Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Derita Anak Pertama

Derita Anak Pertama

Iprit_D

5.0
Komentar
136
Penayangan
9
Bab

Sebagai anak pertama, Nav harus merelakan masa mudanya untuk mencari penghasilan. Mengenyam pendidikan hanya sampai menengah pertama, membuat dia tidak leluasa memilih pekerjaan dengan gaji tinggi. Orang tua yang tidak memiliki kekayaan tentu membuatnya mau melakukan hal itu. Akan tetapi, semua tidan seperti yang Nav inginkan sebagai hasil. Kedua adik laki-lakinya sama sekali tidak tahu cara menghargai dirinya yang sudah berkorban banyak hal untuk mereka. Dengan seenaknya, sang adik malah ingin meminta hal yang lebih besar demi popularitas mereka di sekolah masing-masing. Dengan puncaknya, orang tua dari Nav memintanya memakai segala cara untuk mengabulkan permintaan adik-adiknya. Nav tentu menolak jika yang harus dia korbankan adalah harga dirinya. Namun, seperti sama sekali tak memiliki belas kasih, kedua orang tua itu justru menjebaknya. Nav tidak memiliki pilihan selain pergi. Tak peduli denga napa hidupnya setelah itu, dia merasa jika dirinya haruslah membebaskan diri. Bagaimana nasib Nav setelah pergi dari rumah yang sudah membuatnya hidup seperti di neraka itu?

Bab 1 Part 1. Seorang Kakak

"Nav, adikmu sudah waktunya membayar uang bulanannya. Nanti kau berikan padaku, ya?"

"Apa yang kemarin belum dibayarkan? Bukannya aku sudah memberikan uang bulanan sekolah mereka kemarin, Bu?" Tangan lentik itu berhenti kala mendengar suara ibunya. Tak disangka, uang yang baru diberikannya seolah hilang tanpa sebab dan meminta kembali, tentu dengan alasan yang sama.

"Bukankah kau tahu sendiri, Nav. Adikmu itu tidak hanya membayar uang bulanan sekolah, tapi juga kas. Uang yang kemarin kau berikan itu tentu untuk membayar kas saja."

Navier-wanita berusia dua puluh tahun yang harus menjadi alat pencari uang itu, menghela napas berat. Selalu seperti itu. Bagi Navier yang hanya lulusan menengah pertama, membiayai sekolah adik-adiknya tentu bukan perkara yang mudah. Tidak hanya satu, melainkan dua. Dan mereka bersekolah di salah satu sekolah swasta elit yang tentu biayanya tidak main-main.

Ayah dan ibunya masih lengkap, dengan kesehatan yang cukup untuk menghasilkan lebih banyak uang. Hanya saja, ibunya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga, dan sang ayah yang hanya seorang karyawan biasa tentu tidak bisa memenuhi semua hal dengan cukup.

Seperti saat ini, di mana Navier diminta untuk membayar uang bulanan adiknya. Padahal, beberapa hari yang lalu dia sudah memberikan sejumlah uang untuk membayar tagihan bulanan.

"Bu, aku sudah memberi mereka uang bulanan sekolah sekaligus iuran kas. Mana mungkin mereka menagih lagi?" tanya Navier. Jumlah untuk membayar uang kas dan bulanan tentu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan, gajinya saja sudah hampir habis dan waktu ke penerimaan gaji berikutnya masih lama.

"Jadi kau meragukan adik-adikmu?"

"Bukan begitu ...."

"Kalau kau tidak meragukannya, ya sudah! Beri saja apa yang mereka minta. Mungkin saja kau memberi mereka uang yang kurang untuk membayarnya, jadi mereka meminta lagi untuk menutupi kekurangannya."

Navier menghela napas dalam untuk meredakan emosinya. Selalu saja seperti ini, di mana sang ibu membela adik-adiknya, bukan malah mendengar penjelasan dari dua belah pihak. Navier pikir, sang ibu sudah tidak memiliki rasa keadilan untuknya.

"Tapi, Bu, uangku sudah ...."

"Ibu tak mau tahu, kau sudah harus memberikannya malam nanti!"

Sang ibu berlalu meninggalkannya tanpa mendengar alasan lebih jauh, dan tanpa memberinya kesempatan untuk menjawab, pula.

Navier berpikir, selalu saja seperti itu saat mereka meminta uang. Dengan alasan ayahnya yang tidak pernah memiliki gaji yang cukup, mereka seolah memeras keringatnya. Navier bukan tak tahu jika ayahnya sering pulang lebih pagi, sedangkan dirinya harus bekerja hingga menjelang dini hari. Namun, bukannya mereka merasa iba dan membantu Navier dengan mencari pekerjaan lain, mereka seperti semakin menyamankan diri.

Ibunya beralasan jika bekerja, anak-anaknya tidak akan memiliki cukup kasih sayang. Sedangkan ayahnya, mencari pekerjaan lain akan membuatnya cepat lelah. Alasan yang cukup masuk akal, tetapi tidak cukup kuat untuk masuk di logika gadis itu.

Sedangkan Navier, dia mengambil tiga jenis pekerjaan sekaligus di hari yang sama. Pagi hari dia harus mengantarkan susu dan koran, setelah itu, bekerja paruh waktu di salah satu toko swalayan dan ketika berganti waktu kerja, dia akan memulai kembali di sebuah cafe hingga larut malam. Bagitu seterusnya setiap hari, dan hanya memiliki satu hari waktu libur dalam sebulan. Namun, semua penghasilannya selalu berakhir di tangan adik-adiknya.

"Doakan aku sehat selalu ya, Bu," ucap Navier. Meski ibunya sudah tidak ada di depannya lagi, dia tetap mengatakan hal itu. Dipandanginya pintu rumah yang sudah bercat pudar itu dengan sendu. Merasa bahwa seolah dunia ini tak terlalu adil baginya hanya karena dia seorang wanita.

Kata ibunya, seorang wanita tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi. Cukup memiliki kemampuan membaca dan menghitung tingkat dasar saja sudah cukup. Itulah yang mendasari mengapa dia mengenyam pendidikan hanya sampai tingkat menengah. Sedangkan adik-adiknya, memiliki semua kesempatan dan dukungan penuh untuk bersekolah di sekolah swasta elit dengan biaya besar.

"Anak laki-laki perlu memiliki wawasan yang luas, pendidikan yang tinggi, dan lingkungan yang mumpuni untuk memiliki masa depan yang cerah."

Begitulah kata-kata ibunya saat Navier mengatakan keingin untuk melanjutkan pendidikannya. Bukan otak Navier tak mampu. Dia cukup memiliki kemampuan dan kecerdasan jika hanya untuk mencari beasiswa penuh di jenjang berikutnya. Hanya saja, lagi-lagi sang ibu menghalangi langkahnya untuk menjadi lebih baik.

"Kau sudah mau berangkat?"

Lamunan Navier membuyar, saat mendengar suara berat ayahnya. Pria yang memiliki bentuk bibir sama dengannya itu tersenyum manis. Hal yang Navier rasa cukup untuk membuatnya bertahan di tempat mengerikan yang dia sebut keluarga.

"Iya, Ayah. Tumben jam segini ayah sudah berangkat?" tanyanya. Biasanya, ayahnya hanya akan berangkat jika sudah mepet waktu masuk, dan jamnya tentu setelah keberangkatan Navier. Jadi, mereka berpasapan seperti ini adalah hal langka yang wajib Navier syukuri.

"Yah ... pimpinan yang baru lebih disiplin, jadi ayah harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat dan kena sanksi. Sayang sekali yah, kita berangkat di arah yang berlawanan. Kalau saja bearah, Ayah tentu tidak akan keberatan jika kita berangkat bersama," ucap ayahnya.

Navier tersenyum, lalu dia membalas, "Tentu aku ingin kita berangkat bersama, Yah. Mungkin kalau ada lowongan yang letaknya searah kantor Ayah, aku akan mengambilnya."

"Ah, ya sudah. Ayo kita berangkat sebelum terlambat," ajak sang ayah. Navier mengangguk. Dia mungkin tidak terlalu memikirkan hal buruk seperti terlambat, karena jarak yang tidak terlalu jauh, ditambah dengan waktu yang tidak mendesak. Tidak seperti ayahnya.

Akan tetapi, ucapan sang ayah berikutnya berhasil membuatnya perasaannya kacau.

"Kau usahakan memberi apa yang ibumu pinta tadi, ya. Kasihan adik-adikmu jika mereka harus dikucilkan karena terlambat membayar."

Navier kembali terdiam. Ingin sekali dia berteriak kalau hal itu adalah tanggung jawab ayahnya. Namun, semua hanya bisa dia telan kembali dan memberi anggukan sebagai jawabannya. Terkadang, Navier berpikir. Mengapa bukan ayahnya yang berusaha lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang lain? Kenapa harus dirinya yang bekerja lebih keras untuk memberikan jalan yang bagus untuk adik-adiknya?

Atau, kenapa ibunya tidak membantu mencari kerja sampingan juga seperti orang lain?

Navier bukannya merendahkan pilihan sang ibu untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Akan tetapi, tidakkah ibunya terlalu santai? Bahkan untuk membersihkan piring kotor, mencuci baju, dan mengepel lantai, harus Navier yang melakukannya. Dengan semua pekerjaan itu, Navier harus rela bangun lebih pagi dari siapa pun, dan tidur lebih lambat dari yang lain.

Navier ingin berkata jika dirinya tidak sanggup. Namun, dia mengurungkan niat itu karena bagaimanapun juga, dia masih hidup dengan baik dan mendapat makanan yang layak dari mereka.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Iprit_D

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku