Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Anak Tersisih
5.0
Komentar
2.2K
Penayangan
27
Bab

Sarinah, gadis berusia sepuluh tahun yang mendapat perlakuan tak adil dari kedua orangtuanya memilih kabur dari rumah. Namun, siapa yang menyangka, di saat pelariannya ia tertabrak sebuah mobil hingga mengantarkannya ke kehidupan baru. Sejak ia setuju untuk dijadikan anak angkat oleh orang yang menabraknya, maka di saat itu pula namanya berubah menjadi Rully. Tak hanya sampai di sana, Sarinah yang tadinya tidak pernah menyentuh pelajaran mulai disekolahkan hingga bisa mengantarkan dirinya menjadi seorang dokter. Drama besar terjadi di saat seorang lelaki datang melamarnya, tetapi tidak tahu identitas asli Rully yang nyatanya anak dari orang yang miskin. Akankah Rully tetap menyembunyikan identitas aslinya demi menikahi pria tersebut?

Bab 1 Tradisi yang Tak Adil

"Anak laki-laki gak boleh pegang sapu, biarkan saja kakak perempuanmu yang mengerjakannya!" Aku menghela napas kala ibu kembali mengatakan hal itu pada Dino, adikku. Sesak, ya itu yang kurasakan karena pekerjaan rumah ini mesti aku yang menyelesaikannya. Dino yang hendak membantu selalu saja dilarang oleh ibu.

"Anak laki-laki gak boleh di dapur, ini bukan tempatmu! Pergi nonton tv saja, gih!" Ibu merebut bawang yang di tangan Dino, lalu meletakkannya ke dalam wadah yang ada di hadapanku.

Entah apa yang ada di pikiran ibu, mengapa Dino yang sudah berusia tujuh tahun selalu dilarang membantu pekerjaan rumah, sementara aku dari usia lima tahun sudah diperintahkan untuk menyapu dan mencuci piring. Aku merasa ibu sangat pilih kasih!

"Din, bekas makannya taruh saja di wastafel, biar kakakmu saja yang mencucinya! Pantang bagi seorang lelaki memegang pekerjaan wanita." Aku terdiam, tak tahu kata apa yang harus aku ungkapkan pada ibu. Mengapa harus selalu aku yang mengerjakannya? Tidakkah ibu tahu jika aku pun lelah dalam membantunya? Usiaku masih sepuluh tahun, tapi pekerjaan ibu hampir semua aku yang mengerjakannya.

Seusai sarapan, ayah dan ibu pergi ke pasar untuk berjualan. Sementara Dino pergi ke sekolah bersama teman-temannya, dan aku? Ya, tinggal di rumah karena harus mengemasi semuanya hingga rapi, selepas itu aku harus menyusul ayah dan ibu ke pasar. Aku tidak diperkenankan untuk sekolah, sebab kepahaman mereka semua itu percuma karena ujung-ujungnya wanita akan ke dapur dan sumur juga.

Aku tak dapat membantah, karena aku tahu jika sekolah itu membutuhkan biaya, dan aku tak mau menambah beban pengeluaran ayah dan ibu.

"Jadi perempuan itu harus serba bisa, jangan cuma bisa kerja di rumah aja, tapi harus bisa kerja di luar rumah juga cari duit!" Kata-kata ibu selalu saja terngiang-ngiang di telinga, benar-benar mengganggu dan membuat hatiku kian teriris.

Jika anak-anak seusiaku di luar sana sedang asyik bermain dan menikmati masa kecilnya, maka berbeda denganku di sini yang harus bertengkus lumus mencari uang. Terkadang aku menangis, iri terhadap gadis kecil lainnya yang bisa bersekolah dengan riangnya. Akan tetapi, aku sadar jika buliran bening yang mengalir ini tak akan berarti apa-apa di mata kedua orangtuaku. Yang mereka tahu dan pahami adalah, anak lelaki di atas segala-galanya.

"Kerjaan rumah sudah selesai?" tanya ibu dengan tangan yang sibuk menata barang di keranjang.

"Sudah, Bu."

"Cucian sudah dijemur?" Aku mengangguk. Entah mengapa perasaanku seperti mengatakan jika ibu tak percaya.

"Kamu pergi ke sekolah Dino, jual buah ini di dekat pintu masuknya."

Aku kembali terdiam, baru sampai beberapa menit yang lalu sudah harus berjualan ke sekolah adikku yang berjarak satu kilometer. Apakah ibu tidak memedulikan kelelahanku?

"Eh, ini anak malah bengong. Cepat pergi sana!" Ibu mendesakku seraya menaikan tempah berisi buah semangka dan nangka yang siap makan. Mungkin ini sudah menjadi takdirku, terlahir di keluarga menengah ke bawah dengan pemikiran yang sangat kolot.

Dengan hati yang tak bersemangat akhirnya aku melangkahkan kaki yang terasa berat. Sedih, kecewa, plus malu bercampur aduk di dalam benakku.

Tampah yang berisi buah sukses membuat kepala dan tanganku pegal. Ini kali pertama aku disuruh ibu untuk berjualan di sekolah, sebab sebelum-sebelumnya aku hanya diperintahkan membantu di pasar saja. Aku berhenti sejenak, menurunkan buah dan duduk di pinggir trotoar. Baru beberapa menit aku beristirahat, tiba-tiba saja orang-orang berlarian karena dikejar oleh orang-orang yang berseragam. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa melihat dengan kebingungan, para petugas itu mendekatiku dan memaksa agar aku ikut dengan mereka.

"Lepaskan, Pak. Saya salah apa? Kenapa saya ditangkap?"

"Kesalahan Adik ya karena berjualan di tempat yang tidak sesuai!"

"Lepaskan saya, Pak. Saya mau jualan ke sekolah adik saya," rengekku pada aparat yang berbadan tegap itu, tetapi mereka abai dan tetap memaksaku naik ke mobil bak terbuka yang sudah terdapat beberapa orang di dalamnya.

*****

Ayah dan ibu datang menjemputku, kegeraman jelas tergambar di wajah mereka. Aku sudah hafal, seusai dari sini aku pasti akan diberi perhitungan.

Ibu menyeretku ke luar dari kantor polisi, sementara bapak memasang wajah yang amat dingin, tetapi cukup menyeramkan.

"Dasar anak bodoh! Disuruh jualan ke sekolah aja bisa sampai terjaring razia. Harusnya kamu bilang sama mereka, kalau kamu cuma istirahat di trotoar."

"Aku udah jelasin, Bu. Mereka yang gak percaya sama omongan aku!"

Plakk!

Sebuah tamparan mendarat di pipiku, entah apa yang ada di pikiran ibu sehingga tega melayangkan telapak tangannya pada wajahku. Ia mendelik tajam, sedetik kemudian berlalu dengan kemarahan yang masih menguasainya.

Hatiku perih, bahkan terlampau pedih. Bukan satu atau dua tahun aku diperlakukan seperti ini, tetapi sudah lama, sejak aku berusia lima tahun. Aku merasa mereka bukanlah orangtua kandungku, terbukti dengan sikap mereka yang pilih kasih. Oleh sebab itu, aku putuskan akan meninggalkan rumah ini di saat ayah dan ibu kembali ke pasar.

Aku menyingkap tirai jendela, terlihat ayah dan ibu yang baru saja pergi menggunakan motor guna kembali ke tempat mencari nafkah. Aku tak membuang kesempatan, berlari ke lemari dan mengambil beberapa helai baju lalu memasukkannya ke dalam kresek. Keluar melalui pintu belakang dan berlari ke kebun yang menghubungkan jalan seberang desa.

Matahari kian menyengat, aku tak peduli dengan bajuku yang telah basah oleh peluh. Di pikiranku hanya satu, dapat pergi dari rumah yang selama ini menjadi tempat nestapaku.

Tak tahu berapa lama aku berlari, akhirnya aku telah sampai di jalan seberang desa. Aku bergegas menaiki angkutan pedesaan yang kebetulan sedang berhenti karena menurunkan penumpang. Aku bernapas lega karena tak ada satu orangpun yang memergoki aku kabur, kini tujuanku adalah panti asuhan di kota. Lebih baik hidup bersama orang lain yang tak bersikap kasar, daripada harus tinggal bersama orangtua kandung yang selalu pilih kasih.

"Mau ke mana, Neng?" tanya pak supir kala semua penumpangnya sudah turun.

"Ke panti asuhan di kota, Pak."

"Oh, maaf, Neng. Bapak gak sampai sana rutenya, jadi Neng turun di perbatasan antara desa dan kota saja, ya?"

Aku tak punya banyak pilihan selain mengiyakan kata pak sopir, ya mungkin karena penumpangnya hanya aku, jadi beliau berat untuk mengemudi sampai ke kota. Angkutan pun berhenti, aku mengulurkan selembar uang berwarna kuning sebagai ongkos. Pak sopir menerima dan berlalu begitu saja.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling jalan, terlihat ada tukang ojek yang sedang mangkal di seberang sana. Aku merogoh saku, tersisa uang di tangan hanya ada sepuluh ribu, aku rasa ini akan cukup untuk ongkos sampai ke panti asuhan yang kumaksud.

Aku melihat kiri dan kanan, memastikan tak ada kendaraan ketika hendak menyeberang. Namun, baru saja kaki ini mendekat ke aspal tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang hingga membuatku terempas ke tanah. Kepalaku sakit, dan ... pandanganku pun gelap seketika.

To be continued

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku