Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
851
Penayangan
43
Bab

Sebuah resto baru yang menyimpan beribu satu misteri. Bisakah Faza mememecahkan masalah di resto baru itu?

Bab 1 Bagian 1 : Setan Merah

Bagian 1 : Setan Merah

Suara debur ombak membuat Kalila membuka matanya, suasana gelap pekat di sekitarnya membuat Kalila jadi bertanya-tanya, di manakah dia berada. Seketika bau asin air laut membuat Kalila merasa begitu segar. Dia mencoba bangkit, dan duduk, tetapi ketika hendak bangun, kepalanya terbentur sesuatu yang terbuat dari logam di atasnya, membuat Kalila meringis kesakitan dan benar-benar tersadar bahwa dia berada di dalam sebuah ruangan yang sangat rendah, sehingga dia tidak bisa duduk.

Kalila sangat penasaran dia berada di mana, kenapa atap ruangan itu rendah sekali, apakah ruangan itu kecil sekali? Atau dia berada di dunia lilliput, seperti buku yang sudah dibacanya dulu ketika dia masih kecil, tentang cerita seorang pria yang terdampar di dunia para lilliput.

Kalila merasa agak khawatir dengan keadaan tubuhnya, dia meraba dan memeriksa kaki dan tangannya, semua tidak terikat. Dia mulai memandang sekelilingnya, tetapi kegelapan membuat matanya tak bisa melihat apa-apa. Dia mulai panik. Tangannya meraba bagian atas tubuhnya, yang entah apa.

Dingin! Dan sepertinya logam yang ada di bagian atas tubuhnya sangat rendah, karena kaki Kalila yang sengaja diangkat langsung menyentuh logam dingin itu. Kalila merasa panik dan agak takut. Dia sepertinya tahu di berada di mana.

Ini bukan ruangan! Dan kemudian Kalila menyadari, dia berbaring di sebuah permukaan yang terbuat dari logam yang dingin dan keras. Ruangan kecil itu sebenarnya tidak terlalu gelap, setelah mata Kalila bisa beradaptasi dengan kegelapan, sehingga sepintas kilas Kalila hanya melihat logam yang bersilangan di atas tubuhnya, dan membuat Kalila semakin bingung. Sebenarnya dia berada di mana?

Sekali lagi Kalila mengeskplor sekelilingnya dengan tangan dan kakinya. Tangannya menyentuh logam di atas tubuhnya. Napasnya mulai tersengal ketika dia menyadari dan mulai menduga dia berada di mana. Dia mulai mengalami sesak napas, dia mulai menjerit histeris dan berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari tempat yang biasa digunakan untuk membawa jenazah ke makam.

Kalila berada di dalam sebuah keranda!

Kalila memberontak dan berusaha bangkit, kali ini dia mencoba sekuat tenaga untuk membuka tutup keranda itu dia benar-benar histeris dan mulai berteriak dan menangis.

"Tolong! Tolong!" teriak Kalila.

Tangannya tidak bisa membuka keranda itu, sepertinya memang di kunci dari luar. Atau mungkin ada kait yang menyebabkannya terkunci di dalam keranda itu?

Tangan Kalila dengan gugup mencoba membuka tutup keranda itu. Tetapi nihil, keranda itu terbuat dari semacam aluminium yang kuat dan kokoh, tidak bisa dibuka begitu saja.

Kalila mulai menyadari, bahwa sebentar lagi dia akan kehabisan udara di dalam ruangan sempit itu, terutama karena kepanikannya. Dia berusaha tenang dan berbaring lagi, tetapi tidak bisa. Bayangan kematian semakin nyata dan membuat Kalila semakin takut dan semakin risau.

Sekali lagi dia berusaha menendang dan membuka ruangan sempit yang dikiranya keranda itu, tetapi tetap tidak ada yang terjadi. Kalila mulai menangis lagi. Dia menangis karena takut dan menyadari sebentar lagi dia akan meninggalkan dunia ini.

Terbayang wajah ibunya yang sudah renta, wajah ayahnya yang sudah tak bisa apa-apa di ranjangnya, wajah adiknya yang begitu bergantung padanya, wajah teman-teman di tempatnya bekerja. Oh, air mata itu tak terkendali lagi. Kalila terisak keras dan tergugu dalam penyesalan, dia menyesal kenapa tidak beribadah dengan baik sejak dulu-dulu.

