ya?" jawab Nay.Ira memandang ke arah Mutia setengah tertawa. Dugaannya benar."Mbak Nay, sholat Subuh dulu, ya!" panggil Ira lagi.Nay membuka matanya. Dia terlonjak kaget ketika dia melihat Mutia dan beberapa teman yang mengelilinginya. Matanya terlihat panik dan tak membutuhkan waktu lama, Nay langsung menangis."Ustadzah?" "Iya, Nay! Tidak apa-apa! Sholat Subuh dulu, ya! Nanti kamu istirahat di sini dulu, ya?" kata Mutia menghibur Nay.Nay mengangguk dia bangun dan dalam posisi duduk, dia memeluk Mutia."Ustadzah, tolong Nay, Ustadzah! Semua terjadi lagi, Ustadzah!" ****Kinanti melepas kacamatanya. Dia melihat Daffa tak percaya."Kowe serius, Mas? (Kamu serius, Mas?") tanya Kinanti.Daffa mengangguk. Dia menyerahkan selembar surat pada ibunya. Kinanti membaca surat itu dengan teliti. Dia mengembalikan surat itu pada Daffa. Wajah Kinanti berseri-seri."Ibuk suka, kan, Bu?" Kinanti mengangguk bahagia. Air mata mulai menetes di pipinya. Kinanti memeluk Daffa erat."Jazakallah, ya, Mas!" bisik Kinanti."Sama-sama, Buk! Tapi sementara aku tinggal di sini, ya, Buk! Sampai aku dapat rumah atau apartemen sendiri," kata Daffa.Kinanti mengangguk bahagia. Dia sebenarnya sangat ingin menyuruh Daffa agar tinggal di rumahnya saja dan tidak usah mencari kost atau apartemen, tapi Kinanti tahu pastilah Daffa tidak mau karena malu dengan adik-adiknya dan juga sepupunya."Oh, ya. Satu lagi, Buk!" kata Daffa, wajahnya menyiratkan suatu rahasia dan sebagai ibunya, Kinanti tentu saja mengetahui sorot mata itu."Apa, Daf?" Daffa tidak langsung menjawab, dia malah menengok ke sana ke mari mencari sesuatu."Cari apa?" "Bapak mana, Buk?" tanya Daffa. Kinanti mengerutkan keningnya."Sepertinya bapak sedang rapat di masjid. Ada apa dengan bapak?" tanya Kinanti, "apa nyuruh santri manggil bapak?" "Eh! Nggak usah, Buk! Nggak papa, kok! Daffa bilangnya sama ibuk saja, ya, Buk! Nanti ibuk yang bilang sama bapak," jawab Daffa buru-buru. Dan jawaban Daffa berhasil membuat Kinanti berdebar tak menentu."Ono opo, to, Daf? Kok marai ibuk deg-degan! (Ada apa, to, Daf? Kok membuat ibu deg-degan!)" kata Kinanti. Daffa tertawa."Maafkan Daffa, ya, Buk. Sebenarnya alasan Daffa pindah ke sini bukan karena Daffa di terima di Rumah Sakit Bedah saja, tapi sebenarnya karena alasan yang lain. Maksud Daffa, Daffa melamar ke rumah sakit itu setelah alasan sebenarnya Daffa pindah ke Karang Pandan sudah benar-benar mantap dan sudah fix."Kinanti mengerutkan keningnya lagi. Jantungnya masih berdebar kencang. Tapi Kinanti tidak bertanya, dia hanya menunggu keterangan Daffa."Aku ... aku ... aku sudah bertemu dengan seseorang yang cocok untukku, Bu! Insya Allah, semoga bapak dan ibu merestui," kata Daffa pelan, doa agak menunduk.Kinanti menelan ludah, dia memandang anak sulungnya itu dengan seribu satu rasa di dadanya."Maksud kamu, kamu pindah ke sini karena wanita idamanmu itu ada di sini?" tanya Kinanti. Daffa merona dan mengangguk malu."Njih, Buk," jawab Daffa pelan."Oh, Alhamdulillah," bisik Kinanti bahagia, sangat bahagia, "namanya siapa, Daf? Rumahnya mana?" Daffa tertawa mendengar pertanyaan beruntun ibunya."Namanya Gina, Bu. Rumahnya di Jambean," jawab Daffa.Kinanti mengangguk. Jambean adalah daerah elite di Karang Pandan."Kenal di mana?" "Dulu teman SMA Daffa, Buk. Dia sempat bekerja di Karang Legi tapi kemudian pindah ke sini, Bu. Tapi ... tapi ada hal lain lagi yang akan Daffa sampaikan," kata Daffa lagi. Kinanti menilai wajah Daffa. Wajah Daffa yang tadinya cerah dan berbinar kini nampak agak khawatir."Kenapa, Daf?" tanya Kinanti lembut. Daffa tersenyum. Dia begitu merindukan kelembutan dan senyuman hangat ibunya. Dan ketika Daffa melihat keduanya, air mata berebutan keluar dari matanya. Daffa tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia terisak menumpahkan semua emosinya. Kinanti begitu terkejut melihat air mata itu."Astaghfirullah! Apakah ada hal buruk tentang Gina yang harus ibuk ketahui, Daf? Istighfar, ya, Daf!" kata Kinanti lembut, dia juga menangis, tapi dalam keheningan. Daffa semakin tak kuasa, dia tahu sekali ibunya selalu menangis dalam diam. Dia tahu bahwa ibunya selalu menangis tanpa suara, dan itu membuat Daffa semakin tersiksa. Mereka berpelukan. Daffa akhirnya mencoba menenangkan dirinya. Dia menghapus air matanya dan memandang ke arah ibunya nanar."Gina seorang janda, Buk. Dia sudah pernah menikah dan sudah punya anak."Daffa menghela napas lega. Semua beban yang selama ini dipikulnya, kini sudah dijelaskan kepada ibunya. Sekarang Daffa pasrah dan terus beristighfar dalam hati. Dia siap menerima apapun keputusan ibunya."Astaghfirullah! Ya Allah, Ya, Rabbi! Kupikir itu kamu mau bilang apa, Daf! Ya Allah!" kata Kinanti, dia menepuk tangan Daffa sambil tertawa dan mengusap air matanya.Daffa memandang ibunya tak percaya. "Jadi... jadi nggak papa, Buk?" tanya Daffa.Kinanti tertawa dalam tangisan, tapi kali ini tangis bahagia."Ya, tentu saja tidak apa-apa! Selama dia memiliki aqidah dan keyakinan yang sama dengan kita, pastilah tidak apa-apa!" bisik Kinanti, dia memeluk anak sulungnya itu erat-erat. Kinanti merasa lega dan kembali merasa bahagia. Tadi --ketika Kinanti melihat air mata Daffa-- dia mengira, pastilah Gina seorang wanita yang memiliki cacat fisik, sehingga membuat Daffa menangis.Ah! Takdir cinta memang hanya menjadi rahasia Allah saja.****Setelah sholat Subuh, Nay nampak lebih tenang. Dia melipat mukena dan sajadahnya. Kemudian dia duduk di tepi tempat tidur di ruang rawat. Nay tersenyum malu pada Mutia."Maaf, Nay merepotkan ustadzah, njih, Ust," bisik Nay. Mutia tersenyum."Ora popo, Nduk. Ono opo sebenere? (Tidak apa-apa, Ndhuk. Ada apa sebenarnya?)" tanya Mutia.Nayaka berdeham dan mulai bercerita."Sejak dulu saya indigo, Ustadzah. Saya bisa melihat mahluk halus dan hal-hal gaib lainnya," kata Nay memulai ceritanya.Seketika Mutia merinding mendengar cerita Nay. Mutia bukan peruqyah. Dia adalah seorang ustadzah kelas Tahfidz sekaligus menjadi pengurus asrama putri, menggantikan posisi ibunya. Dia sering juga mendengar tentang kisah-kisah mistis dan kisah menakutkan dari ustadz dan ustadzah yang kain, tapi Mutia belum pernah benar-benar menghadapinya sendiri."Jangan takut, ya, Ustadzah! Nay bisa membaca pikiran orang lain, terutama orang yang takut pada, Nay!" bisik Nay, "jadi Nay minta tolong untuk diruqyah saja, Ust!" pinta Nay, dia mulai menangis.Mutia terkejut Nay menangis. Mutia merasa, Nay menangis karena ketidakprofesionalannya sebagai seorang ustadzah. Mutia segera memeluk Nay."Astaghfirullah! Maafkan ustadzah, ya Mbak Nay! Maafkan ustadzah yang malah takut pada Mbak Nay!" "Tidak apa, Ustadzah! Kalau ustadzah tidak keberatan, Nay minta tolong diantar ke ruang ruqyah, ya, Ustadzah! Nay sebentar lagi akan kerasukan," bisik Nay dengan napas yang pendek dan tersengal dan beberapa detik kemudian, Nay terkulai tak sadarkan diri. Untunglah Mutia sigap memeluk tubuh Nay.Mutia berteriak-teriak minta tolong dan dalam sekejap beberapa orang segera membantu Mutia membawa Naya ke ruang terapi ruqyah. Hasan tersenyum."Ah! Keluarga Danurisman lagi, ya? Menarik sekali," kata Hasan.Mutia mengerutkan keningnya."Apa ada saudara Mbak Nay di pesantren, Ustadz?" tanya Mutia. Hasan mengangguk."Dulu kakaknya di sini, tapi kemudian mereka pindah ke luar negeri sepertinya, dan sekarang datang lagi anggota keluarga Danurisman yang lain dengan gejala yang sama."Mutia terkesiap. Dia menelan ludah dan memilih untuk mundur. Dia takut. ****Fiki sangat tertarik ketika mendengar ada seorang santri yang tertidur secara mendadak ketika sholat subuh dan kemudian tertidur lagi ketika berada di ruang rawat. Ketika Fiki sampai, Hasan sedang meruqyah santri akhwat itu. Fiki tersenyum samar dan mendekati