Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Anak Haram Milik Suamiku

Anak Haram Milik Suamiku

bacaanharianku

5.0
Komentar
Penayangan
5
Bab

Awalnya aku seorang istri dan ibu bahagia, tapi semenjak suamiku mengaku anak yang kami asuh dari Panti Asuhan anak kandungnya dengan wanita lain. Hidupku pun hancur seketika. Seperti inikah surga yang dijanjikannya dulu?

Bab 1 AHMS

"Ada apa, Mas? Apa terjadi sesuatu di kantor?"

Pada waktu itu Amara sedang duduk di ruang tamu, menikmati segelas teh hangat yang baru saja diseduh. Matahari sore menembus tirai tipis jendela, menciptakan suasana yang nyaman di dalam rumah.

Di sampingnya Raka bermain dengan mainan di lantai, tertawa ceria saat mobil mainan menabrak kaki meja. Melihat senyuman Raka, Amara merasa damai. Hidupnya terasa sempurna bersama Bima dan Raka, meskipun dia tahu pernikahan mereka tak selalu mulus.

"Mas Bima?" Amara memanggil dengan nada lembut, berharap bisa meredakan ketegangan yang terlihat di wajahnya.

Bima berhenti di depan pintu, seolah tidak yakin harus memulai dari mana. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya duduk di sofa di seberang Amara. "Kita perlu bicara," katanya, terdengar serak.

Bima menggelengkan kepala. "Ini bukan tentang kantor. Ini tentang kita. Tentang Raka." Suaranya semakin pelan dan takut.

Amara mengerutkan kening, bingung. "Apa maksudmu? Tentang Raka? Apa yang salah dengan Raka?" Perasaan cemas mulai menjalar di dadanya.

Bima menunduk, tidak mampu menatap mata Amara. "Seharusnya aku mengatakan ini sejak dulu, tapi aku selalu takut. Takut kamu akan meninggalkanku, takut kamu tidak akan pernah bisa memaafkanku."

"Kamu membuatku bingung, Mas. Tolong, katakan saja," desak Amara, suaranya sedikit bergetar.

Bima menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Raka ... Raka bukan hanya anak yang kita ambil dari Panti Asuhan, Amara, tapi dia anak kandungku."

Amara terpaku. Seluruh tubuhnya membeku mendengar kata-kata itu. "Apa maksudmu, Mas? Bagaimana mungkin Raka anak kamu? Kita yang menjemput Raka dari Panti Asuhan."

"Raka adalah anakku, Amara, aku benar-benar minta maaf," potong Bima dengan cepat. "Dia anakku dengan Maria."

"Maria?"

Nama itu langsung menghantam Amara seperti petir di siang bolong. Dia pernah mendengar nama itu dulu, di awal pernikahan mereka. Maria adalah mantan kekasih Bima sebelum mereka menikah, tetapi Amara berpikir wanita itu sudah lama lenyap dari hidup mereka.

"Apa maksudmu, bagaimana mungkin Raka anakmu dengan Maria? Jelaskan, Mas!" Suara Amara mulai meninggi, tidak mampu menahan gejolak emosi yang tiba-tiba muncul.

Bima menelan ludah, jelas tertekan. "Waktu itu, sebelum kita menikah aku dan Maria masih punya hubungan. Kami putus, tapi tidak lama setelah itu, aku tahu Maria hamil. Dia tidak memberitahuku langsung, dia pergi begitu saja. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Lalu, setelah kita menikah, Maria muncul kembali. Dia mengatakan bahwa dia melahirkan seorang anak, dan anak itu adalah anakku."

Amara merasa seperti dikhianati untuk kedua kalinya. Seluruh dunia di sekitarnya seolah runtuh. "Dan kamu tidak mengatakan apapun padaku?" tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Selama ini ... selama bertahun-tahun aku merawat Raka, mencintainya seperti anakku sendiri, dan kamu tidak pernah memberitahuku?"

"Amara, aku-aku takut kehilanganmu. Aku tahu aku seharusnya mengatakan ini dari awal, tapi aku tidak bisa. Kamu begitu mencintai Raka, dan aku juga tidak ingin kehilangan dia." Bima mengusap wajahnya dengan frustrasi, merasa bersalah. "Maria pergi setelah melahirkan, dia tidak mau mengurus Raka. Aku tidak punya pilihan lain selain membawa Raka ke sini dan membesarkannya bersama kamu."