Kalila mendengar suara denting nyaring logam beradu dengan logam. Awalnya dia tidak memedulikan suara itu, karena dikiranya suara itu pasti halusinasi dari kepanikan dan juga suara-suara yang muncul karena dia sudah hampir mati.

Kalila menjengit dan berhenti menangis, saat dia benar-benar mendengar suara seseorang membuka gembok dan dentingan-dentingan logam di samping tubuhnya. Tubuh Kalila menegang.

Apakah ada yang akan membuka keranda itu? Dan tiba-tiba cahaya yang begitu terang membanjiri mata Kalila, yang belum lagi selesai memroses bunyi yang baru saja didengarnya. Kalila merasa panik, dia merasa belum siap.

"Sudah paham maksudnya?" Terdengar suara pria di samping Kalila. Sepertinya suara itu bertanya pada Kalila. Kalila memicingkan matanya dan mencoba melihat siapa yang berbicara.

Kalila mendengar tawa dan kemudian ada sesuatu yang bergerak ke arahnya. Kalila tidak bisa melihat apa benda itu, karena matanya belum lagi beradaptasi dengan peralihan dari gelap pekat ke terang benderang. Kalila mengerjapkan matanya beberapa kali untuk memfokuskan matanya dan ketika dia menyadari benda apa yang mendekatinya, dia terlambat.

Benda itu menyengat tubuh Kalila berkali-kali dan Kalila pun merengkuh kegelapan lagi.

****

Ratu, Putri dan Kirana berdiri dengan penuh ketakjuban.

Pesantren Ruqyah An Nur Karang Pandan.

Bangunan yang sangat megah, besar, luas dan bagus tak terkira, membuat mereka bertiga saling berpandangan dengan penuh ketegangan sekaligus kewaspadaan. Mereka bertiga agak sedikit takut untuk melangkah masuk ke dalam pesantren ruqyah yang terkenal di seluruh Indonesia itu.

"Ayo," bisik Ratu. Putri dan Kirana mengangguk.

Mereka melangkah perlahan menuju bagian dalam pesantren dan lebih terpesona lagi ketika melihat bagian dalam pesantren itu. Di depan mereka terbentang taman luas dengan aneka rupa tanaman bunga berwarna-warni menyejukkan mata. Di beberapa sudut terdapat kursi beton yang melingkari sebuah meja beton dengan naungan atap berbentuk menyerupai jamur di atas meja dan kursi itu, sepertinya nyaman sekali untuk duduk dan berbincang. Bangunan-bangunan tinggi bertingkat menyambut mereka bertiga, membuat mereka bertiga semakin gentar.

Ratu mengambil inisiatif untuk berjalan terlebih dahulu, mereka memasuki sebuah selasar lebar yang di kanan kirinya dilengkapi dengan papan informasi. Ratu melihat papan informasi yang berisi denah pesantren besar itu.

Denah warna-warni itu menunjukkan detail pesantren ruqyah lantai satu.

"Ada ruang olah raga, ruang gym, kolam renang, lapangan tenis, lapangan panahan, lapangan sepak bola, lapangan umum, sarana kesehatan ... Masya Allah, rupanya kita bukan hanya memasuki sebuah pesantren, tetapi juga memasuki sebuah kota, Mbak!" desis Putri.

Ratu mengangguk. Dia sedang mengecek denah yang menunjukkan ada tiga buah ruang terapi ruqyah di pesantren itu. Mereka berpandangan.

"Aku malah jadi takut," bisik Kirana. Ratu mengangguk, ekspresi wajahnya tidak terlihat karena tertutup cadar, tetapi Kirana bisa memastikan, bahwa Ratu pun merasakan ketakutan yang sama seperti dirinya.

"Kita harus ke ruang tunggu, kan, Mbak?" tanya Putri.

Ratu mengangguk.

"Ayo! Jangan buang-buang waktu! Nanti kita terlambat," kata Ratu, yang kemudian segera bisa menemukan ruang tunggu dengan bantuan denah cantik di selasar tadi.

Mereka disambut oleh seorang ustadzah bernama Rika, yang meminta mereka menunggu ustadzah yang akan mewancarai mereka setelah ini, dan di ruang tunggu ini pun mereka disambut dengan pemandangan yang tak kalah menariknya. Di ruangan itu terpampang foto pemimpin pesantren ruqyah Karang Pandan sejak dulu.

Ratu langsung mengenali foto Ustadz Irfan. Ternyata namanya Irfan Abdurrahman, Ratu tersenyum geli, dia belum pernah memerhatikan nama lengkap Ustadz Irfan selama ini. Ah, sudah lama sekali beliau meninggal, ya? Sudah tiga puluh tahun lebih.

Ratu mendekati foto-foto itu untuk membaca dengan lebih jelas. Di samping Ustadz Irfan terdapat foto pria yang sangat menawan dengan rambut putihnya yang mencapai belakang kerah bajunya. Pria itu tidak tersenyum, tetapi matanya menunjukkan kehangatan. Ratu membaca nama pria itu Sapto Aji.

Di samping foto Sapto Aji, terdapat foto seorang pria yang wajahnya hampir mirip dengan Ustadz Irfan, hanya saja pria itu lebih muda dan memiliki jenggot dan brewok yang tebal. Pria itu memandang ke depan dengan serius. Nama pria itu Hasan Abdurrahman. Oh, iya, Ratu pernah mengikuti kajian dengan Ustadz Hasan. Kalau tidak salah Ustadz Hasan adalah putra dari Ustadz Irfan.

Di sebelah foto Hasan terdapat foto pria yang juga memiliki brewok dan jenggot yang juga lebat. Wajah pria itu tampan, tetapi nampak agak galak. Nama pria itu adalah Muhammad Iqbal Rafi.

Di samping foto Iqbal terdapat foto pria setengah baya memakai kacamata bernama Heri, aneh, dia hanya menjabat pemimpin pesantren selama satu bulan. Mungkin ada masalah, ya, pikir Ratu, karena foto Hasan Abdurrahman kembali muncul, kemudian setelah foto Hasan muncul foto seorang ustadz sepuh yang tersenyum jenaka. Wajahnya nampak tenang dan sangat meneduhkan. Ketampanan ustadz tersebut masih nampak dalam guratan garis di wajahnya.

Ah, sepertinya ustadz itu akan sangat menyenangkan kalau menjadi teman diskusi, pikir Ratu. Ratu memicingkan mata untuk melihat nama pemimpin pesantren itu, Ramadhan.

Di samping foto ustadz yang sepuh dan terlihat humoris itu terlihat foto pemimpin pesantren ruqyah yang paling baru. Pria itu masih muda dan terlihat tersenyum ceria. Nama ustadz itu adalah Nurul Ikhlash.

Seseorang berdeham di belakang Ratu. Ratu terlonjak kaget dan buru-buru minta maaf. Ustadzah itu tersenyum dan mengangguk dan tak lama kemudian mereka pun memasuki ruang wawancara.

****

Kirana tersenyum dan menyalami ustadzah di depannya. Ustadzah itu memiliki wajah yang begitu cantik dan unik, walaupun terbilang sudah sepuh. Dia dampingi oleh seorang ustadzah yang lebih muda yang memanggilnya 'Buk', mungkin anaknya, pikir Kirana.

"Ustadzah Kirana, njih?"

Kirana mengangguk.

"Perkenalkan saya Yasna, dan ini Ustadzah Maya. Kami berdua akan mewawancarai Ustadzah Kirana terkait dengan surat lamaran yang dikirim Ustadzah Kirana kepada kami beberapa waktu yang lalu. Kita mulai saja, njih, wawancaranya?" tanya Yasna.

Kirana mengangguk. Dia mendengarkan dengan seksama pertanyaan Yasna dan menjawab dengan hati gemetar, dia takut dan gugup ketika menyadari dia benar-benar sudah berada di pesantren impiannya ini. Pesantren yang dulu hanya dilihatnya dari koran atau majalah dan kanal YouTube saja. Kirana nyaris menangis ketika tadi dia memasuki gerbang pesantren besar ini. Oh, rasa hatinya membuncah tak menentu.

Dan ketika Yasna mengatakan bahwa Kirana diminta untuk mulai melaksanakan tugas sebagai ustadzah besok dan boleh memasukkan barang-barangnya malam ini, Kirana menangis terisak dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak memeluk Yasna.

Yasna tersenyum dan memeluk wanita muda bernama Kirana itu. Yasna ikut merasakan kebahagiaan wanita muda itu.

****

Putri disambut oleh seorang ustadzah yang tersenyum manis dan menjabat tangannya erat.

"Saya Mutia. Ini Ustadzah Putri, ya?" tanya Mutia.

Putri mengangguk. Wajah ustadzah yang ada di depannya itu sungguh ayu. Penuh kelembutan dan ketenangan yang dalam. Terdapat tiga buah tahi lalat di bawah bibir sebelah kanannya, ah menambah keayuan sang ustadzah.

Wawancara Putri berjalan lancar. Putri bernapas lega ketika, dipersilahkan untuk memulai ikut meruqyah besok dengan tim ruqyah putri.

"Untuk tim ruqyah putri diketuai oleh Ustadzah Hasna. Beliau berkehendak untuk menemui ustadzah sekarang, setelah wawancara ini selesai. Ustadzah kersa nengga sekedap, kan? Ustadzah Hasna tasih ngisi kajian, (Ustadzah mau menunggu sebentar, kan? Ustadzah Hasna sedang mengisi kajian,)" kata Mutia. Putri mengangguk. Mereka berbincang santai sambil menunggu Hasna.

"Ustadzah baru di sini, njih? Kata Ustadzah Tika, kemarin ustadzah bertiga menginap di hotel?" tanya Mutia. Putri tersipu dan mengangguk.

"Njih, Ustadzah. Benar sekali. Kami dari gunung, Ust. Bingung kalau di Karang Pandan harus menginap di mana," jawab Putri.

"Karang Wulung, ya?" tanya Mutia lagi.

Putri mengangguk.

"Wah, jauh sekali, njih?"

"Njih, Ust. Kami naik bis dan lanjut naik kereta," jawab Putri.

Mutia mengangguk paham, setahunya Karang Wulung itu adalah desa di lereng sebuah gunung berapi aktif di provinsi ini.

"Ustadzah Putri dan kedua temannya sama-sama berasal dari Karang Wulung dan sama-sama kuliah di Al Azhar?" tanya Mutia takjub.

"Njih, Ust, kami bertiga berasal dari kampung yang sama di Karang Wulung, kami berteman dan bersahabat sejak kecil. Qadarullah sama-sama diterima di Universitas Al Azhar dengan jurusan yang berbeda-beda, dan setelah dua tahun mencari pengalaman kerja di Mesir kami mendaftar di sini. Alhamdulillah diterima. Jazakillah, ya, Ust," jawab Putri dengan wajah berbinar.

Mutia mengangguk dengan tersenyum lebar. Tak lama kemudian Hasna datang. Dan Putri bertemu dengan Hasna untuk pertama kalinya. Menurut Putri, Hasna adalah seorang yang sangat maskulin, wajahnya sangat serius dan agak galak, tetapi untunglah ketika Hasna tersenyum, kesan galak itu sedikit menghilang.

"Alhamdulillah, akhirnya ada ustadzah peruqyah juga. Perkenalkan saya Hasna," kata Hasna dengan mantap dan lantang. Ah, Putri langsung jatuh cinta, dia langsung suka pada gaya Hasna.

"Njih, Ustadzah, satu lagi dengan teman saya, Ratu," jawab Putri.

"Alhamdulillah, setelah sekian lama menunggu akhirnya ada juga akhwat yang mendaftarkan diri menjadi peruqyah. Jazakillah sudah mau menjadi peruqyah di sini, njih, Ust. Besok kita bertemu lagi," kata Hasna dan menjabat tangan Putri lagi, "oh, ya, mana Ustadzah satunya?"

"Kata Ustadzah Okta, sebentar lagi akan ke sini, Ust, beliau juga baru selesai wawancara," jawab Mutia. Hasna mengangguk, dia mengajak Putri untuk duduk kembali dan melanjutkan obrolan.

"Oh, satu temannya menjadi timnya Mbak Yasna, ya? Wah, sayang sekali, semula saya kira ada tiga peruqyah akhwat yang mendaftar di sini," kata Hasna.

Putri memandang Hasna dengan wajah yang agak risau, tetapi dia buru-buru mengalihkan pandangannya. Hasna sempat melihat wajah risau itu, tetapi membiarkannya saja, kalau Allah berkehendak, dia pasti juga akan tahu makna kerisauan di wajah ustadzah baru, yang masih sangat muda itu.

Tak lama kemudian Ratu dan Okta memasuki ruangan wawancara Putri. Hasna menyambut Ratu dengan suka cita, menyalaminya dan bertanya banyak hal pada Ratu.

"Oh! Karang Wulung? Apakah Ustadzah Ratu kenal dengan seorang sensei di sana? Namanya Sultan Prabaningrasa?" tanya Hasna.

Ratu dan Putri sama-sama terkejut. Mereka berpandangan dengan keheranan dan nyaris tertawa.

"Itu kakak saya, Ust," jawab Ratu sambil mengulum senyum gelinya.

Sekarang gantian Yasna yang terkejut, matanya membeliak lebar.

"Ya Allah! Sultan itu teman saya kuliah di China. Wah, sudah lama sekali tidak ketemu dengan Sultan. Apa kabarnya Sultan? Saya minta nomornya, ya?" Ratu dan Hasna saling bertukar info, dan Hasna meminta mereka untuk masuk ke pesantren sore ini, karena alam ada rapat pekanan untuk para raqi nanti malam.

"Sekalian perkenalan, ya?" kata Hasna sambil tersenyum, membuat dua ustadzah muda itu merona dan tersipu malu sebelum berpamitan ke hotel lagi.

Setelah kedua ustadzah muda itu pergi, Hasna tersenyum.

"Ratu Prabaningrum, ya? Masya Allah! Orang tua mereka adalah raja tembakau di tanah Jawa! Bapak mereka terkenal sebagai mafia tembakau sejak dulu, sampai sekarang. Luar biasa sekali," kata Hasna. Mutia terheran-heran mendengar penjelasan Hasna.

"Berarti sudah tua, ya, Ust, bapaknya Ustadzah Ratu?" tanya Mutia.

Hasna menoleh ke arah Mutia dan mengangguk.

"Ya, sepertinya sudah tua sekali."

****

Rosalina mengajar di sebuah SMA swasta di pusat kota Karang Pandan. Dan menjelang pulang, ketika Rosalina hendak menaiki motornya dia mendengar percakapan beberapa siswa di dekatnya.

"Eh, ada resto baru, lo! Bagus banget, enak-enak juga makanannya!"

"Wah, layak dicoba, tuh!"

"Huum! Banget!"

"Di mana?"

"Di sebelah utara RSUD, namanya Resto GM."

"Menunya apa?"

"Pasta, milkshake, steak, jajanan Korea, dong, pokoknya kekinian banget! Besok ke sana, ya?"

"Siap! Siapa, nih, yang mau nraktir?"

Mereka tertawa-tawa dan meninggalkan tempat parkir dengan motor mereka masing-masing, membuat Rosalina jadi mempunyai ide untuk mengajak Faza ke sana. Harus, pokoknya!

****

Yuda, Restu, Malina dan Astri memasuki resto besar itu. Resto GM. Resto yang sedang viral di Karang Pandan. Resto yang didirikan di sebuah tanah yang semula adalah tanah kosong yang menjadi sengketa dan akhirnya dibeli oleh seorang pengusaha kuliner bernama Purnama Mandala Putra, sang pemilik Resto GM.

Mereka terpesona dengan interior Resto GM yang luas, bersih dan sangat artistik. Di dalam resto itu terdapat ruangan-ruangan kecil yang batasi dengan dinding bambu berwarna kuning, di dalam ruangan tersebut terdapat meja pendek dengan empat bantal duduk lebar dan empuk di lantai yang dialasi karpet warna merah bata.

Mereka berempat berpandangan.

"Bagus banget!" seru Malina. Mereka segera mencari salah satu ruangan yang kosong dan segera mencoba duduk di bantal duduk warna merah marun yang sangat empuk itu. Malina melihat ruangan kecil yang indah itu dengan sukacita. Ruangan itu bagus sekali, mungil, tapi bersih dan wangi.

"Yuk, kita cek menunya," kata Yuda. Mereka tambah terheran-heran dan semakin girang melihat menu di buku menu. Makanannya terlihat enak-enak dan harganya juga sangat bersahabat.

Setelah mereka memesan makanan Restu segera ke kamar mandi.

"Kebiasaan Restu kalau di tempat baru," gerutu Yuda.

Restu tertawa.

"Ya, aku kan ingin mencoba kamar mandinya, Yud," jawab Restu geli dan segera mencari kamar mandi.

Kamar mandi itu terletak di sebuah sudut selasar resto luas itu. Restu segera menyelesaikan hajatnya di kamar mandi resto yang serba modern itu. Dia mematut diri di kaca sebelum kembali ke dalam resto. Pada saat itulah Restu mendengar bisikan-bisikan entah dari mana.

"Wanita itu sudah dieksekusi?"

"Tinggal menunggu perintah dari bos."

"Bagus!"

Restu tidak memahami percakapan itu, tetapi Restu yakin dia harus segera pergi dari situ. Restu segera keluar kamar mandi, dan melihat pintu ruangan di samping kamar mandi itu terbuka sedikit dan Restu paham, dari situlah bisikan-bisikan iti didengarnya. Restu juga paham, dia seharusnya segera pergi dari situ, tetapi Restu malah memilih sebaliknya. Dia malah mengendap-endap memasuki ruangan itu, dan ketika tubuhnya sudah masuk sempurna ke dalam ruangan itu, pintu di belakang Restu tertutup rapat dengan suara yang keras.

****

Sekarang Faza menempati rumah sendiri, terpisah dari Fadli, tetapi masih di perumahan ustadz ustadzah di belakang ruang terapi ruqyah. Karena sekarang banyak sekali ustadz ustadzah yang memilih untuk membawa keluarganya ke pesantren ruqyah, maka perumahan untuk para asatidz itu berkembang sangat pesat, bahkan terbagi menjadi tiga bagian. Di bagian utara pesantren adalah perumahan untuk para peruqyah, karena letaknya persis di belakang ruang terapi ruqyah. Di sebelah timur dan sebelah selatan terdapat perumahan asatidz untuk ustadz ustazah yang mengajar reguler dan asatidz pengurus pesantren.

Faza memasuki rumahnya dan mengucapkan salam. Sepi. Sepertinya tidak ada Rosalina. Faza melihat ke arah jam dinding. Seharusnya Rosalina sudah pulang setelah Ashar. Sekarang sudah hampir jam lima, aneh kemana Rosalina pergi?

Faza masuk ke kamarnya dan terkejut ketika melihat Rosalina tertidur. Sepertinya Rosalina kelelahan, dia bahkan belum mengganti bajunya.

Faza mengamati wajah cantik Rosalina. Ah, pipi putih yang hampir seperti transparan itu sangat lembut dan halus. Perlahan Faza mengelus pipi itu. Memang benar-benar halus.

HP Rosalina tergeletak di samping Rosalina, Faza berniat untuk meletakkan HP itu di meja agar tidak tertindih, tetapi secara tidak sengaja dia melihat halaman web terakhir yang dilihat Rosalina.

Resto GM. Faza penasaran dan mengamati foto dan deskripsi yang ada di web tersebut. Wah, rupanya ada sebuah restoran baru di dekat rumah sakit. Faza tersenyum, dia paham maksud Rosalina.

****

Restu terlonjak kaget ketika pintu itu tertutup rapat dan dia dikelilingi kegelapan. Dia langsung sadar bahwa apa yang dilakukannya itu salah.

Tiba-tiba lampu di ruangan itu dinyalakan. Restu terlonjak lagi. Dia melihat lima orang pria sedang mengelilingi sebuah meja yang berada di tengah ruangan itu. Pria? Entahlah mereka semua memakai jas dan celana warna hitam dan mereka semua memakai topeng di wajah mereka. Topeng wajah pria berwarna putih polos yang serupa. Topeng itu berlubang di bagian mata dan lubang kecil pada bagian lubang hidungnya.

Mereka menoleh ke arah Restu. Dua orang pria yang sama persis muncul dari kegelapan. Mereka memakai topeng yang sama dengan para pria yang mengelilingi meja, tetapi walaupun mereka tidak menunjukkan wajah mereka, tetapi entah bagaimana, Restu tahu dua pria itu tersenyum mengejek kepadanya.