Hasan."Ustadz, sepertinya orang tua atau leluhur santri ini memiliki sebuah ajian yang bisa mengunci kesadaran santri ini, Ustadz. Cara menyembuhkannya dengan menemukan siapa pemegang ajian ini dalam keluarga santri ini!" kata Fiki.Hasan mendesah. Dia mengangguk."Saya paling malas kalau harus berhubungan dengan wali santri untuk bertanya tentang hal seperti ini, Ust!" bisik Hasan. Mereka berdua tertawa."Sama, Ustadz. Alhamdulillah di pesantren Karang Legi ada Nurul Islam. Dia yang mengurusi hal-hal seperti itu," kata Fiki. Mereka berdua tertawa lagi."Nah, kalau di sini yang bilang seperti panjenengan pastilah Ustadz Iqbal," bisik Hasan. Fiki tambah terpingkal-pingkal, dia membayangkan Iqbal akan bersungut-sungut dan meminta Hasan menyelesaikan semua masalah."Jadi kita harus bagaimana, Ust?" tanya Faza, mengagetkan Hasan dan Fiki.Fiki tersenyum."Ya dibiarkan saja. Nanti juga bangun sendiri. Jadi saya sarankan kita jangan di depan santri ini, Ust. Nanti dia pasti malu kalau bangun," kata Fiki. Mereka menyingkir dan Fiki meminta santri akhwat dan ustadzah untuk menemani Nay."Ajian apa yang menyebabkan seseorang seperti itu, Ustad?" tanya Faza."Namanya ajian Kunci Lathi atau kunci lisan. Biasanya ajian ini digunakan untuk mengunci lisan atau jiwa pemakainya atau orang lain agar tidak bertingkah aneh atau membocorkan rahasia. Nah, dalam hal ini sepertinya keluarga Danurisman atau mungkin leluhurnya memiliki suatu rahasia yang harus dijaga rapat agar tidak diketahui orang lain. Tapi itu hanya sekedar dugaan saya, Ustadz. Selebihnya kita memang harus mencari tahu lebih dalam lagi!" kata Fiki.Mereka berpandangan."Ust, tidakkah berbahaya kalau kejadian seperti ini terjadi di kamar mandi atau ketika berkendara. Bisa jadi seperti serangan epilepsi, kan, Ust?" tanya Faza.Fiki mengangguk."Benar sekali, Za. Kadang pemilik ajian ini juga dianggap mengalami serangan jantung atau menderita sakit jantung yang menyebabkan dia selalu pingsan. Padahal bukan masalah fisik. Dan ketika pemilik ajian ini diperiksa jantung dan syarafnya, semua terbukti nihil untuk diagnosa sakit jantung epilepsi, semua normal!" jawab Fiki, "lalu untuk gangguan seperti ini muncul tidak menentu. Tapi menurut saya sepertinya reaksi ini muncul setelah santri akhwat itu masuk ke pesantren. Saya yakin ketika di rumah atau sebelum masuk pesantren, reaksi ini pasti jarang terjadi," lanjut Fiki.Hasan terdiam."Lalu?""Yah! Panjenengan harus segera menghubungi keluarga santri tersebut, Ust! Dan kita juga harus selalu menjaga santri akhwat ini, paling tidak kita tidak boleh membiarkan santri akhwat ini sendirian!" jawab Fiki. Hasan mengeluh, kemudian Hasan pamit menemui Ustadz Ramadhan, sang pemimpin pesantren. Fiki tersenyum pada Faza."Aku pernah merawat orang dengan ajian ini, Za! Dia selalu tidur di mana-mana dan kapan saja. Merepotkan sekali.""Apa tidak bisa diruqyah, Ust?" tanya Faza.Fiki menggeleng."Kita harus meruqyah orang yang tepat! Yang memiliki jimat, rajah atau susuk pengantar ajian ini," jawab Fiki.Faza menelan ludah. Berarti mereka harus mencari pemegang ajian ini yang sebenarnya."Lalu bagaimana dengan nasib orang yang ustadz rawat dulu?" tanya Faza.Fiki tersenyum."Sayangnya dia tertidur ketika membonceng motor. Dan kepalanya terbentur aspal. Orang itu meninggal seketika," jawab Fiki pilu.Faza bergidik. Membayangkan betapa berat kehidupan orang dengan ajian tersebut.****"Apa yang kami lihat?""Jangan beri lagi pertanyaan jebakan seperti itu!""Serius, kok!""Nggak liat apa-apa! Hanya air terjun yang begitu indah, sungai, batu, pohon....""Kamu melihatnya, kan?""Melihat apa?""Kamu menjawab pertanyaanku terlalu cepat! Kamu melihatnya, kan?"Sunyi. Sepi.Hening.Dan akhirnya sebuah desahan panjang."Ya, baiklah! Aku melihat mereka, karena mereka juga sedang melihat ke arah kita!"****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku