Teman yang dimasukkan ke dalam tubuh Fatih, membuat Fatih kewalahan setelah dia dewasa, karena teman-teman Fatih itu mengganggu Fatih dan orang-orang di sekeliling Fatih.
Fatih terbangun dengan keringat yang bercucuran di tubuhnya. Fatih tahu, gangguan itu pasti datang lagi, karena Fatih baru saja bermimpi didatangi atau mendatangi --Fatih tidak tahu-- dua lelaki itu lagi. Yang satu sudah tidak muda lagi dengan rambut pendek dan beruban sempurna, sementara lelaki satunya memiliki rambut panjang. Keduanya tertawa, sepertinya mentertawakan Fatih. Ah, mimpi itu sangat mengganggu Fatih. Mimpi itu seakan hendak memberi tahu Fatih tentang sesuatu, tetapi Fatih tidak paham, dia hanya bisa menduga-duga saja.
Fatih mendongak dan melihat seorang wanita yang memakai baju panjang putih duduk di atas lemari bajunya. Wanita itu tertawa melihat Fatih terbangun. Wanita kemudian melayang dan duduk di samping Fatih.
"Wis le turu? Menungso ki le turu suwe, ya? (Sudah tidurnya? Manusia itu kalau tidur lama, ya?)" tanya wanita berbaju putih dengan nada suara tinggi dan membuat merinding orang yang mendengarnya. Fatih bergidik, dia menggeser sedikit posisi duduknya. Wanita berwajah putih pucat itu tertawa terkikik-kikik.
"Ngopo? Kowe wedi karo aku? (Kenapa? Kamu takut denganku?)"
Fatih berdecak dan bangkit meninggalkan wanita jadi-jadian itu sendirian. Tawa wanita itu semakin keras.
"Fatih! Tih! Jangan pergi!"
Fatih tidak memedulikan teriakan-teriakan absurd itu, dia bergegas ke kamar mandi dan berwudhu, dia ingin menghilangkan gangguan yang membuatnya sangat tidak nyaman. Setelah Fatih keluar dari kamar mandi, suasana menjadi hening dan sepi. Fatih mengembuskan napas lega, sepertinya gangguan itu sudah menghilang.
Fatih segera menggelar sajadah dan melakukan salat Tahajjud. Belum lagi Fatih salam yang kedua, wanita berbaju putih tadi sudah berbaring di depan Fatih.
"Astaghfirullah!"
"Halah ora sah kemaki. Wis gek ndang turu, neh. Aku arep ngomong penting karo kowe, Tih! (Halah, nggak usah sok-sok.an. Ayo, tidur lagi. Aku mau ngomong penting sama kamu, Tih!)"
Fatih bergidik, dia buru-buru beristighfar dan membaca doa yang diingatnya untuk mengusir gangguan mahluk halus itu. Wanita itu mencibir.
"Halah bacaanmu, tu, Tih ... Tih! Masih salah-salah, kok, nekat mau ngusir aku. Aku, lo, sudah puluhan tahun di tubuhmu nggak terpengaruh sama sekali dengan doa-doamu, dengan ibadahmu yang masih bolong-bolong itu."
Fatih diam saja. Dia terus membaca doa yang sudah dihafalnya di luar kepala itu. Sang wanita berdecak kesal.
"Sudah, Tih! Sudah! Aku ini diititipin Mbah Atmo ke tubuhmu itu bukan untuk diusir seperti ini. Aku itu dititipkan ke tubuhmu untuk melindungimu. Hati-hati, lo, aku ini amanah dari Mbah Kakungmu, lo!"
Rupanya perkataan wanita jadi-jadian mengusik Fatih. Dia mendongak dan memandang wanita itu dengan marah.
"Kadita! Jangan bawa-bawa simbahku dalam hal ini!" teriak Fatih. Wajahnya merah merona menahan marah.
Wanita jadi-jadian yang bernama Kadita itu tertawa terkikik-kikik lagi. Kadita berdiri di depan Fatih.
"Makanya kusuruh sudah berdoanya. Tidur lagi saja ...."
"Nggak! Mending aku ke masjid saja." potong Fatih dan dia segera bergerak meninggalkan Kadita.
Kadita mendelik. Dia memanggil-manggil Fatih histeris.
"Tih! Fatih! Tunggu dulu! Jangan pergi dulu! Fatih!"
Fatih menoleh dan tertawa mengejek, kemudian melanjutkan langkahnya menuju masjid di depan indekosnya.
"Awas kamu, Tih!" teriak Kadita dengan marah.
**
Rahman bangun karena terkejut mendengar seseorang menutup pintu depan indekosnya dengan keras. Rahman bangkit dan mengintip dari jendela kamarnya.
"Fatih. Kenapa lagi anak itu?" gumam Rahman, "pasti ada sesuatu di kamarnya."
Rahman bergegas menuju ke kamar Fatih. Rahman tahu Fatih terganggu dengan entah apa yang ada di kamar indekosnya. Fatih belum pernah bercerita pada Rahman apa yang ada atau apa yang terjadi di kamarnya, tetapi Fatih pernah bercerita bahwa dia terganggu dengan sesuatu di dalam kamarnya. Sehingga sekarang Rahman ingin tahu apa yang sebenarnya ada di kamar Fatih.
Rahman mengendap-endap ke kamar Fatih. Rahman berharap tidak ada teman indekosnya yang tahu apa yang hendak dilakukannya. Perlahan Rahman membuka pintu kamar Fatih dan dia mendengar seorang wanita sedang menyanyi lagu jawa dengan kata-kata yang tidak jelas. Rahman merinding, tetapi juga penasaran, sehingga Rahman tetap berdiri di depan pintu kamar Fatih dan membuka pintu kamar Fatih lebih lebar lagi.
Seketika udara dingin melingkupi tubuh Rahman. Dia menggigil dan menjengit ketika melihat siluet wanita berambut panjang di salah satu sudut kamar Fatih yang remang-remang. Rahman menelan ludah ketika siluet wanita itu seakan menoleh ke arahnya. Rahman bergidik ketika mendengar wanita itu terkikik panjang dan dalam sekejap siluet itu berada di depan Rahman.
Rahman menjerit kaget. Siluet wanita itu tertawa semakin keras. Dia mencengkeram tangan Rahman erat sambil berbisik manja.
"Kowe wae sing dadi kancaku, ya? (Kamu saja yang jadi temanku, ya?)"
**
Pagi itu Karang Pandan dingin sekali. Seorang pria berambut panjang keluar dari ruang terapi ruqyah sambil menggendong seorang anak perempuan. Mereka menuju ke lapangan di depan ruang terapi ruqyah itu dan disambut dengan ceria oleh seorang pria.
"Wah, cucuku datang! Hei, mau main basket dengan simbah? Mana adik-adikmu, Ndhuk? Sini, biar Fatihah sama aku saja, Fad. Kamu mbantuin Yasna saja," kata pria itu kepada pria berambut panjang di depannya.
"Nggak, Om. Fadli disuruh untuk membawa Fatihah di sini biar Yasna bisa bersih-bersih rumah, mumpung Naim dan Naimah masih tidur," jawab pria berambut panjang yang bernama Fadli itu.
"Oalah, kamu nggak ngajar?"
"Nanti, Om, jam delapan."
"Oh, okelah. Yuk, sini main sama simbah." Pria itu segera menggendong anak perempuan kecil yang tertawa ceria menyambut ajakan simbahnya untuk bermain. Fadli menyerah dan membiarkan anaknya diajak bermain dan berkeliling lapangan oleh pamannya. Fadli memilih untuk duduk di pinggir lapangan dan menunggui paman dan anaknya bermain-main dengan ceria.
"Santai, Mas?"
Fadli terlonjak kaget dan melihat seorang pria mendekatinya. Fadli tersenyum melihat siapa yang menyapanya.
"Nggih, Pak Sapto. Sebenarnya disuruh momong Fatihah, tetapi malah diambil alih sama Om Fatih, ya, sudah saya duduk saja," jawab Fadli.
Pria berambut putih sempurna dan bertubuh tinggi besar bernama Sapto itu tersenyum dan duduk di samping Fadli.
"Tidak disuruh membantu Mbak Yasna?" tanya Sapto menggoda. Fadli tertawa.
"Menurut Yasna inilah cara saya membantunya, Pak. Bagi Yasna lebih baik saya pergi dulu ketika dia membersihkan rumah dan masak daripada saya berada di rumah dan ikut membantu beres-beres. Nanti malah pecah perang dunia," jawab Fadli dengan tawa geli. Mereka berdua tertawa.
"Hari ini kuliah, Mas Fadli?" tanya Sapto. Fadli mengangguk
"Njih, Pak. Sampai sore sepertinya. Nanti ibuk saya ke sini untuk membantu Yasna," jawab Fadli, "biasa, Pak, ibuk merasa ikut bersalah karena saya jarang di rumah."
Mereka berdua tertawa lagi.
"Wah, Bu Lintang baik sekali. Apa tidak repot, Mas?"
"Sepertinya ibuk saya tidak punya pekerjaan, Pak dan sepertinya bapak tidak di rumah, jadi ibuk ke sini. Alasannya sih, mau ikut merawat Fatihah dan si kembar, padahal sebenarnya ibuk saya takut di rumah sendirian, Pak," jawab Fadli dan mereka tertawa lagi.
Tiba-tiba paman Fadli --yang menggendong Fatihah-- berlari ke arah Fadli dan Sapto yang sedang tertawa.
"Fad! Fad! Itu, Fad!"
**
Bab 1 Bagian 1 : Teman Fatih
25/04/2024
Bab 2 Bagian 2 : Sukesi
25/04/2024
Bab 3 Bagian 3 : Awal Mula
25/04/2024
Bab 4 bagian 4 : Mimpi
25/04/2024
Bab 5 Bagian 5 : Luka
25/04/2024
Bab 6 Bagian 6 : Sapto Mulai Curiga
25/04/2024
Bab 7 Bagian 7 : Rahasia Saras
25/04/2024
Bab 8 Bagian 8 : Percakapan
25/04/2024
Bab 9 Bagian 9 : Pertemuan Hitam dan Putih
25/04/2024
Bab 10 Bagian 10 : Yasna
25/04/2024
Bab 11 Bagian 11 :Kayungyun
25/04/2024
Bab 12 Bagian 12 : Fadli
25/04/2024
Bab 13 Bagian 13 : Saput Pedhut
25/04/2024
Bab 14 Bagian 14 : Tamu
25/04/2024
Bab 15 Bagian 15 : Benang Merah
25/04/2024
Bab 16 Bagian 16 : Air Mata Fadli
25/04/2024
Bab 17 Bagian 17 : Sebuah Penemuan
25/04/2024
Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas
Selebihnya