Air mata mulai menggenang di mata Amara. "Jadi, semua ini kebohongan. Selama ini aku hidup dalam kebohongan, merawat anak dari wanita yang pernah menjadi kekasihmu."

"Amara, dengarkan aku," pinta Bima, suaranya penuh penyesalan. "Aku tidak bermaksud membuatmu merasa seperti ini. Aku juga mencintai Raka, sama sepertimu. Dia adalah bagian dari hidup kita, dan aku tidak ingin merusak semua yang kita punya."

Amara bangkit dari tempat duduknya, berjalan menjauh dari Bima. Kepalanya berputar, mencoba memahami kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya. Dia merasa marah, sedih, dan terkhianati dalam waktu bersamaan. "Aku tidak percaya kamu bisa menyembunyikan ini dariku selama bertahun-tahun. Bagaimana kamu bisa begitu kejam, Mas?!" teriak Amara dengan suara yang pecah.

Bima berdiri, mendekati Amara dengan hati-hati. "Aku tahu ini sulit untuk diterima, tapi percayalah, aku juga bingung. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengatakannya tanpa menghancurkan hatimu."

"Kamu sudah menghancurkanku!" jawab Amara dingin, air matanya mulai mengalir. "Kamu sudah menghancurkan kepercayaan yang aku punya padamu, Mas."

Bima menunduk, tidak sanggup menatap Amara. "Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Jika aku bisa memperbaiki semuanya, aku akan melakukannya."

Amara menggelengkan kepala, tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia mencintai Raka, anak yang sudah dia rawat dengan sepenuh hati, tapi kini dia tahu bahwa Raka anak haram suaminya. Anak itu adalah hasil dari hubungan Bima dengan wanita lain.

"Tidak ada yang bisa memperbaiki ini," kata Amara pelan. "Kamu membohongiku selama ini. Kamu membuatku hidup dalam kebohongan."

"Aku tahu, Amara. Tapi aku mohon, jangan biarkan ini menghancurkan kita. Jangan biarkan ini menghancurkan hubungan kita dengan Raka. Dia masih anak kita, meski secara biologis dia bukan anakmu." Bima mencoba meraih tangan Amara, tapi dia menarik diri.

"Anak kita?" Amara tertawa pahit. "Dia bukan anakku, Mas. Dia anakmu dengan Maria. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku bisa melanjutkan hidup setelah ini."

Amara berbalik dan berjalan menuju kamar. Tubuhnya terasa berat, dan kepalanya masih dipenuhi berbagai macam pikiran yang berputar-putar. Dia butuh waktu untuk sendiri, untuk mencerna semua ini. Di belakangnya, Bima hanya bisa berdiri diam, tak berdaya melihat istrinya yang terluka.

---

Amara berdiri di depan cermin di kamar, menatap bayangan dirinya yang terlihat begitu rapuh. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia harus meninggalkan semuanya? Bagaimana dengan Raka? Anak itu adalah segalanya bagi Amara, meski sekarang dia tahu bahwa Raka bukan darah dagingnya.

Air mata kembali mengalir di pipinya. Amara tidak tahu apakah dia bisa memaafkan Bima untuk kebohongan besar ini. Selama ini dia berpikir bahwa mereka adalah keluarga sempurna-dia, Bima, dan Raka. Namun sekarang, segalanya terasa hancur berantakan.

Pintu kamar terbuka perlahan, dan Bima masuk dengan langkah pelan. "Amara ..." dia memanggil dengan suara pelan.

Amara menoleh, menatap Bima dengan tatapan yang penuh luka. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, hmm? Apa masih ada kebohongan lain yang belum kamu ungkapkan?"

Bima mendekati Amara, suaranya penuh penyesalan. "Tidak ada lagi yang aku sembunyikan, Amara. Ini yang paling sulit. Aku hanya ingin kamu tahu, aku mencintaimu, dan aku mencintai Raka. Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua."

Amara terdiam, menatap Bima dengan perasaan campur aduk. Cinta, marah, sedih, semuanya berbaur menjadi satu. "Aku butuh waktu, Mas," katanya akhirnya. "Aku butuh waktu untuk berpikir. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang."

Bima mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku akan menunggumu. Apa pun keputusanmu, aku akan menerimanya."

Amara berbalik, kembali menatap cermin. Bayangan dirinya yang rapuh kini terasa lebih nyata dari sebelumnya. Di luar kamar, suara tawa Raka masih terdengar samar-samar, mengingatkannya pada kehidupan yang kini terasa begitu jauh.

Bersambung ...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh bacaanharianku

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku