ANAK KETIGA
jak lama, ketika badai besar menghancurkan hatinya.Fiki memandang bayi putih bersih di depannya. Mata bayi itu sama seperti matanya kata Salma, Fiki tidak bisa melihatnya, karena kedua mata anakny
bahwa mereka tidak perlu bicara, mereka sudah saling memahami, walaupun mereka memang tidak seumuran. Fiki lebih muda lima tahun dibandingkan Nurul Islam. Fiki seumuran dengan adik ketiga Nurul Islam, Nurul Ihsan. Tapi sejak dulu mereka berdua selalu ditakdirkan untuk menjalani takdir kehidupan ini berdua, mereka ditakdirkan untuk melalui jalan kehidupan ini bersama. Dan kebersamaan itu membuat Nurul Islam nyaris tak punya hati ketika mengetahui bahwa anak Fiki meninggal. Nurul Islam merasa bahwa anaknya sendirilah yang meninggal."Aku tidak peka, Rul! Aku melewatkan banyak hal! Aku tidak mau tahu Salma sudah mengirimkan sinyal-sinyal kedukaan hatinya sejak lama. Aku membiarkan hal itu berlalu begitu saja, kupikir Salma lama-lama akan terbiasa. Tapi aku salah!" kata Fiki. Nurul Islam memandang Fiki kebingungan."Apa maksudmu, Fik?" "Salma selalu tidak betah di Karang Legi, Rul! Dan ketika dia mengungkapkan semua rasa itu, aku malah memarahinya dan membiarkannya, aku sama sekali tidak menyangka Salma akan memendam semua rasa ini! Dan sekarang, semua rasa itu membuat Salma tak kuat lagi, sehingga anak kami meninggal, Rul! Semua memang salahku!" bisik Fiki, "aku sama sekali tidak menyangka," bisik Fiki lagi."Astaghfirullah! Jangan berpikiran negatif seperti itu, Fik! Ujian yang sedang kamu hadapi sekarang memang berat. Sangat berat. Jangan berpikir macam-macam dulu! Tenangkan hatimu dulu, Fik! Istighfar dulu! Kalau semua sudah tenang, bicarakan baik-baik dengan Salma!" kata Nurul Islam. Dia merasa begitu sedih dengan keputusasaan yang terlihat jelas di wajah Fiki. Nurul Islam merangkul Fiki. Fiki menangis terisak dan Nurul Islam membiarkannya saja. Dia membiarkan Fiki mengeluarkan semua beban di dadanya.****Yasna tidak tahu harus berkata apa. Sejak beberapa hari kemarin Salma sering mengeluh sakit pada pinggangnya. "Capek itu, Ndhuk. Istirahat saja. Nggak usah beres-beres dulu!" kata Yasna waktu itu. Salma mengangguk dan masuk ke kamarnya dengan wajah yang tak tergambarkan. Waktu itu Yasna mengira Salma hanya kecapekan, tapi rupanya ada satu rahasia yang disembunyikan Salma dari Yasna.Ah! Sedihnya! Kemarin malam Salma ke rumah Yasna. "Buk! Kok, aku keluar darah, ya?" kata Salma, nada bicaranya biasa saja, tapi wajahnya jelas menunjukkan kepanikan.Yasna langsung bingung dan panik."Astaghfirullah! Apa karena sakit pinggang kemarin? Perutmu mulas? Ya Allah! Orang-orang pada ke mana? Kamu duduk dulu, ya? Ibuk cari bantuan!" kata Yasna.Salma mencegah Yasna keluar, dia memegang tangan Yasna."Sejak kemarin perut Salma rasanya keras sekali, Buk! Sakit!" bisik Salma, "Salma juga tidak merasakan gerakan adik bayi! Padahal biasanya kalau Salma capek gerakannya aktif sekali," bisik Salma pelan, dia mulai menangis.Yasna terdiam. Keringat dingin mulai bermunculan di punggung Yasna dan membuat Yasna gemetar. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat agar tidak menangis."Allahu Rabbi! Istighfar, ya, Ma! Kita harus ke rumah sakit sekarang! Di mana Fiki atau Naim atau Faza?" seru Yasna gelisah, dia segera keluar rumah mencari bantuan.Dan dalam sekejap rumah Yasna ramai dan ribut. Fiki yang datang belakangan, melihat darah menetes-netes dari gamis Salma, membuatnya pusing, sedih dan marah. Tapi dengan kekuatan yang entah dari mana, Fiki bisa menggendong Salma masuk ke dalam mobil dan memangkunya selama perjalanan ke rumah