Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SANG MEDIATOR
5.0
Komentar
915
Penayangan
29
Bab

Kisah awal Ustadz Irfan hingga menjadi terkenal seperti sekarang.

Bab 1 Bagian 1

Alia menghela nafas panjang. Kapan dia bisa berlibur dan pulang ke desa? Dia rindu pada ibu dan bapaknya. Tapi pekerjaannya sebagai seorang pembantu rumah tangga di rumah ndara Joyo hampir tidak memungkinkannya untuk mengambil liburan setiap saat. Dan hal itu membuat dada Alia seakan membengkak oleh rasa rindu.

"Ora sah nangis, Ya! Sabar! (Tidak usah nangis, Ya! Sabar!)" Bisik Sari.

Hari sudah malam, Alia dan Sari berbisik-bisik di dalam kamar mereka di samping dapur.

"Iyo, Ri! Aku wis ndonga ben aku kuat, tapi kadang aku ora bisa, (Iya, Ri! Aku sudah berdoa agar aku kuat, tapi kadang aku tidak bisa,)" jawab Alia pelan. Dia menyusut air matanya.

Sari merasa iba. Dia sudah lebih lama berada di sini. Awalnya dia juga merasa sedih seperti Alia, tapi lama-lama dia menjadi terbiasa dan akhirnya sedikit demi sedikit melupakan rasa rindunya pada orang tuanya.

"Wis njajal matur ndoro putri, Ya? (Sudah pernah mencoba bilang ndoro putri, Ya?)" Tanya Sari.

Alia mengangguk.

"Sudah. Tapi kata ndoro putri aku disuruh menunggu tiga bulan lagi. Sesuai dengan kontrak yang dibuat oleh agen yang menyalurkanku," kata Alia.

Sari mengangguk.

"Dulu aku juga gitu, Ya. Tapi nggak salah juga kalau cuma nanya," kata Sari, "Besok kutemenin tanya, ya?" Kata Sari lagi.

Alia mengangguk, walaupun agak ragu juga. Jantungnya berdebar kencang, membayangkan seperti apa reaksi ndoro putri besok.

****

Namanya Sulistiyaningrum. Seorang anak bangsawan jawa turun temurun. Dia menjadi istri kesekian seorang saudagar tua yang kaya raya. Dan Ningrum mewajibkan kesempurnaan di semua sudut rumahnya.

Dia terkenal perfeksionis dan nyinyir kalau sudah menyangkut kesempurnaan dan keapikan rumahnya. Ningrum tidak mau tahu. Dia harus memiliki rumah terbaik, terindah dan terbersih bila dibandingkan dengan rumah-rumah istri ndoro Joyo yang lain. Sehingga tidak heran, setiap enam bulan sekali Ningrum memecat pembantunya dan menggantinya dengan pembantu yang baru, yang lebih mumpuni, lebih piawai, lebih terpercaya dan kalau bisa lebih cantik atau lebih tampan.

Seperti asisten rumah tangganya yang baru. Alia. Dia cantik, lulusan SMP, karena kabarnya Alia keluar dari sekolah ketia dia kelas satu SMA. Jadi masalah baca tulis dan hitung tidak masalah. Ningrum memercayakan Alia membersihkan lantai dua rumahnya, sambil melihat perkembangan kerja Alia, karena sebenarnya Ningrum berencana membawa Alia ke toko dan akan dijadikan pencatat administrasi, tapi awalnya dia harus melihat komitmen Alia dalam bekerja dulu.

Dan pagi ini Ningrum sudah dibuat muntab tanpa sebab ketika melihat wajah Alia yang sembab oleh air mata. Ningrum gemas sendiri. Dia benci kepada orang yang tidak tabah dan tegar ketika harus bekerja dan tinggal jauh dari orang tuanya.

Dan Ningrum tidak berbelas kasihan lagi pada Alia. Dia memandang tajam Alia dan Sari yang duduk bersimpuh di depannya.

"Njaluk mulih terus! Aku kan wis ngomong, yen wis nyambut gawe nem sasi nembe oleh mulih! Yen wis ora tahan, saiki wae kowe mulih! Ora sah mulih kene maneh! (Minta pulang terus! Aku, kan sudah bilang, kalau sudah kerja enam bulan baru boleh pulang! Kalau memang tidak tahan, kamu pulang sekarang saja! Dan tidak usah kembali ke sini lagi!)" Teriak Ningrum menggelegar.

Membuat kedua pembantunya itu menunduk dalam-dalam. Mereka diam tak berani bergerak ataupun menjawab. Ningrum juga merasa sebal, dia bisa saja membuat mereka berdua duduk bersimpuh sampai besok, tapi karena dia akan pergi akhirnya Ningrum menyuruh dua pembantunya itu pergi begitu saja.

"Ora sah takon mulih-mulih maneh! Yen sepisan maneh aku krungu masalah mulih, kowe wong loro bakal tak pateni! (Tidak usah tanya tentang pulang-pulang lagi! Kalau sekali lagi aku mendengar tentang masalah pulang, kalian berdua akan kubunuh!)" Seru Ningrum dan beranjak pergi. Membiarkan kedua pembantunya pergi begitu saja.

Biasanya Ningrum tidak akan sebaik ini. Biasanya dia kejam dan semena-mena, dia tidak akan memberi ampun kepada pembantunya yang kurang ajar bertanya padanya tentang masalah pulang. Hati Ningrum mendidih, tapi dia ingat pesan ndoro Joyo ketika Alia masuk ke rumah ini pertama kali.

"Sing iki aja dikon lunga, sik, ya! Tak cobane sethithik wae. Oleh, to? (Yang ini jangan disuruh pergi dulu, ya! Aku ingin mencobanya sedikit saja, boleh, kan?)" Tanya ndoro Joyo ketika melihat Alia dari kejauhan.

Ningrum memerhatikan Alia. Gadis desa Kedung Waru, lulusan SMP, memakai celana panjang warna hitam, atasan batik lengan panjang dan jilba kaos warna kuning gading, membawa tas ransel kumuh yang sepertinya berisi baju. Ningrum menghela nafas panjang. Wajah Alia cantik, tapi dia masih begitu polos dan lugu, butuh begitu banyak dipermak. Ningrum tersenyum geli.

"Badhe ngersaake digarwa nopo, Ndoro? (Ingin diperistri, Ndoro?)" Tanya Ningrum.

Ndoro Joyo tertawa terbahak-bahak.

"Kowe cemburu, ya? Ojo cemburu, Rum! Aku ora pengen mbojo maneh! Aku ming pengen ngicipi, tok! Sethithik ae! Oleh ora, Rum? (Kamu cemburu, ya? Jangan cemburu, Rum! Aku tidak ingin menikah lagi! Aku hanya ingin mencicipi, tok! Sedikit saja! Boleh nggak, Rum?)"

Ningrum paham maksud ndoro Joyo. Dia mengangguk. Mereka berpandangan dan tertawa bersama.

"Kulo siapaken tigang wulan malih, njih, Ndoro? (Saya siapkan tiga bulan, ya, Ndoro?)" Tanya Ningrum.

"Ya! Kowe wis mudheng saiki! Matur nuwun, ya, Rum! (Ya! Kamu sudah paham sekarang! Terima kasih, ya, Rum!)" Kata ndoro Joyo.

Ningrum mengangguk. Dia melihat ndoro Joyo yang sudah renta itu berjalan perlahan ke kamarnya.

Hati Ningrum masih merasakan didih kemarahan yang sama.

****

Alia terpaksa harus menahan diri untuk tidak menangis dan harus kuat. Dia menggigit bibir kuat-kuat agar tidak teringat akan pulang terus. Dia tetap melaksanakan tugasnya dengan baik, membersihkan lantai dua rumah ndoro Joyo dan ndoro putri. Dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah menanyakan lagi tentang kepulangan pada siapapun. Alia menyimpan duka laranya sendiri. Dia menelan semua kesedihannya sendiri.

Dan pada hari itu, seperti biasa Alia memulai aktivitasnya pada pagi hari.

"Aja diresiki, Ndhuk! Engko sore wae! (Jangan dibersihkan, Ndhuk! Nanti sore saja!)" Kata ndoro putri dengan suara yang lembut. Alia mengangguk. Dia bersimpuh di depan ndoro putrinya dengan takzim.

"Kulo badhe diutus nopo, Ndoro? (Saya disuruh apa, Ndoro?)" Tanya Alia, dia agak bingung karena tidak diperbolehkan bekerja.

Ningrum diam sejenak. Dia nampak berpikir.

"Kowe bariki melu aku wae, ya! Dina iki kowe ora sah nyambut gawe! (Kamu setelah ini ikut aku, ya! Hari ini kamu tidak usah bekerja!)" Kata Ningrum, membuat Alia mendongak terkejut. Tapi buru-buru menundukkan pandangannya lagi. Waktu mendongak beberapa detik tadi, dia sempat melihat wajah ndoro putrinya yang cantiknya tak terkira. Cantik tiada tara. Cantik seperti wanita-wanita yang ada di majalah ibu kota.

Ningrum tertawa.

"Hari ini kita berteman, ya?" Kata Ningrum. Dengan kasar dia mengangkat dagu Alia. Membuat Alia terhenyak dan hampir terjengkang karena terkejut.

"Setelah hari ini selesai, kamu boleh pulang kalau kamu mau!" Kata Ningrum dan dilanjutkan dengan tawanya yang menggelegar. Membuat Alia merinding dan ketakutan.

"Mau pulang, kan?" Tanya Ningrum.

Alia merasa ada sesuatu yang salah. Tidak seharusnya Ningrum menawarinya untuk pulang dengan cara seperti ini. Seharusnya Ningrum galak dan marah-marah padanya, tapi sekarang yang terjadi adalah kebalikannya. Ningrum melarangnya bekerja dan memintanya untuk ikut Ningrum entah ke mana.

"Kenapa tiba-tiba saya diperbolehkan pulang, Ndoro?" Tanya Alia berani.

Ningrum membeliak tak percaya mendengar pertanyaan Alia. Dia mendelik.

"Gelem opo ora? Yen ora gelem ya ora popo! Kowe ora sah mulih wae sak lawase! (Mau tidak? Kalau tidak mau ya tidak apa-apa! Kamu tidak usah pulang saja selamanya!)" Teriak Ningrum murka. Wajahnya merah padam.

Alia sangat ketakutan ketika melihat wanita cantik itu murka. Wajah Ningrum yang marah nampak merah dan sangat cantik, sangat cantik jelita. Alia berusaha menundukkan kepala. Tapi Ningrum tetap memegangi dagunya dan tanpa disangka kemudian dia menampar Alia kuat-kuat hingga tubuh Alia jatuh tersungkur.

Ningrum bangkit dan menginjak punggung Alia.

"Yen kowe ora manut, berarti keluargamu mati kabeh! (Kalau kamu tidak menurut, berarti keluargamu mati semua!)"

****

Untuk kesekian kalinya pria itu mendatangi rumah Arya di Kedung Waru. Pria itu nampak terlihat begitu 'mriyayeni' atau begitu terlihat jelas memiliki strata sosial yang tinggi alias bangsawan. Pria itu selalu nampak sopan dan berwibawa. Menyapa Arya dan kemudian meminta tolong kepada Arya.

"Mas Arya, kulo saestu badhe nyuwun tulung, njih? (Mas Arya, saya benar-benar hendak minta tolong, ya?)" Kata pria bernama pak Dewabrata itu.

Arya tersenyum.

"Pangapunten, wangsulanipun taksih sami, Pak. Kawulo mboten saged! (Maaf, jawabannya masih sama, Pak. Saya tidak bisa!)" Jawab Arya dengan kesopanan yang sama.

Dewabrata tersenyum. Dia merasa Arya hanya butuh sedikit dorongan.

"Mas Arya taksih mbetahaken arta, kan? Badhe pinten, Mas? Seket juta nopo satus juta? (Mas Arya masih butuh uang, kan? Mau berapa, Mas? Lima puluh juta atau seratus juta?)" Tanya Dewabrata lagi. Membuat Arya terhenyak dan membeku.

Bagaimana mungkin pria itu tahu dengan tepat jumlah uang yang dibutuhkannya? Arya menelan ludah. Sepertinya dia sedang berhadapan dengan orang yang tidak sedang main-main. Akhirnya Arya menyerah.

"Kulo mbetahaken kalih atus juta, Pak, menawi mboten ngrepoti, (Saya butuh dua ratus juta, Pak, kalau tidak merepotkan,)" jawab Arya. Dia menahan semua rasa malunya pada Dewabrata.

Mereka berpandangan. Dewabrata mafhum. Sepertinya masalah yang menggelayuti pundak pria muda di depannya ini tidak ringan. Arya baru saja menabrak seorang pejalan kaki dengan motor pinjaman. Pejalan kaki itu meninggal. Sebenarnya Arya dianggap tidak sepenuhnya bersalah, karena memang banyak saksi yang mengatakan bahwa pejalan kaki itu menyeberang jalan sembarangan. Tapi untuk menutup kasus itu Arya butuh uang yang cukup banyak, mungkin menang benar dia meminta uang seratus juta untuk bekal membayar ke sana ke mari. Dan uang seratus juta yang lain pastilah untuk membungkam keluarga Kustilah, wanita yang disukai Arya yang sudah hamil duluan karena Arya, dan kemarin baru digugurkan di dukun desa sebelah. Arya tidak ingin menikahi Kustilah, jadilah dia harus membayar sejumlah uang untuk membawa Kustilah pergi.

Dan Dewabrata tahu semua itu. Dia tahu semua detail nama korban, nama polisi, nama keluarga korban, nama dukun aborsi, tempat dan waktu semua kejadian dan semua kelengkapannya. Dia akan menjadikan semua data itu sebagai kartu as apabila Arya menolaknya.

Tapi setelah disinggung masalah uang, Arya langsung luruh dan menyerah. Dan Dewabrata menyanggupinya.

"Njih, saya akan langsung transfer ke rekening mas Arya. Dua ratus lima puluh juta! Sekarang juga!" Kata Dewabrata. Dia terlihat mengetik di HPnya dan kemudian menunjukkan HPnya pada Arya.

Arya melihat dengan tak percaya sejumlah angka yang tertera di layar HP itu. Sembilan digit angka sekarang sudah masuk ke rekeningnya. Arya nyaris pingsan. Dia mengangguk dan mengecek saldo rekeningnya melakui HPnya.

"Sudah masuk, kan?" Tanya Dewabrata.

Arya mengangguk.

"Berarti semua sudah fix, ya? Besok saya ke sini lagi menjemput mas Arya. Tolong disiapkan baju untuk bepergian selama tujuh hari enam malam, njih?" Kata Dewabrata dengan tegas.

Arya mengangguk. Dia menelan ludah.

"Kenapa saya yang dipilih, Pak?" Tanya Arya dengan nada keheranan. Sejak pertama kali Dewabrata datang ke rumahnya itu yang dipikirkannya. Kenapa dia?

Dewabrata tersenyum.

"Karena ada sesuatu di dalam diri mas Arya yang bisa membantu saya!"

****

Alia dipaksa berdiri dan diseret masuk ke dalam mobil yang telah siap di depan rumah.

Sari mengintip dari dalam kamarnya. Dia melihat Alia menangis tertahan. Jilbabnya dilepas paksa, bajunya sobek di beberapa tempat. Seandainya tidak memikirkan tentang uang, Sari pasti akan langsung membantu Alia. Tapi Sari tidak berani melakukan itu semua. Dia takut akan dikeluarkan dari rumah ini tanpa dibayar.

****

Pengalaman hari itu benar-benar luar biasa bagi Alia. Gadis remaja desa yang baru tahu dunia dan harus menghadapinya sendirian. Dia dipaksa untuk melakukan hal yang dikehendaki majikannya. Dia tidak tahu maksud Ningrum apa, dia hanya terdiam ketika tubuhnya diseret dan dimasukkan ke dalam mobil.

Di dalam mobil Alia masih dihujani sumpah serapah oleh ndoro putrinya.

"Arep diwenehi aji, kok, ora gelem! Bodhomu ki dientekke sik! (Mau diberi penghargaan, kok, tidak mau! Bod*hmu itu dihabiskan dulu!)" Teriak Ningrum dengan segenap kebencian di dalam dadanya.

Alia hanya menunduk dalam-dalam. Air matanya menetes-netes liar.

"Ora sah nangis! Kemayu! Sok jual mahal! Padalah asline, ya, jiwane lonth*! (Tidak usah nangis! Kemayu! Sok jual mahal! Padahal aslinya jiwanya juga jiwa lont*!)" Teriak Ningrum lagi. Sekali lagi Ningrum mengangkat dagu Alia.

Ketika melihat wajah Alia yang cantik tapi berbekas memar karena tamparannya, tiba-tiba hati Ningrum menjadi trenyuh. Dia ingat dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu, diperlakukan kurang lebih sama seperti ini. Rambutnya dijambak, dia diseret, disekap di kamar mandi dan akhirnya dia resmi menjadi seorang pelac*r. Hingga detik ini. Perannya sebagai Ndoro Joyo hanyalah kedok belaka. Kamuflase saja.

Ningrum ikut menangis tersedu. Dia mendekap Alia.

"Apuranen aku, ya, Ndhuk! Aku ming dadi bature ndoro Joyo! Aku dikon ngrumati kowe, Ndhuk! (Maafkan aku, ya, Ndhuk! Aku hanya menjadi pembantu ndoro Joyo! Aku disuruh merawatmu, Ndhuk!)" Teriak Ningrum histeris di tengah sedu sedan tangisnya.

Membuat Alia semakin kebingungan tiada tara.

****

Salli menyambut Ningrum yang wajahnya basah oleh air mata.

Salli mendesah. Selalu ada anak yang baru kalau Ningrum menangis sehisteris itu. Pasti ada calon 'istri' ndoro Joyo yang baru!

Salli segera menyuruh mereka berdua masuk ke dalam ruangan khususnya di salon itu.

"Baru lagi?" Tanya Salli.

Ningrum mengangguk.

"Nggak usah nangis, Rum!"

"Ya, aku nangis, to, Sal! Sebentar lagi aku diusir dari rumah itu!" Jawab Ningrum keras. Salli menggelengkan kepalanya.

"Mulai sekarang ambil semua barang berharga di sana. Cari kontrakan gudang untuk menampung barang-barangmu itu! Kalau sudah waktunya kamu pergi kamu tidak akan pergi dengan tangan kosong!" Bisik Salli menghasut.

Ningrum mendengarkan dengan teliti.

"Kamu sudah sering membantu istri ndoro Joyo yang lain?"

Salli mengangguk. Ningrum menimbang-nimbang.

"Baiklah! Aku akan segera melakukannya besok. Aku minta tolong, ya, Sal!" Kata Ningrum. Salli mengangguk.

"Siap, Rum! Sekarang kita permak dulu gadis ini!" Kata Salli. Mereka berdua cekikikan. Dan membiarkan Alia kebingungan sekaligus takut.

****

Malam itu Alia diminta menemui Ningrum di kamarnya di lantai dua. Alia yang sudah berdandan cantik mematuhi semua perintah Ningrum, dia tidak akan gegabah bertanya atau menolak perintah Ningrum lagi.

"Mulai malam ini kamu tidur di sini, ya!" Kata Ningrum, sambil mendorong Alia memasuki sebuah kamar besar yang biasa dibersihkan Alia setiap hari. Sebelum Alia protes pintu kamar itu ditutup dengan keras dan dikunci dari luar.

Alia merinding ketakutan, dia gemetar dan risau karena tidak tahu apa yang akan terjadi. Akhirnya Alia memilih untuk duduk di tepi ranjang. Dia terpekur. Jilbabnya sudah hilang sejak berangkat ke salon tadi, dia tidak diperbolehkan sholat atau mengaji seperti biasa. Dan larangan yang paling keras adalah Alia tidak boleh menangis.

"Kalau menangis berarti mati!" Teriak Ningrum tadi.

Alia berusaha untuk tidak menangis. Dia juga menahan lelah dan lapar. Sejak tadi dia tidak diberi makan sama sekali.

Akhirnya Alia yang kelelahan memberanikan diri membaringkan tubuhnya di ranjang besar di kamar itu. Dan dalam sekejap dia sudah terbawa ke dalam alam mimpi.

****

Ndoro Joyo melihat Alia yang sudah tertidur pulas. Dia tersenyum puas. Dugaannya benar.

Ada sesuatu dalam tubuh Alia yang bisa membantunya.

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Romantis

4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku