Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Puncak Lelah Anak Tiri

Puncak Lelah Anak Tiri

Quinshaa

5.0
Komentar
4.9K
Penayangan
14
Bab

Siapa yang mengira kehidupan seorang gadis saat menginjak dewasa akan sangat berat? Namanya Hanna, gadis yang baru saja dewasa harus menelan pil pahit saat mengetahui bahwa kakak tirinya hamil oleh laki-laki yang sangat ia cintai. Di saat ia sedang berjuang keras mencari biaya untuk pengobatan ibu kandungnya ia harus menerima penghiatan yang di lakukan oleh kekasihnya sendiri. Jelas itu semua membuat Hanna terpukul, dan ingin menyerah. Tapi Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mengulurkan tangannya dengan dalih pertolongan dalam bentuk pernikahan. Akankah Hanna menerima tawaran itu?

Bab 1 Penghianat sang Papa

"Sus, bagaimana keadaan Ibu saya? Apa ada perkembangan?" tanya Hanna ketika dirinya baru saja sampai di sebuah rumah sakit tempat ibunya dirawat.

"Bersyukur untuk saat ini ada sedikit perkembangan, Bu Hilda juga tidak mudah marah-marah dan sedikit bisa mengontrol emosinya. Tapi, itu tidak berlangsung lama, karena terkadang Bu Hilda sering menangis dan marah-marah tanpa sebab. Dan jika semakin lama dibiarkan ia membant*ng seluruh barang yang ada di sekitarnya," jelas salah satu Suster yang menjaga ibu Hanna.

Hanna mengangguk dan tersenyum. "Boleh saya melihat keadaannya sekarang?"

"Boleh, Mbak, mari!"

Hanna masuk mengikuti suster di depan nya, baru beberapa langkah saja Hanna sudah melihat wajah sang ibu yang sedang terdiam dengan pandangan mata yang menerawang jauh entah kemana.

"Ibu, Hanna datang untuk menjenguk ibu," ucap Hanna. Gadis itu mencoba mendekat.

"Mbak, saya permisi dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungi saja," ucap Suster dengan undur diri.

Hanna hanya mengangguk tanpa menoleh dan mengalihkan pandangannya dari Hilda- ibu kandung Hanna.

Hanna Septia Maharani, dia adalah gadis cantik dengan kulit berwarna kuning langsat. Umurnya baru genap 20 tahun pada bulan September lalu.

Setelah lulus sekolah, Hanna memutuskan untuk bekerja dan mencari uang sendiri. Ya, walaupun harta orang tuanya bergelimangan dan dia hanya anak semata wayangnya Hilda dengan Rama Bhaskoro, tapi tidak membuat Hanna menjadi anak yang manja. Apalagi setelah kondisi Bu Hilda seperti saat ini.

Hilda Maharahi, wanita paruh baya yang memiliki usia 43 tahun. Di umurnya yang sudah berkepala 4, Hilda masih terlihat sangat cantik, walaupun wajahnya pucat masa dan warna kulitnya kusam.

Namun, sangat disayangkan jiwanya terganggu setahun belakangan ini. Maka dari itu, agar tidak membahayakan Rama- Papa Hanna memutuskan untuk membawa Hilda ke salah satu RSJ di kota ini.

"Ibu sudah makan?" tanya Hanna dengan lembut, ia begitu perhatian kepada ibunya dan terus menatapnya dengan tatapan sendu.

Wajar saja, Hanna merasa kasihan kepada Hilda. Ibu yang dulu selalu menyambutnya dengan tersenyum lebar bahkan kini hampir tidak mengenalinya.

Hanya menggenggam tangan Hilda sehingga wanita paruh baya itu menoleh dan tersenyum simpul ke arahnya.

Senyuman yang tulus meski tatapannya terasa kosong, Hanna sangat yakin bahwa suatu saat nanti Hilda akan kembali kepada sediakala.

Ibu Hana menjawabnya dengan mengangguk. "Kamu?" tanya balik Hilda.

"Hanna juga sudah makan tadi ... Emm, Ibu mau jalan-jalan?" tawar Hanna.

"Apa aku boleh pergi?"

"Tentu saja, aku akan membawa ibu kemanapun ibu mau," ujar Hanna.

"Kalau begitu bisakah kamu membawa aku keluar?"

"Aku ingin bertemu dengan anakku," sahut Hilda yang nampak linglung.

"Aku anak ibu ..." jelas Hanna.

"Tidak, anakku. Dia masih kecil meski kalian sama cantik, tapi kamu bukan anakku!" sangkal Hilda yang mulai mengamuk.

Jelas semua itu membuat Hanna merasa sakit saat melihatnya, siapa yang tidak merasakan sakit saat ibu kandungnya sendiri tidak bisa hidup normal bersamanya.

"Dengar Hanna ibu, Ibu bisa bertemu dengan anak ibu, jika ibu menuruti ucapanku dan suster."

"Ibu paham, maksud Hanna'kan?" tanya Hana menatap pekat ibunya.

"Ya ..."

Mendengar jawaban Hilda, Hanna langsung membawa sang Ibu keluar dari kamar.

Rumah sakit ini begitu luas, bahkan di depannya terdapat taman yang begitu cantik. Maka dari itu, Hanna mengajak Hilda untuk menikmati suasana taman.

Di luar memang banyak sekali orang-orang dengan gangguan mental, tapi tidak membuat Hanna takut sedikitpun. Justru, Ia merasa sedih dan memikirkan bagaimana perasaan keluarga mereka.

"kita duduk di sini, Bu," ucap Hanna, Ia menuntun ibunya untuk duduk.

Mereka berdua duduk di salah satu kursi taman, beberapa saat mereka sama-sama hening. Tapi, tatapan mata Hanna tidak pernah lepas dari wanita yang telah melahirkannya 20 tahun lalu.

"Ibu mau roti coklat?" Hanna menyodorkan satu bungkus roti coklat dari tasnya.

Ia tahu jika Hilda sangat menyukai roti coklat, apalagi roti coklat buatan tetangga mereka.

"Makasih," ucap Hilda.

"Ibu cepet sembuh ya, biar nanti kita bisa sama-sama lagi makan roti coklat di rumah. Terus kita pesan yang banyak sama Mbak Mira dan kita makan hangat-hangat,"

Hilda hanya mengangguk, dia terus memakan roti coklat itu dengan lahap. Membuat Hanna tersenyum senang.

"Ibu suka?" tanya Hanna. Tangannya terulur untuk mengambil lelehan coklat di sudut bibir Hilda.

"Suka!" jawab Hilda bersemangat.

Walaupun hanya satu dua kata, tapi setidaknya Hilda selalu merespon ucapan Hanna. Dan itu membuat Hanna senang, karena artinya keadaan Hilda memang sedikit membaik.

Sebenarnya semenjak Hilda di bawa ke rumah sakit ini, keadaannya justru semakin parah. Tapi, melihat kondisinya sekarang Hanna yakin jika ibunya akan sembuh.

****

Melihat hari sudah semakin sore, Hanna berpamitan pulang dan dia berjanji akan kembali berkunjung di lain waktu.

Setidaknya perasaan Hanna sedikit lega melihat Hilda sudah jauh lebih baik.

Di perjalanan pulang, Hanna melihat sebuah mobil yang tidak asing baginya.

"Papa?" beo Hanna ketika melihat seorang pria paruh baya keluar dari salah satu restoran.

Matanya terbelalak ketika seorang wanita cantik dan s*ksi bergelayut manja di tangan Rama.

"Siapa wanita itu? Kenapa dia berani-beraninya bersikap seperti itu di tempat umum seperti ini?" Hanna menatap jij*k kearah Rama dan wanita itu.

Mobil Rama melaju meninggalkan halaman Restoran, diam-diam Hanna mengikutinya dari belakang.

Beruntung Hanna membawa motor, jadinya dia tidak kesusahan untuk mengikuti kemana perginya mobil Rama.

Namun, ternyata mobil Rama menuju arah rumah mereka. Itu artinya Rama membawa wanita itu pulang ke rumahnya.

Tepat ketika Rama dan wanitanya akan masuk ke dalam rumah, disitu motor yang dikendarai oleh Hanna juga berhenti.

"Hanna? Kamu baru pulang?" tanya Rama.

"Iya, Pa. Tadi sengaja mampir dulu jengukin Ibu," jelas Hanna dengan jujur.

Rama mengangguk, tanpa bertanya apapun lagi kepada Hanna. Bahkan, pria itu sepertinya sudah tidak berminat dengan bagaimana perkembangan ibu Hanna.

"Oh iya, Hanna. Ini kenalin, dia Tante Ira. Tante Ira ini adalah teman Papa," ucap Rama memperkenalkan Hanna kepada wanita yang berada di sampingnya.

"Hallo, Hanna. Seneng banget deh Tante bisa ketemu sama kamu, Papa kamu tuh sering banget ceritain tentang kamu. Ternyata benar ya, kamu itu anaknya cantik." sapa Ira dengan mencoba mendekati Hanna.

"Seneng juga ketemu sama Tante. Maaf ya, Hanna masuk duluan capek soalnya!" Hanna segera masuk tanpa memperdulikan Ira dan juga Rama.

"Maaf ya, mungkin Hanna lagi capek, makanya dia jadi seperti itu. Tapi, aslinya dia anak yang baik dan sopan kok." Tanpa diminta Rama menjelaskan dan meminta maaf atas kelakuan Hanna barusan.

"Iya, aku ngerti kok," sahut Ira.

"ya udah, yuk kita masuk!" ajak Rama.

Mereka masuk dengan bergandengan tangan.

Di dalam kamar, Hanna sedang membersihkan badannya. Seharian bekerja lalu mampir untuk menjenguk sang ibu tercinta, membuat badan Hanna terasa begitu lengket.

Hanna mengguyur seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki, dengan niatan agar hati dan otaknya tidak berpikiran buruk tentang Papa Rama yang membawa Ira ke rumah ini.

Entah kenapa, Hanna merasa tidak enak hati saat dirinya dikenalkan dengan wanita itu.

Selesai mandi, Hanna gegas memakai baju dan mengeringkan rambutnya. Bisa pusing jika rambut panjangnya itu tidak kering.

Tok ... Tok ... Tok!

"Non Hanna, dipanggil Tuan Rama untuk kebawah, Non!" teriak Bi Minah dari luar kamar.

"Iya, Bi! Bilang sama Papa suruh tunggu sebentar, Hanna lagi pakai baju dulu," jawab Hanna sedikit berteriak.

10 menit kemudian, Hanna keluar dengan wajah yang terlihat sudah fresh. Di ruang keluarga masih ada Ira ternyata, Hanna langsung duduk di kursi yang tidak jauh dari keduanya.

Melihat kedatangan Hanna, dengan cepat Rama melepaskan pelukan Ira dari dirinya.

"Ada apa Papa manggil Hanna?" tanya Hanna to the point.

Rama tersenyum menatap Ira dan Hanna bergantian, tiba-tiba tangannya menggenggam tangan Ira. "Begini, Sayang. Besok Papa dan Tante Ira akan menikah, dan Papa harap kamu bisa hadir."

Degh!

Seketika Hanna merasa jika jantungnya berhenti berdetak, perasaannya menjadi tidak karuan.

"Apa maksud Papa?" ucap Hanna, suaranya sedikit tercekat.

"Tante Ira akan menjadi Ibu sambung kamu, Sayang. Jadi, Papa harap kamu bisa menerimanya dengan baik. Dan besok kamu harus hadir di acara penting Papa," jelas Rama dengan raut wajah yang santai dan berseri-seri.

"Apa Papa sudah tidak waras? Papa dan Ibu belum berpisah, bahkan sekarang Ibu sedang berjuang di rumah sakit. Kenapa sekarang Papa tega ingin menikah lagi dengan wanita lain?" Nada bicara Hanna sedikit meninggi, gadis itu menahan amarahnya.

"Hanna, Ibu kamu itu g*la, tidak mungkin dia akan sembuh. Jadi, Papa ingin ada yang mengurus kamu juga Papa."

"Ibuku gak g*la, Pa! Dia baik-baik saja, hanya kesehatan mentalnya yang terganggu. Dan aku yakin, dia akan sembuh! Lagipula aku sudah dewasa, aku tidak butuh siapapun untuk mengurus diriku!" tekan Hanna.

Sorot mata Hanna tidak bisa berbohong, gadis itu benar-benar emosi dengan keputusan yang diambil oleh Papanya.

"Sudahlah lah Hanna, kamu jangan terlalu berharap lebih dengan kesembuhan Hilda. Lebih baik kita cari kebahagiaan kita sendiri untuk saat ini,"

Tangan Hanna terkepal erat. "Aku tidak akan pernah sudi menggantikan posisi ibuku dengan wanita manapun!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku