Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
9.4K
Penayangan
100
Bab

2. Blurb: Terjebak di antara dua kakak-beradik kembar, membuat Farrin pusing. Dia menjalani hubungan dengan Avan, tetapi malah menikahi Vian—sang adik. Bukannya menyerah, Avan sebagai seorang kakak malah lebih gencar mendekati Farrin. Pria itu juga berencana untuk merebut istri dari adiknya itu, apa pun caranya. Kekeraskepalaan Farrin dan perlindungan dari Vain membuat Avan geram. Ternyata semua tidak sesuai dengan apa yang sudah Avan rencanakan. Namun, Avan tak kehilangan akal. Pria itu malah merencanakan hal licik untuk memisahkan hubungan adik dan mantan kekasihnya. Mampukah Avan merebut Kembali cintanya? Dan … siapa yang Farrin pilih untuk melabuhkan hatinya?

Bab 1 Perjodohan

“Lalu, maukah engkau, Farrin Asytar, menerima Avan Kiandra sebagai pasanganmu. Menerimanya dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya atau miskin, dan suka ataupun duka hingga ajal menjemput kalian?”

“Aku. Tidak. Bersedia.” Ujar mempelai wanita dengan tegas. Gadis yang memiliki darah keturunan ras Kaukasoid dari ayahnya itu menatap nyalang mempelai pria yang ada di hadapannya. Berharap seolah pandangan bisa membunuh, dan ia bisa membunuh pria di hadapannya dalam sekali tatap.

Sungguh! Ia ingin muntah rasanya, begitu melihat wajah memuakkan yang sayangnya sangat mirip dengan orang yang menemaninya selama dua bulan ini. Andai saja di sini tidak banyak orang, ia ingin menyiram wajah arogan itu dengan segelas jus atau seember air bekas pel sekalian.

"Pengantin priaku bukan dia. Dia hanya pengganti saja," Gadis itu menjeda, "mempelai priaku ada di sana," imbuhnya sambil menunjuk di mana ada seorang yang memiliki wajah mirip dengan pria yang ada di hadapannya ini tengah duduk manis. sontak, semua orang yang hadir di sana berguman karena kaget.

Dua bulan sebelumnya ....

Denting jam besar yang berada di tembok ruang keluarga itu terasa begitu nyaring saat beberapa pasang mata di sana enggan mengeluarkan suaranya. Mereka, bahkan untuk bernafas saja terasa begitu menyesakkan saat seorang yang baru saja meninggakan ruang itu kini tak tertampakkan lagi eksistensinya oleh mereka. Tak ada yang bisa mencegahnya, bahkan sang kepala keluarga sendiri yang biasanya memiliki suara paling berhak untuk didengar kini sama sekali tak bisa mengeluarkan tenaganya bahkan untuk menghentikan langkah putrinya.

“Zilla, ku pikir kau akan bermaksud meminang Farrin untuk putra sulungmu,” ujar wanita berambut merah sepanjang panggul itu kepada wanita berambut dark blue yang berada di hadapannya.

“Memang, aku memang bermaksud demikian. Tapi ini adalah ide putra sulungku itu. Putraku yang satu itu yang mengusulkan untuk melakukan hal ini,” jawabnya.

“Tapi yang ku tahu, Farrin itu keras kepalanya melebihi ayahnya ....”

Yang merasa disebut menolehkan kepala yang berhias surai pirangnya dan meliriknya dengan tatapan yang bisa di sebut tajam.

“Maaf, Darius. Tapi itu adalah kenyataannya,” imbuh wanita berambut merah.

Lelaki berambut pirang bernama Darius itu hanya bisa terdiam. Memang benar ucapan wanita berambut merah yang berstatus istrinya itu bahwa ia keras kepala. Namun, apakah hal itu layak untuk dikatakan secara gamblang di keadaan mencekam seperti ini?

“Anu, boleh saya menyusul Farrin? Sepertinya dia tertekan. Jadi saya berusaha untuk menghiburnya. Meski tidak bisa mengembalikannya seperti semula, saya harap dia nanti bisa lebih mengurangi kesedihannya.” Suara dari satu-satunya pemuda di ruang itu membuat tiga pasang mata lainnya menoleh ke arahnya secara bersamaan. Ketegangan yang mereka alami beberapa saat yang lalu seolah membuat mereka melupakan eksistensi satu pemuda itu.

“Silahkan! Aku mengijinkanmu menemuinya di kamarnya,” ucap Darius. Ia mengizinkan pemuda itu bukan tanpa pertimbangan. Melihat istri dan sahabatnya yang seolah memiliki pembahasan lebih lanjut, ia memilih untuk mengiyakan permintaan pemuda yang sudah ia kenal dengan baik. Ia yakin, pemuda itu tak akan melakukan hal di luar batas kepada putri keduanya.

“Tapi Margaret!”

“Nazilla, biarkan saja! Aku yakin Vian bisa menjalankan perannya dengan baik.” Perempuan yang berambut merah panjang yang di panggil Margaret itu memberikan senyum lembutnya pada perempuan berambut dark blue tadi, bermaksud mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Meski pada kenyataannya tak akan ada yang baik-baik saja seperti sebelumnya.

“Lalu bagaimana setelah ini? Sejujurnya aku sedikit khawatir akan mereka. Tapi hal ini adalah permintaan Avan sendiri. Ia yang mengajukan ide ini dan berkata bahwa ia ingin melihat kesetiaan Farrin. Jadi aku menyetujuinya saja tanpa berpikir lebih banyak. Kau tahu kan, Garet? Semenjak suamiku meninggal, Avan telah mengambil banyak tanggung jawab dalam perusahaan serta menjadi dewasa lebih cepat dari yang seharusnya. Untuk itulah aku terkadang merasa kasihan padanya. Atas yang ku lihat selama ini, sebagai kakak ia telah menjadi lebih dari yang kuharapkan padanya. Aku juga senang tentang hubungannya dengan putrimu. Tapi, satu hal yang sama sekali belum ku mengerti di sini adalah keputusannya tentang ini,” jelas Nazilla.

Di usianya yang tak lagi muda itu, Nazilla merasa lelah jika dihadapkan pada tingkah putra sulungnya yang terkadang tak bisa ia mengerti. Andai, putra sulungnya itu tak mengambil tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan baik, ia pasti akan mengurungnya di kamar dan menceramahinya habis-habisan.

Sayang, ia tak memiliki waktu yang banyak untuk itu karena putra sulungnya itu terburu-buru mengejar jam terbang pesawat yang akan membawanya melintasi benua lain.

“Bisakah kita menyerahkan segala keputusan ini pada mereka? Kau tahu, aku sudah merasa bersalah dengan menyetujui perjodohan ini begitu saja. Aku tak mau membuat diriku lebih menyesal dari ini dengan ikut campur lebih jauh lagi,” ujar yang kini menjadi satu-satunya pria di ruang itu. Semuanya menunduk, ia tahu jika hal ini terdengar kejam.

Bagaimana tidak? Anak-anak mereka memang menjalin hubungan sebelumnya dan kedua keluarga ini ingin memberi kejelasan akan status yang mereka miliki. Waktu tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk masing-masing dari mereka mengenal satu sama lainnya. Akan tetapi, yang tidak bisa mereka terima dalam pikiran mereka adalah, bagaimana bisa seseorang yang menjalin kasih lebih memilih menyibukkan diri dalam pekerjaan, dan mengalihkan tanggung jawab bertunangan pada adiknya?

Yah, tidak ada yang benar-benar bisa memahami atas isi hati seseorang. Bahkan entah seberapa dekat kau dengannya.

Bahkan, tanpa pengecualian untuk Avan.

Putra yang Nazilla pandang memiliki pandangan yang lebih mapan dan dewasa dari adiknya, Avian. tidak menyangka jika Avan bisa sebegini kekanakan. Nazilla memang mengetahui jika putra sulungnya memiliki suatu sikap yang terkadang melenceng dari pemikiran orang kebanyakan. Namun, ia tak manyangka jika ide ini terlintas di benak anaknya itu.

Avan meminta ibunya untuk meminangkan kekasihnya. Tetapi, bukan untuk dirinya melainkan untuk adik kembarnya dan berdalih jika ia ingin menguji tentang kesetiaan kekasihnya. Hanya dua bulan, itu yang dirinya katakan. Lalu selama waktu itu ia akan mengurus perusahaan mereka yang memiliki cabang di Paris dan kembali saat hari pernikahan.

Ya! Avan berencana langsung menikahi kekasihnya begitu ia pulang dan merancang scenario ini. Ia yakin, dengan sangat yakin malah. Bahwa saat ia datang, kekasihnya itu akan merasa senang saat melihat ia menunggu di altar, bukan sang adik yang kini ditunangkan dengannya.

Dia benar-benar yakin dengan keputusannya tanpa memikirkan resiko bahkan yang paling kecil dan menyakitkan sekalipun. Mengingat bahwa selama ini kekasihnya itu teramat setia untuknya. Sekali pun Avan tidak meragu untuk hal itu. Bukan apa, ia sudah seringkali menguji kesetiaan kekasihnya dan ia berjanji jika ini adalah yang terakhir untuknya melakukan hal itu.

Sekali lagi dia lupa akan satu hal yang paling umum, bahwa akan ada saatnya seseorang memiliki titik lelah dan menyerah.

“Aku tak akan meminta izin untuk di perbolehkan masuk olehmu atau tidak. Aku juga akan menunggu, jika dalam waktu lima menit kau tak membukakan pintu untukku, aku akan masuk. Aku sudah mendapat kunci duplikat kamarmu,” ujar Vian. Ia tahu jika dirinya kini tengah was-was karena takut ketahuan berbohong atas ucapannya.

Jujur saja, kini Vian tengah mencoba peruntungan. Ia berbohong jika kini ia tengah memegang kunci duplikat pintu kamar yang ada di hadapannya, yang nyatanya tak ia pegang sama sekali. Selain itu, ia juga memikirkan tentang celah kecil dari ancamannya. Ia tahu jika kunci tidak akan berfungsi dari luar jika dari dalam masih ada kunci yang menggantung di dalam.

Namun, jika memikirkan kondisi Farrin yang kacau tadi ia berharap jika Farrin lengah dan menanggapi ucapannya tanpa berpikir. Ia memang tak mengenal Farrin secara dekat dan tak lebih dekat dari Avan, kakaknya itu. Akan tetapi, waktu empat tahun juga bukan waktu yang sebentar untuk tahu beberapa hal tentang gadis berambut pirang panjang tersebut.

Cklek!

Vian banyak berucap syukur dalam hatinya karena Farrin masih mau untuk membukakan pintu untuknya. Setidaknya, ia harus berbicara beberapa patah kata agar suasana hatinya membaik. Ia tahu, ia menyayangkan sikap kakaknya yang dengan seenaknya mengambil keputusan begitu saja tanpa meminta pendapat ia atau ibunya. Namun, untuk ikut campur terlalu dalam dan membuat Farrin semakin terpuruk, tentu hal itu bukan hal yang bagus sama sekali. Jadi, ia memilih untuk sedikit menghibur suasana hati wanita itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Iprit_D

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku