ANAK KETIGA
uk mendekati Nay. Fiki memberi waktu terlebih dahulu bagi Nay untuk beradaptasi dengan keadaannya dan ling
ersenyum. "Mboten, Ustadzah. Kulo mboten ngalamun! (Tidak, Ustadzah. Saya tidak melamun!)" kata Nay. Mutia menelan ludah. Nay nampak berbeda. Mutia berpikir jangan-jangan Nay kerasukan. Dan Nay mengangguk."Iya! Aku ngrasuki awake bocah iki! Coba celuken ustadze mau! Aku tak ngomong langsung karo ustadze wae! (Iya! Aku merasuki anak ini! Coba panggilkan ustadz yang tadi! Aku mau bilang sendiri dengan ustadznya!)" kata Nay.Mutia beristighfar dan langsung berlari ke arah Fiki, Hasan dan Faza."Ustadz! Ustadz! Mbak Naya!" kata Mutia dengan khawatir, dia menunjuk-nunjuk ke arah Nay. Nay nampak duduk tenang dan tersenyum ke arah Mutia."Kerasukan lagi?" tanya Fiki.Mutia mengangguk. Dia menangis terisak. "Njih, Ustadzah, istighfar dulu, njih, Ust!" kata Hasan. Mutia mengangguk. Beberapa ustadzah menenangkan Mutia. Fiki dan Hasan segera menghampiri Nay, sementara Faza masuk ke dalam untuk memanggil Iqbal dan Fadli dan asatidz yang lainnya. Dan pagi itu semua berubah menjadi ingar bingar.****Fiki melihat Nay duduk dengan sangat anggun. Dia duduk dengan rapi dan kedua tangannya ditangkupkan di atas pangkuannya. Dia tersenyum pada Fiki."Pangapunten, Ustadz. Kawulo badhe ngrepoti, (Mohon maaf, Ustadz. Saya akan ngrepoti,)" kata Nay. Bahasa dan tingkah lakunya seperti bangsawan."Njih, monggo! Pangapunten sakderenge, panjenengan sinten, njih? (Iya, silahkan! Mohon maaf sebelumnya, anda siapa, ya?)" tanya Fiki.Nay tersenyum sopan."Kulo Dewi Drupadi, Ustadz. Kulo ingkang ngrencangi lare meniko kawit riyin, Ustadz, (Saya Dewi Drupadi, Ustadz. Saya yang menemani anak ini sejak dulu, Ustadz,)" jawab Nay penuh kelembutan, tak lupa senyum manis selalu terukir di bibirnya.Benar-benar perubahan kepribadian yang sangat signifikan, membuat Fiki terpana dibuatnya. Nay benar-benar seperti seorang artis, yang seakan bisa mengubah wataknya secara tiba-tiba."Oh, njih. Tepangaken kulo Fiki. (Oh, ya. Perkenalkan saya Fiki.)" Nay tersenyum. "Njih, Ustadz Fiki. Kulo badhe matur. Mangkih bapak saking Nay meniko badhe mriki amargi dipun undang kaliyan Ustadz Hasan. Pangapunten sanget sakderenge, mangkih Nay didhawuhi wangsul, Ustadz. Mangkih saksampune Nay wangsul, Ustadz mboten sisah madosi Nay malih, njih, Ust! Amargi menawi Nay wangsul, Nay badhe kulo aturaken dumateng Prabu Sri Katon, Ustadz. (Ya, Ustadz Fiki. Saya mau bilang. Nanti bapak dan ibu dari Nay akan datang ke sini karena diundang Ustadz Hasan. Maaf sekali sebelumnya, nanti Nay disuruh pulang, Ustadz. Nanti setelah Nay pulang, Ustadz tidak usah mencari Nay lagi, ya, Ust! Karena Nay akan saya berikan ke