"Kamu tidak boleh masuk ke sini! Tapi karena kamu sudah terlanjur masuk, berarti kamu tidak boleh keluar lagi!"

****

"Ke mana Restu? Ck! Ada saja kelakuannya!" desis Astri, Malina dan Yuda juga menggerutukan hal yang sama.

"Coba, deh kucari dulu! Nggak asyik kalau kita nggak makan bareng!" kata Astri.

Yuda mengeluh.

"Biar saja, Tri! Nanti dia juga ke sini!" seru Yuda di tengah ramainya resto siang itu.

Astri tidak memedulikan keluhan Yuda. Dia beranjak bangkit mencari Restu. Astri bertanya pada seorang pelayan di mana letak kamar mandi laki-laki.

"Teman saya pamit ke kamar mandi sudah setengah jam yang lalu, saya takut, mungkin dia pingsan," kata Astri asal, sekaligus juga khawatir dan takut kalau Restu benar-benar pingsan.

Para pelayan itu berpandangan kebingungan. Seorang wanita menghampiri Astri. Dia tersenyum dan merangkul Astri.

"Jangan khawatir, Mbak! Kami bantu, ya. Saya manager di sini. Nama saya Liana," kata wanita itu. Dia segera menyuruh seorang pelayan laki-laki mengantar mereka berdua menuju ke kamar mandi laki-laki.

"Saya cek dulu, Bu," kata laki-laki itu masuk terlebih dahulu ke dalam kamar mandi. Liana dan Astri menunggu di luar.

Tak lama pelayan itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pias.

"Ada pria pingsan di kamar mandi, Bu! Apa itu teman mbaknya? Mohon dicek!" seru pelayan itu dengan gagap. Astri seketika panik, dia takut dan gemetaran. Liana memeluk Astri.

"Saya temani masuk, ya, Mbak," kata Liana menghibur Astri. Astri mengangguk, mereka berdua masuk ke dalam kamar mandi itu.

Dan ...

Lampu kamar mati dan hidup kembali. Anehnya lampunya sekarang berwarna merah remang-remang. Astri menjerit tertahan.

"Bu Liana?" Astri mencari teman, tetapi sepinya ruangan itu menunjukkan bahwa dia sendirian.

Astri mundur beberapa langkah ketakutan. Apa yang terjadi?

"Bu Liana?" teriak Astri lagi. Berharap Liana ada di sampingnya dan mengalami kepanikan yang sama, seperti dirinya. Tetapi yang ada hanya sepi dan keremangan yang mencekam.

Dari sudut mata, Astri melihat bayangan hitam berkelebat di sudut ruangan. Sepertinya ada yang terbang, entah apa. Astri ketakutan, tetapi dia tak peduli, dia segera mencari pintu keluar, tetapi anehnya di dalam keremangan itu, dia tidak menemukan pintu sama sekali. Astri mulai berkeringat dingin ketika melihat pintu itu ada jauh di depannya.

Astri tak peduli. Dia langsung berlari ke arah pintu hanya untuk terjungkal ketika tiba-tiba ada sosok yang tiba-tiba mendarat tepat di depannya. Astri mencoba bangkit dan melihat sosok apa yang membuatnya terjungkal. Entah kenapa Astri tidak takut lagi, dia marah.

Dan Astri melihatnya. Sosok itu sama persis dengan sosok setan merah dan menjadi lambang salah satu klub sepak bola di Inggris sana. Sosok berwarna merah, bertanduk, berekor panjang, bersayap kecil di punggungnya dan memegang tombak kecil.

Astri menjerit ketakutan melihat sosok yang begitu nyata di depannya. Sosok berwarna merah itu terlihat basah dan liat. Astri tersengal ketika sosok itu mendekatinya. Astri bisa mendengar suara langkah mahluk aneh itu dan juga kepak sayap kecil di punggungnya.

Mahluk itu menyeringai pada Astri, gigi taringnya nampak mengancam. Astri bergerak mundur, tapi masih kalah cepat dengan gerakan setan merah itu, dia terbang rendah dan dalam sekedipan mata sudah berada di depan Astri.

Astri menjerit keras ketika merasakan kasarnya lidah setan merah yang menjilat pipinya ....

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku