Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Walau Tak Seindah Mantanmu (Sentuh Hatiku, Hubby!)

Walau Tak Seindah Mantanmu (Sentuh Hatiku, Hubby!)

Tere Bina

5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
57
Bab

Dinar dan Inder menikah sebab punya tujuan masing-masing. Inder karena menginginkan perusahaan dari ayahnya, sedangkan Dinar biar ada yang membiayai kuliahnya yang mengambil jurusan bidan. Siapa sangka Dinar malah jatuh cinta pada Inder, namun Inder tidak. Sebab Inder memiliki mantan yang begitu cantik bahkan indah menurut Inder. kecantikan mantannya itu sulit membuat Inder bisa menerima pernikahannya dengan Dinar sekalipun Dinar sudah menerima bahkan jatuh cinta pada pria dingin itu. Saat Dinar ingin menyerah dan ingin bercerai, barulah ia tahu, bahwa Inder punya rahasia dengan mantannya tersebut. Hingga pria itu sulit melepas hubungannya sekalipun telah menikah.

Bab 1 Sakitnya Malam Pertama

"Buka bajuku!"

"Hah!" Aku melongo. Saat mendengar instruksi dari Inder. Pria yang baru saja sah menjadi suamiku.

"Kenapa mau dibuka bajunya, Mas?" Ah, pertanyaan konyol memang. Jelas-jelas aku sudah tahu sebenarnya apa mau Inder.

"Gak usah sok polos. Kamu pasti lebih tau apa yang aku inginkan." Entah kenapa ini suami gak ada lembut-lembutnya saat meminta haknya. Alih-alih aku mengharapkan ia bersikap romantis. Tak bicara kasar saja sudah untung.

Aku mendesah. Aku kira dia tak akan menyentuhku, Sebab kami menikah hanya karena ingin mendapatkan tujuan kami masing-masing.

"Lalu, kenapa kamu gak buka sendiri aja, sih, Mas?"

"Apa gunanya aku kasih mahar 100 juta kalau aku mau pakai kamu aja harus aku sendiri yang buka baju."

Oh, Tuhan…dia masih saja membahas mahar 100 juta yang aku minta. Maunya apa coba? Bahas ini di malam pengantin kami. Mau menunjukkan betapa murahannya aku?

Ada yang bilang kalau aku ini murahan, sih!

"Din, cepet!"

Aku beringsut maju, mendekati Inder. Perlahan tanganku memegang sisi kaos putih yang dikenakan Inder.

"Lama amat sih, Din!"

"Kalau mau cepet ya buka sendiri," ketusku.

"Sudah aku bilang aku sudah—"

"Ya, kamu sudah memberiku mahar 100 juta. Puas!" Aku menyela.

"Bagus. Makanya bekerja dengan baik," timpalnya.

Aku pun, secara perlahan mengangkat kaos Inder, mulai melucutinya. Namun kualihkan pandanganku ke samping.

"Dih, apaan, sih. Gak usah sok jaim." Tangan kekar Inder meraih wajahku dan menghadapkan ke arahnya.

"Mas, tunggu!" Aku menghentikan Inder saat wajahnya hendak didekatkan dengan wajahku.

"Apa?" Pertanyaan Inder terdengar protes.

"Aku mendadak kebelet."

Inder menarik tangannya dari wajahku. Tak lupa ia mendesah kecewa.

"Cepatan!" ketusnya.

Tanpa buang-buang waktu. Aku segera berlari ke arah kamar mandi dan masuk ke dalam sana.

****

Entah sudah berapa lama aku berada di kamar mandi tanpa ngapa-ngapain. Tadi itu hanya alasanku saja yang bilang mules. Padahal sama sekali tidak. Aku hanya grogi, gugup, takut dan tak siap menjadi satu.

Ah…kenapa mendadak aku takut disentuh oleh Inder, sih. Bukannya aku suka orang ganteng? Dan Inder ganteng.

Tapi kenapa aku setakut ini. Bukankah aku ingin sekali disentuh oleh orang ganteng. Apa mungkin…karena Inder tak mencintaiku? Berbeda dengan diriku, yang awalnya tak suka namun jadi suka saat melihat tampang rupawan Inder, saat aku baru melihat untuk pertama kalinya, setelah membuat status Facebook.

Mungkin iya. Aku tak siap dan gugup sebab Inder akan melakukan malam pengantin kami bukan karena cinta. Melainkan…kami punya tujuan masing-masing dari pernikahan ini.

Inder karena ingin mendapatkan perusahaan mamanya, yang takut akan dikuasai oleh saudara tirinya, Andra. Anak bawaan dari istri kedua papa Inder.

Padahal aku tahu jelas Inder punya kekasih, namanya Cleopatra. Sudah bisa dibayangkan, bukan, secantik apa kekasih Inder. Dari namanya sudah sangat indah, apalagi orangnya.

Jelas sangat cantik kekasih Inder. Aku saja yang wanita ikut suka melihat keindahan mantan Inder.

Sedangkan aku…aku mau menikahi Inder sebab biar ada yang biayai kuliahku. Yang saat ini tengah kuliah jurusan bidan.

Oleh karena itu aku mengorbankan diri, bahkan oleh orang-orang, ada yang menganggapku, kalau aku sedang menjual tubuhku pada Inder, dengan minta mahar 100 juta dan juga membiayai kuliah.

Tapi…mengorbankan diri pada orang ganteng itu tak rugi. Itu menurut Inggit, adikku. Lagi pula…aku berharap suatu saat nanti Inder akan mencintaiku.

Kalau di likir-pikir. Aku memang secara tidak langsung menjual diriku sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, aku gak punya uang untuk melanjutkan kuliah. Apalagi biaya sekolah kebidanan itu tidaklah sedikit. Sedangkan Emakku hanya seorang janda yang kerja sehari-harinya menjaga toko. Belum lagi kedua adikku yang keduanya.

Ringgit, atau yang biasa dipanggil Inggit untungnya sudah lulus S1, dan sekarang ia sudah bekerja di salah satu bank. Gadis cantik yang umurnya hanya selisih satu tahun lebih beberapa bulan itu memang mempunya kecerdasan diatas rata-rata. Karenanya ia menempuh S-1 dengan kecepatan.

Dan adikku Dirham, adik bungsu laki-lakiku, dia masih kuliah di semester 2. Saat ini hanya Inggit yang bisa memberikan uang untuk Emak.

Kalau aku…aku hanya bisa beri sekedarnya, sebab bayaran kuliahku saja tiap semesternya sudah besar. Belum lagi buat biaya lainnya. Yang tak banyak orang ketahui.

"Din. Kamu bertapa di dalam?"

Aku terkejut saat mendengar pintu kamar mandi digedor dengan kuat.

"Din? Lama amat. Kamu sengaja, ya?"

Dih, gak sabaran amat sih.

Aku pura-pura menyiram kloset. Agar nampak habis buang air.

"Kenapa? Kamu menghindar?" Setelah membuka pintu ia langsung menyemprotku.

"B-bukan begitu—"

"Kamu takut? Atau kamu…."

Aku hanya berdecak kesal. Heran, laki-laki kok banyak omongnya.

"Aku gak menghindar, kok." Aku berjalan melewatinya, menuju ranjang.

"Aku pikir, kau mau menikahiku hanya sebatas tujuan saja, sama sepertiku. Tak perlu berperan jadi suami, atau jadi istri. Apalagi—"

"Enak saja kalau gitu." Inder motong cepat.

Keningku mengkerut.

"Aku sudah membayarmu mahal. Tapi aku tak bisa berbuat apapun denganmu. Kamu pikir ini film, yang hanya aku anggurkan istri di malam pertamanya meskipun tak mencintainya. Namun ia akan menyentuhnya saat ia mulai suka. Ih, tidak, aku bukan pria semacam itu."

Panjang sekali penjelasannya.

"Bukan itu maksudku." Saat ini aku sudah duduk kembali di ranjang yang tadi aku duduki.

"Apa?" Inder ikut duduk. Memberikan tatapan tajam.

"Bukankah, kau punya kekasih kalau gak salah?" Aku menatapnya dengan mata memicing.

"Itu bukan jadi alasan!" ketusnya.

"Tapi kau mencintainya, bukan?"

"Tentu."

"Sangat?"

"Sangat!"

"Dan aku mencintaimu, Inder!" Ah, andaikata aku bisa mengatakan itu pada Inder. Sudah pasti aku tak seresah dan sesulit ini menjalani malam pengantin dengan Inder. Ini bukan malam pengantin yang aku inginkan.

Yang aku inginkan adalah, dimana malam pengantinku, aku bisa memeluk suka dan duka dengan pasanganku, bukan hanya sekedar memeluk karena mencari kehangatan. Seperti saat ini.

Tapi apa daya. Aku dan Inder menikah memang bukan karena cinta, tapi karena tujuan. Lalu aku bisa apa? Disini hanya aku yang mencintai.

"Kenapa dengan dirimu?"

Aku menoleh, menatapnya."Apa kau tak akan merasa mengkhianatinya, dengan melakukannya denganku?"

Inder menarik nafas kasar. "Dia selamanya akan menjadi yang terindah dalam hidupku. Kapan pun dan di mana pun. Tapi aku tak mungkin, kan, melakukan apa yang harus terjadi di malam ini dengannya? Meski aku tak fanatik dalam agama, tapi aku tahu, mana yang haram dan mana yang halal."

"Tapi membayangkan wanita lain saat menyentuh istrinya juga haram, bukan?"

"Jangan mendebatku, Din. Aku tahu apa yang baik dan tidak baik. Apa perlu aku jelaskan nanti saat acara malam pertama kita berlangsung. Bagaimana kalau saat itu aku hanya membayangkan apa yang ada di hadapanku saja, dengan siapa aku saat ini."

Dih, tadi saja dia bilang, kalau keindahan mantannya ada di mana-mana, kapan pun ada.

Ah, aku lupa, kalau pria yang di depanku ini adalah seorang terpelajar lulusan hukum, karena mau jadi pengacara. Tentu dia pandai dalam bicara, lebih-lebih mendebat.

"Jangan mempersulitku untuk mendapatkan hak ku sebagai seorang suami saat ini." Inder mendekatkan wajahnya padaku. Semakin lama semakin dekat saja, bahkan saat ini nyaris tanpa jarak.

Tanganku bergerak, menahan dadanya.

"Apa kau tak ingin membacakan doa dulu untukku?"

Mata Inder menyipit. "Doa apa?" Nadanya terdengar ketus.

"Doa pertemuan malam pengantin?" Aku mengangkat sebelah alis.

"Kamu gak ingin mendoakan aku, agar jadi istri yang baik, gitu?"

Inder tak segera menjawab. Dipandanginya lekat-lekat wajahku. Ah, kok aku mendadak panas, ya? Melihat tampang Inder dalam jarak yang begitu dekat seperti ini?

"Apa ini salah satu cara agar bisa mengulur waktu? Dan kau akan selamat di malam ini?" tuduhnya.

"Bukan!"

"Aku tak hafal doanya!" ucapnya cepat.

"Bisa cari di google!"

Inder memicingkan matanya, semakin tajam menatapku.

Ah, aku jadi takut, dan menyesali kata-kataku.

Namun selanjutnya, ia menarik diri dariku. Mengambil ponselnya, mengetik sesuatu di sana.

Cukup lama Inder menatap layar ponselnya, mungkin ia sedang menghafalnya.

Aku terkesiap saat tiba-tiba Inder menoleh dan meraih kepala dan mendaratkan bibirnya di keningku.

Bersamaan dengan itu, aku dengar Inder melafalkan sebuah Doa.

Ah, keren. Dalam sekejap ia bisa menghafal doa. Padahal doanya lumayan panjang, loh.

Selanjutnya, bibir Inder turun ke wajahku, dan lama-lama makin turun.

Jangan tanya apa kabar dengan suhu tubuhku dengan perlakuannya. Aku sudah merasakan panas dingin.

Dan untuk selanjutnya, apa yang harus terjadi, terjadilah.

Malam pertamaku, tanpa cinta.

****

Aku terbangun sekitar jam 2 malam. Aku menoleh, menatap ke samping. Aku sudah tak menjumpai Inder.

Kemana dia?

Aku menyingkap selimut dan berusaha turun dari ranjang.

"Aww…." Aku memekik, saat merasakan nyeri di area kewanitaan saat bergerak.

Kenapa perih sekali? Apa ini rasanya sakit malam pertama.

Dengan sekuat tenaga, aku berusaha berdiri dan melangkah ke kamar mandi.

"Kamu tenang saja. Aku menikahi Dinar hanya karena memenuhi syarat dari Papa. Aku tak mencintainya. Dan selamanya akan begitu."

Deg.

Saat aku melintasi balkon kamar, tak sengaja mendengar percakapan Inder di telpon. Seketika langkahku pun terhenti, ingin mendengar lebih banyak lagi kata-kata Inder.

"Kamu tahu sendiri, kan? Kalau kamu yang selalu terindah di hidupku. Aku hanya memanfaatkan Dinar saja. Baru setelah itu…."

Aku segera memalingkan wajah, tak ingin mendengar lagi kata-kata Inder. Rasanya aku tak akan kuat untuk mendengarnya.

Air mataku mengalir, entah kenapa rasanya sakit mendengar kalau Inder hanya memanfaatkanku saja.

Tapi kenapa aku harus sakit? Bukannya aku tahu kalau Inder menikahiku bukan karena cinta. Tapi kenapa aku masih merasakan sakit?

Apa jawabannya karena aku mencintai Inder?

Iya, aku rasa itu alasannya…sebab, setelah perlakuan Inder tadi, aku sempat punya harapan, kalau aku masih bisa mendapatkan hatinya.

Namun belum berlangsung lama, kini harapanku musnah bersamaan dengan kata-kata Inder dengan orang yang ditelponnya. Yang kuyakini ia adalah Cleopatra.

Tapi…kenapa sesakit ini? Ngilu rasanya hatiku mendengar kata-katanya. Rasa sakit yang diberikan Inder dua kali lipat dari yang ia berikan tadi.

Aku tersenyum miris. Benar-benar malam pertama yang menyakitkan. Inder suami yang hebat, memberikan dua rasa sakit sekaligus.

____________

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Tere Bina

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku