KEMBANG KANTHIL KEMBANG MLATHI

KEMBANG KANTHIL KEMBANG MLATHI

Endah Wahyuningtyas

5.0
Komentar
541
Penayangan
21
Bab

Impian seorang ibuuntuk membahagiakan anak-anaknya ternyata tidak selamanya berakhir dengan baik.

Bab 1 Prolog

"Kamu yakin dengan semua konsekuensinya, kan?"

"Njih, Mbah."

Pria tua itu memandang wanita muda di depannya dengan lekat. Pria tua itu memandang wanita itu dari atas ke bawah tanpa jeda, membuat yang dipandang merasa risih.

"Baiklah! Kalau itu memang maumu. Aku hanya membantu. Sekarang keluarkan semua syarat yang kuminta kemarin!"

"Njih, Mbah."

Dengan lincah wanita itu mengeluarkan barang-barang dari dalam tasnya.

"Kembang kanthil?"

"Ini, Mbah."

"Berapa jumlahnya?"

"Seratus kuntum."

"Bagus. Mana melatinya?"

"Ini, Mbah. Sama seratus kuntum juga."

Pria tua itu mengangguk.

"Bagus. Mana kainnya?"

Sang wanita memejamkan mata perlahan, dengan gemetar dia mengeluarkan kain warna hijau bersulamkan benang emas dari dalam sebuah kotak yang telah disediakannya dan menyerahkan kain itu pada pria tua yang dipanggilnya simbah tadi. Pria itu menerima kain itu dan tersenyum puas.

"Bagus. Semua syarat sudah lengkap. Sekarang kita lakukan ritualnya."

Sang wanita menelan ludah dan mengangguk ragu. Pria tua itu menggelar kain hijau tadi di atas lantai rumahnya. Dia tersenyum pada sang wanita. Sang wanita mengangguk ragu, dan kemudian melepaskan bajunya satu persatu.

Pria tua itu memandang tanpa kedip pada wanita di depannya. Dia menelan ludah beberapa kali. Kemudian pria tua itu pun melakukan hal yang sama dengan sang wanita dan mereka bertemu di atas kain hijau itu.

Lamat-lamat terdengar kidung lirih dari suatu tempat di rumah juru kunci itu.

"Kembang Kanthil, kembang mlathi, aja melu aku, engko kowe mati. (Kembang Kanthil, kembang melati, jangan ikut aku nanti kamu mati.)"

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku