ANAK KETIGA
t tidak suka dengan hal ini. Beliau buru-buru menyambut Pak Danurisman dan rombongannya. Pak Danurisman sudah terlihat sepuh, tubuhnya gempal dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya yang su
setelah ambulans itu pergi, dia segera menuju ke rumah Fadli untuk beristirahat sebentar karena dia akan berencana pulang ke Karang Legi dua hari lagi. Ah! Dia sudah sangat ingin pulang ke rumahnya di pesantren ruqyah di Karang Legi, pesantren yang lebih kecil, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya.Dan entah kenapa ketika mengingat masa kecilnya, Fiki jadi teringat Rama. Dia mengembuskan napas panjang. Tiba-tiba sebelum pulang Fiki ingin bertemu dengan Rama dulu, dia ingin memberi Rama uang atau mungkin membelikan Rama sesuatu.****Fiki perlu bantuan. Dia tidak hapal jalan ke lapangan tempat mereka menurunkan Rama tempo hari. Jadi dia meminta bantuan iparnya, Faza. Karena Fiki tidak berani meminta tolong Naim, karena pasti Naim akan berteriak-teriak dan semua orang akan tahu keinginan Fiki."Ustadz badhe nopo kok, pengen manggihi Rama? (Ustadz mau apa kok, ingin menemui Rama?)" tanya Faza sopan.Fiki tersenyum.Ipar-iparnya adalah sebuah fenomena tersendiri. Yang pertama adalah kedua orang tua mereka --mertua Fiki-- tidak terlalu tinggi dan tubuhnya juga tidak terlalu besar, tapi hampir semua iparnya bertubuh tinggi dan besar. Yang kedua, walaupun semua iparnya tinggi dan besar, bahkan dengan wajah yang garang, tetapi semua sopan dan sangat menjaga etika kepada siapapun.Seperti yang dilakukan Faza barusan. Tutur bahasa Faza sangat sopan dan sholih, kontras dengan tubuhnya yang tinggi besar, kulitnya yang hitam, jenggotnya yang lebat dan panjang dan rambutnya yang paling panjang diantara para lelaki pada keluarga istrinya. Fiki tersenyum, dia agak ragu ketika menceritakan semuanya, tentang perasaannya pada Rama. Sekilas terlihat kekhawatiran di mata Faza."Mbak Salma sampun ngertos, Ustadz? Mbak Salma sudah tahu, Ustadz?)" Fiki terdiam. Dia tahu seharusnya dia memberitahu Salma, tapi tentu saja Salma tidak akan setuju dengan apa yang dilakukannya, jadi Fiki memutuskan untuk tidak memberitahu Salma saja. Lagipula dia, kan hanya akan bertemu Rama sebentar dan belum tentu juga Fiki akan bertemu dengan Rama.Akhirnya setelah beberapa saat berpikir, Fiki menggeleng."Mungkin lebih baik Salma tidak tahu saja, ya, Za! Aku ... aku takut dia akan emosi," jawab Fiki pelan. Dia mulai ragu Faza akan mau membantunya.Tapi di luar dugaan Fiki, Faza malah mengangguk."Mungkin lebih cepat kita lakukan akan lebih baik, Ust! Sebelum Mbak Salma atau ibuk menyadari apa yang kita akan kita lakukan!" kata Faza penuh semangat. Fiki menyambut semangat Faza dengan suka cita dan mereka berencana untuk mencari atau menyambangi Rama keesokan harinya.****Pagi hari yang panas di Karang Pandan. Jalanan begitu ramai dan padat. Dan Fiki merasa semakin tidak nyaman di kota besar ini, dia ingin segera kembali ke Karang Legi yang tenang dan sepi."Lapangannya kosong, Ustadz," kata Faza ketika mereka sampai di lapangan dekat pasar itu. Fiki mengangguk. Dia tersenyum, benar dugaannya, dia belum tentu akan bisa bertemu dengan Rama. "Ya, sudah! Tidak apa-apa, Za! Kita pulang saja! Nanti Salma marah!" kata Fiki. Faza mengangguk dan melihat kesedihan di wajah kakak iparnya. Faza hanya bisa prihatin dengan kesedihan Fiki, tanpa bisa benar-benar membantu Fiki menghilangkan kesedihan itu.****Melihat mahluk halus. Suatu musibah atau anugerah? Musibah karena mungkin akan melihat penampakan yang mungkin mengerikan. Anugerah karena memang bisa melihat alam lain yang beraneka rupa dan juga sekaligus bisa juga memiliki kemampuan-kemampuan yang bisa didapatkan dari mahluk halus itu.Dan Kay menganggap bisa melihat mahkuk halus sebagai anugerah terbesar dalam hidupnya. Karena dengan kemampuannya melihat mahkuk halus, Kay juga bisa meramal masa depan seseorang. Dan sepertinya ramalan Kay banyak yang sesuai, sehingga Kay banyak dimintai bantuan meramal nasib orang lain. Dan dengan nekad, Kay menyewa sebuah kantor kecil yang digunakan untuk tempat praktiknya. Dan selama hampir dua tahun terakhir, usaha ramalannya ini cukup berhasil. Banyak orang yang datang ke tempat praktiknya yang terletak di sebuah gedung pencakar langit di tengah padatnya ibu kota itu. Dan dari situlah Kay mendapat banyak uang dan juga ketenaran. Bahkan Kay, yang cantik jelita itu, sering menjadi buah bibi