Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
38
Bab

Janji yang terucap di masa lampau, ternyata masih memiliki bayangan panjang hingga masa sekarang ....

Bab 1 Bagian 1

Suasana desa sangat ramai ketika panen tiba. Hampir semua orang pergi ke sawah melihat proses panen padi di desa itu. Kecuali mungkin Dewi. Dewi hanya bisa melihat dari jendela bagaimana teman-temannya berlarian ke sawah dengan gembira. Tapi, dia masih belum boleh keluar juga oleh bapaknya, Ndara Kamawijaya, sang kepala desa, sekaligus satu-satunya bangsawan di desa itu.

Dewi sedih. Dia selalu merasa sendiri. Sekolah boleh, tapi dia selalu ditunggu di luar oleh mbok embannya, sehingga ketika pulang, dia langsung pulang tanpa pernah bisa bermain dengan teman-temannya.

Dewi memang tidak punya teman. Tidak ada yang berani bermain dengannya, karena takut dengan bapaknya, yang berkumis tebal, membawa tongkat ke mana-mana dan tak pernah ragu untuk memukul dengan tongkatnya itu ketika marah. Dewi sedih. Sangat sedih. Selalu sedih.

Dia tidak pernah benar-benar mengerti arti kehidupan. Ibunya sudah meninggal ketika dia masih kecil. Dia hanya hidup berdua dengan mbok embannya setiap hari. Bapaknya selalu keluar rumah dan pulang malam hari, Dewi tidak pernah tahu ke mana bapaknya pergi.

Tapi hari itu udara begitu cerah. Dewi sangat ingin bergabung dengan temannya berlarian menuju ke sawah, melihat orang-orang memanen padi dan kadang pada malam harinya ada api unggun di sawah itu hingga pagi. Dewi tahu dari cerita teman-temannya, dan Dewi sangat ingin melihatnya, merasakan sensasinya dan ingin berkumpul dengan teman-temannya.

Dewi menyusut air matanya.

****

Kehidupan di dusun Parak tidak pernah mudah. Parak daerah yang begitu kering, gersang dan berbatu kapur, membuat warganya terbiasa hidup sulit. Hampir semua warganya adalah orang yang serba kekurangan. Kebanyakan bekerja sebagai buruh tani di sawah milik ndara Kamawijaya, satu-satunya orang yang memiliki sawah di Parak.

Dan waktu panen adalah juga waktu panen uang bagi para buruh tani itu. Mereka akan membawa keluarga mereka untuk membantu panen, atau membantu emban ndara Kamawijaya menyiapkan berbagai macam perlengkapan di dapur.

Biasanya rumah ndara Kamawijaya akan begitu ramai dengan warga dusun Parak yang membantu memasak dan menyiapkan persiapan syukuran panen pada malam harinya. Kadang juga mereka menyiapkan berbagai macam makanan untuk acara tanggapan wayang tujuh hari tujuh malam di lapangan dusun Parak.

Walaupun rumah Dewi ramai, lapangan dusun ramai, jalan-jalan desa ramai, sawah ramai, sungai ramai tapi Dewi tetap sepi. Dia tidak diperbolehkan membantu, tidak diperbolehkan bermain, tidak diperbolehkan melakukan apa-apa, hanya boleh tinggal di kamarnya seperti biasa, seperti setiap harinya.

Dewi menggigit bibirnya kuat-kuat ketika mendengar riuh rendah suara anak-anak yang berjalan melewati rumahnya, atau suara ibu-ibu yang mengobrol asyik di dapur rumahnya. Bau makanan lezat sampai juga di kamar Dewi, membuat Dewi sadar kalau dia begitu lapar.

Dewi membuka pintu kamarnya, mengintip keluar sedikit.

"Mbok! Mbok Jum!" Panggil Dewi pelan karena takut dan malu. Tidak ada jawaban. Mungkin mbok Jum sedang sibuk di dapur dengan embannya yang lain.

Dewi merapikan bajunya dan membuka pintu kamarnya perlahan. Dia keluar kamar dengan hati-hati. Tidak ada orang di ruang tengah, sepertinya semua memang sedang sibuk di dapur.

Dewi berjalan berjingkat menuju ke dapur. Dia takut ketahuan mbok Juminem, embannya sejak bayi.

Semakin mendekati dapur, bau makanan lezat semakin membuat perutnya meronta. Dia lapar. Dewi bisa mencium bau wajik, bau daging empal dan nasi liwet yang sebentar lagi matang. Dewi menahan diri untuk tidak berteriak memanggil mbok Jum lagi.

"Eh! Ada ndara putri! Mau ke mana, Ndara?"

Dewi melonjak kaget. Dia menoleh ke belakang. Salah satu embannya berdiri di belakangnya, nampaknya emban itu dari luar rumah.

"Aku cari mbok Jum," jawab Dewi.

Emban itu mengangguk.

"Sebentar, njih, Ndara. Jum lagi ikut nganter makanan ke sawah, sebentar lagi dia pulang. Oh, iya! Ndara putri lapar, njih? Sekedap saya siapkan! Ndara putri duduk dulu di ruang makan, njih!" Kata emban itu terbata, karena menyadari ndaranya belum makan siang.

Dewi menurut. Dia duduk dengan tenang.

"Mbok! Ini diletakkan di mana?"

"Ning njero kono, Mar! Terus gawakke sing iki, ya! (Di dalam situ, Mar! Terus bawakan yang ibi, ya!)"

"Ya, mbok!"

Dewi menoleh.

Matanya bertemu pandang dengan mata paling teduh yang pernah dilihatnya. Dia tidak berkedip. Dia merasakan suatu rasa yang baru pertama kali dirasakan di hatinya.

****

"Mar! Ayo! Kok malah mandheg! (Mar! Ayo! Kok malah berhenti!)"

Teriakan itu mengagetkan Ammar yang diminta membantu mengangkatkan kardus berisi makanan kering ke dalam rumah ndara Kamawijaya. Ammar segera berjalan lagi sambil mengangguk pada seorang gadis yang duduk di meja makan dengan rapi. Rambut gadis itu panjang dikepang dua. Gadis memakai kemeja warna putih yang sangat halus dan rok panjang warna hitam. Wajah gadis itu mengingatkan Ammar pada amoy atau gadis China yang sering dilihatnya di pasar besar. Matanya agak sipit dan bibir tipis sekali.

Ammar segera menyelesaikan semua pekerjaannya dengan menunduk dalam-dalam. Jantungnya berdebar kencang tak terkira. Dia belum pernah melihat gadis bangsawan cantik sedekat ini.

****

Ammar mengusap keringat di dahinya. Dia diminta kembali ke pasar untuk membawa lebih banyak makanan ke rumah ndara Kamawijaya. Dia mengangkat berbagai macam pesanan ndara Kamawijaya ke dalam sebuah mobil boks warna hitam milik ndara Kamawijaya.

Ammar tak habis pikir, berapa banyak makanan dan barang yang dipesan ndara Kamawijaya untuk acara panen ini. Mungkin karena acara ini di adakan setahun sekali, sehingga ndara Kamawijaya mengadakan acara besar-besaran. Menurut Ammar acara ini bukannya untuk bersedekah atau membantu warga Parak, ndara Kamawijaya hanya ingin pamer kepada sesama bangsawan di daerah lain, yang akan diundang ndara Kamawijaya pada malam pagelaran wayang kulit seminggu lagi.

Ammar teringat gadis yang dilihatnya tadi. Cantik sekali. Seperti tidak nyata.

Tiba-tiba Ammar geli sendiri.

Dia pernah melihat gadis itu! Ya! Gadis itu hampir sama seperti gambar gadis China yang ada di wadah bedak mbakyunya.

****

Dewi termangu di kamarnya.

Siapa pemuda tadi? Rasanya Dewi sangat menyukai wajah dan mata teduh pemuda tadi. Dia adalah gambaran tokoh pria yang dibayangkan Dewi ketika membaca kisah-kisah romantis di novel yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah tanpa sepengetahuan bapaknya.

Wajah itulah yang diam-diam diidamkan Dewi dalam mimpinya, mimpi seorang gadis yang belum pernah melihat dunia.

Dewi tersipu sendiri. Dia ingin bertemu dengan pemuda itu lagi. Dia tahu pemuda itu akan datang ke rumahnya lagi hari ini, oleh karena itu Dewi bersiap di ruang makan lagi, dia pura-pura menulis di meja makan, agar tidak disuruh pergi oleh mbok Jum.

Benar dugaan Dewi, beberapa waktu kemudian pemuda itu datang lagi ke rumah Dewi. Dia memasukkan barang-barang lagi ke rumah Dewi. Kali ini Dewi sudah siap, dia menunggu pemuda rupawan itu dengan senyuman termanisnya.

****

Ammar sangat terkejut melihat gadis itu tersenyum manis padanya. Ammar membalas senyum itu dengan hati yang penuh harap. Ammar berharap bisa mengenal gadis itu, atau paling tidak tahu namanya.

Jantung Ammar berpacu kencang ketika pekerjaannya hampir selesai. Dia belum tentu bisa ke rumah ndara Kamawijaya lagi besok, dia harus memberanikan diri bertanya pada gadis cantik itu.

Akhirnya Ammar berani mendekati gadis itu. Sang gadis terkejut dan tak menyangka Ammar akan berdiri di depannya. Mereka berpandangan dalam diam. Jantung Ammar berdebar sangat kencang.

"Ndara mau melihat api unggun?"

Ammar menelan ludah. Dia menunduk dalam-dalam. Dia menyesal, kenapa dia menanyakan hal bodoh seperti itu. Ammar salah tingkah, dia ingin pergi saja dari ruang itu.

"Iya, aku mau."

Sunyi.

Butuh beberapa waktu untuk mencerna jawaban sang gadis cantik. Ammar mendongak menatap wajah sang gadis yang merona merah.

"Eh... kalau begitu nanti malam saya jemput jam tujuh," kata Ammar dengam cepat. Dia takut sang gadis berubah pikiran.

Gadis itu mengangguk sambil tersenyum penuh semangat.

"Jangan sampai ketahuan bapak, ya!" Bisik gadis itu dengan bersemangat. Ammar mengangguk dia segera berlalu dari ruangan itu, karena takut ketahuan mbok emban ndara Kamawijaya.

****

Setelah sholat Magrib, Ammar begitu gelisah. Dia sudah siap sejak sore tadi. Dia memakai satu-satunya baju terbaik yang dimiliki Ammar. Simboknya melihat Ammar dengan heran.

"Arep nang endi, Mar? (Mau ke mana, Mar?)" Tanya simboknya penasaran.

"Nonton api unggun, Mbok!" Jawab Ammar tersenyum lebar.

"Wong ming nonton api unggun, kok, nggo klambi apik barang! Biasane lak ming sarungan, to, Mar? (Orang cuma mau nonton api unggun, kok pakai baju bagus! Biasanya kan, hanya pakai sarung, kan, Mar?)"

Ammar tertawa.

"Sapa ngerti ana sing gelem karo aku, Mbok! (Siapa tahu ada yang mau sama aku, Mbok!)" Jawab Ammar sekenanya.

Mbakyu dan ibunya tertawa terbahak-bahak, menahan geli. Ammar tak peduli.

Jam setengah tujuh Ammar sudah berangkat ke rumah ndara Kamawijaya untuk menjenout gadis cantik tadi. Jantungnya berdebar keras, nafasnya terengah, tapi dia sangat senang.

****

Rumah ndara Kamawijaya sangat ramai. Ada begitu banyak jong*s atau pembantu pria di depan rumahnya, mereka mengangkat berbagai macam barang yang akan dibawa ke sawah untuk acara api unggun malam ini.

Ammar bersembunyi di rerimbunan pohon tidak jauh dari rumah paling besar di dukuh Parak itu. Dia sering melihat kesibukan seperti ini. Sebentar lagi semua persiapan selesai, dan dia bisa menjemput gadis cantik itu.

Di tengah kesibukan itu Ammar melihat gadis cantik itu dari balik jendela kamarnya. Ammar tersenyum bahagia. Hatinya terasa begitu lega.

Ammar segera menghampiri jendela kamar sang gadis ketika keributan itu berlalu. Gadis itu telah siap. Malam ini dia memakai kemeja warna hitam dan kulot warna hitam, membuatnya semakin cantik memesona.

Mereka bergerak cepat dalam diam. Sang gadis langsung naik di boncengan sepeda Ammar dan Ammar langsung membawa sang gadis membelah kegelapan malam.

****

Jantung Dewi berdegup kencang. Inilah pertama kalinya dibonceng oleh pria selain jong*snya. Dia tersenyum bahagia. Dia hampir memeluk tubuh pria di depannya. Tapi dia menahan dirinya.

"Siapa namamu?" Tanya Dewi.

"Ammar, Ndara. Nama ndara putri siapa?" Tanya Ammar.

"Aku Dewi. Dewi Karunyan," jawab Dewi, "Kamu kerja untuk bapakku?" Tanya Dewi lagi.

"Iya, Ndara!"

Dewi termenung.

"Jangan panggil aku ndara, ya! Aku sebenarnya tidak suka dipanggil ndara," jawab Dewi.

Ammar diam saja. Dia takut tidak memanggil anak ndara Kamawijaya tanpa panggilan ndara.

"Apa boleh?" Tanya Ammar akhirnya, setelah dia berpikir beberapa saat.

"Boleh! Harus! Aku tidak suka dipanggil ndara!" Seru Dewi sengit.

Ammar tersenyum membayangkan wajah Dewi yang mencebik dan merona merah seperti tadi sore.

"Ya, baiklah! Aku akan mencobanya!" Jawab Ammar.

Di belakang Dewi tersenyum bahagia. Dia merasa begitu nyaman dengan pemuda bernama Ammar ini.

****

Dewi sama sekali tidak menolak ketika dia harus menonton api unggun agak jauh dari kerumunan orang banyak. Mereka bersembunyi di bawah pohon. Melihat keramaian dengan hati bahagia.

Dewi bahagia karena inilah pertama kalinya dia ke luar tanpa benar-benar merasa takut pada bapaknya. Dewi begitu bahagia bisa melihat orang lain menjalani hidup mereka yang berbeda dengan kehidupannya. Dan dia begitu bahagia bisa pergi bersama seorang pemuda gagah perkasa dan rupawan menurutnya. Dewi menoleh ke arah Ammar dan tersenyum padanya. Ammar membalas senyum itu.

"Umur kamu berapa, Wi?" Tanya Ammar. Dia agak kikuk harus memanggil Dewi tanpa ndara putri.

"Aku delapan belas tahun. Mas Ammar berapa?"

Ammar terkejut dipanggil mas oleh ndaranya. Dia menelan ludah menahan gugup sekaligus bahagia.

"Aku sudah dua puluh lima," jawab Ammar. Dewi tersipu. Ammar menelan ludah, melihat wajah merona Dewi yang semakin berkilau di gelapnya malam.

Entah kenapa Ammar menanyakan umur pada Dewi, mungkin karena Ammar berangan-angan ingin menikahi Dewi?

Ah! Pikiran macam apa itu! Batin Ammar sendiri, dia tidak pernah berharap setitik pun akan bisa meraih bintang setinggi Dewi Karunyan.

Malam itu mereka berdua sama sekali tidak mempedulikan acara api unggun yang diadakan di tengah sawah yang telah dipanen. Mereka saling berbincang tentang segala hal sampai lupa waktu. Mereka lupa bahaya yang bisa mereka hadapi apabila mereka ketahuan oleh ndara Kamawijaya.

****

Pagi itu Ammar bangun dengan senyum terlebar yang pernah dilakukannya. Dia teringat bagaimana tadi malam dia memboncengkan Dewi Karunyan, anak ndara Kamawijaya, bolak balik tanpa ketahuan sama sekali. Dia membayangkan bagaimana mereka berbincang, bagaimana mereka saling bercanda dan mengejek satu sama lain.

Ammar serasa menemukan dunia baru, dunia yang begitu indah di tengah sulitnya hidup di dusun Parak. Dia hampir percaya dia telah menemukan cinta sejatinya.

Ammar bangun dan bergegas ke kamar mandi. Dia akan melanjutkan memanen hari ini, dan membayangkan uang yang akan didapatnya seminggu lagi.

"Mana Ammar!"

"Ammar! Keluar, Mar!"

"Mana anak bejat itu?"

"Ammar!"

"Ammar!"

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan marah memanggil Ammar dari depan rumah Ammar.

Ammar yang baru saja sholat subuh bergegas keluar rumah. Dia belum sempat tahu siapa saja yang datang ke rumahnya, karena pukulan demi pukulan mengenai tubuhnya. Pukulan itu membuat Ammar limbung, pandangannya berkunang-kunang dan telinganya berdenging. Dia lamat-lamat mendengar teriakan mbakyunya dan simboknya. Tapi dia tidak yakin dengan apa yang didengarnya, karena sekarang dia hanya bisa mendengar suara pukulan mengenai tubuhnya.

Kemudian sunyi. Senyap. Ammar merasa aneh. Apakah dia bermimpi?

Ammar berusaha bangkit. Tapi dia hanya bisa memiringkan tubuhnya sedikit.

Ammar benar-benar terkejut ketika dia melihat api menyala-nyala di depan matanya.

Rumahnya!

Tidak! Itu bukan rumahnya! Api itu sangat besar membumbung tinggi di gelapnya fajar! Itu dusunnya! Dusunnya terlalap api!

Kemudian tiba-tiba saja Ammar mendengar suara jeritan dan teriakan panik di sekitarnya.

Dia menjerit kesakitan ketika tubuhnya diseret dengan cepat di atas tanah berbatu. Perih.

"Inikah hukuman bagi manusia bejat sepertimu!" Sebuah bisikan melewati telinganya.

"Inilah hukuman bagi penculik anak gadis orang! Sekarang lihat hukumanmu! Buka matamu!" Suara itu mendesis di telinganya. Ammar berusaha sekuat tenaga membuka matanya.

Dia lemas seketika ketika melihat dua mbakyunya, dan bahkan simboknya dirudapaksa di depan matanya. Ammar berusaha memberontak ingin menolong keluarganya. Tapi dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya yang diikat dan lemas lunglai.

Air mata memeleh di pipinya. Dia hendak memejamkan matanya, mencoba menghilangkan gambaran mengerikan itu. Tapi tiba-tiba ada tangan perkasa yang memaksa membuka matanya, tidak memperbolehkan matanya tertutup.

Ammar berusaha memberontak, tapi dia sama sekali tak berdaya, bahkan dia tidak bisa menggerakkan jarinya.

Dia mengenali orang-orang yang berjalan hilir mudik sambil tertawa itu. Mereka adalah jong*s ndoro Kamawijaya, bahkan kemarin mereka bekerja bersama. Air mata itu mengalir lagi.

Ammar berusaha melihat sekeliling. Dia memastikan hanya rumahnya yang di bakar. Tapi dia keliru. Api itu menyala sangat besar, dan ributnya orang-orang yang berlarian panik ke sana ke mari membuat Ammar yakin, bahwa dusunnya benar-benar telah dibakar.

Seseorang mendekati Ammar. Dia tersenyum.

Ammar mengerjapkan mata beberapa kali untuk melihat siapa orang itu.

"Kamu kira apa yang kamu lakukan kemarin tidak ada yang melihat?" Bisik sosok itu.

Ammar langsung mengenali suara itu. Ndara Kamawijaya.

"Aku bahkan tahu sejak siang hari kamu sudah mendekati Dewi. Aku punya banyak mata!" Desisnya.

"Aku tahu kalian duduk di bawah pohon itu, kan? Aku tidak rela!" Teriak ndara Kamawijaya di telinga Ammar, membuat telinga Ammar berdenging hebat.

"Lihat hasil perbuatanmu semalam! Kamu telah menyentuhkan tangan kotormu itu pada Dewi! Dan kamu... kalian semua harus menanggung akibatnya!" Seru ndara Kamawijaya dan kemudian dia tertawa keras.

"Sekarang pilihan ada di tanganmu! Mbakyumu dan simbokmu sudah hancur, sudah rusak, sudah tidak ada harganya! Apakah kamu masih menginginkan mereka? Apakah mereka boleh dibunuh?" Seru ndara Kamawijaya geli.

Hati Ammar terbakar karena marah. Dia melihat kedua mbakyunya dan simboknya terbaring di jalan sambil menangis, bahkan pingsan. Melihat itu Ammar begitu mual. Dia membayangkan seperti apa kehidupan mereka setelah ini. Dia memejamkan mata dan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Ha! Kita sudah dapat jawaban dari Ammar!" Teriak ndara Kamawijaya setelah melihat Ammar menundukkan kepalanya.

"BAKAR!" Teriak ndara Kamawijaya keras dan penuh semangat.

Ammar melotot tak percaya. Tubuhnya berontak liar. Tapi dia benar-benar tak berdaya, dan sekali lagi matanya dibuka paksa untuk melihat keluarga dibakar hidup-hidup oleh jong*s ndara Kamawijaya.

****

Dusun Parak begitu sepi sore itu. Yang ada hanya asap, kabut, debu dan abu bekas pembakaran rumah oleh ndara Kamawijaya dan jong*snya pagi tadi.

Dusun Parak yang seharusnya ramai karena nanti malam akan ada pagelaran wayang kulit kini begitu tintrim begitu sepi, tenang dalam artian yang menyeramkan dan menegangkan. Dusun Parak sudah mati luar dalam.

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku