/0/20257/coverorgin.jpg?v=d895fe5a67d001708f299466b8794622&imageMogr2/format/webp)
Sonia duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya mengetuk-ngetuk perlahan di sisi kasur. Suara hujan yang berjatuhan di luar jendela apartemen terdengar monoton, seakan menjadi pengingat bahwa dunia tak pernah berhenti, bahkan saat dirinya tengah terperangkap dalam hening yang tak berujung. Di balik mata yang lelah, tampak refleksi wajahnya di cermin kecil yang diletakkan di meja rias. Wajah itu, penuh dengan guratan letih dan senyum yang hanya muncul di permukaan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.
Sonia menarik napas panjang. Ia bisa merasakan berat yang mengalir di dadanya, seperti ada batu besar yang tidak bisa ia lepas. Begitu banyak hal yang harus ia tanggung, dan hanya satu yang selalu membuatnya bangkit setiap hari: anak-anaknya, Alif dan Hana. Mereka adalah alasan mengapa ia harus bangun pagi dan melawan rasa sakit yang kadang hampir tak tertahankan. Alif, dengan mata bulat dan tawa yang mengalir seperti air, adalah bagian kecil dari kenangan yang membuatnya terus maju. Hana, di usia delapan tahun, lebih mirip seperti dirinya, memendam perasaan dalam-dalam, menjaga rahasia di balik senyumnya.
"Ayah sudah lama pergi, kan, Ibu?" suara Hana yang lembut dari balik pintu membuat Sonia menoleh. Ia belum mendengar anaknya mendekat, tapi ketenangan dalam suara Hana membuat hatinya teriris. Anak kecil itu tahu lebih banyak dari yang Sonia kira. Kadang, ia berpikir, anak-anak memiliki intuisi yang lebih tajam dibanding orang dewasa.
Sonia berdehem, menghapus air mata yang hampir menetes. "Iya, sayang. Tapi kita masih punya satu sama lain, kan?" jawabnya dengan suara yang berusaha terdengar ceria.
"Benar, Ibu. Tapi Ibu nggak usah takut, kan? Kita nggak sendirian. Ada Ibu, aku, dan Alif. Kita bisa jadi tim yang kuat," kata Hana, suaranya penuh keyakinan.
Sonia mengangguk, meskipun hatinya tahu, kekuatan yang dimilikinya hanyalah seteguh tembok yang rapuh. Di luar, hujan semakin deras, membasahi dunia yang terasa sepi. Tapi di dalam apartemen itu, suara gelak tawa Alif yang terbangun tiba-tiba mengisi ruang kosong yang mencekam.
Sonia membuka pintu kamar dan melihat Alif, dengan mata masih mengantuk, berdiri di samping tempat tidurnya. Di tangannya, ia memegang boneka beruang cokelat yang sudah kehilangan beberapa jahitan di bagian telinga.
"Selamat pagi, Ibu," ucap Alif dengan suara parau. Sonia merasakan campuran rasa sakit dan cinta yang menderu di dadanya. Meskipun ia ingin memberikan segalanya kepada anak-anaknya, kenyataannya, ia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Hari-hari berlalu seperti lautan yang tak henti-hentinya bergulung, dan Sonia hanya bisa mencoba tetap bertahan di atas ombak.
"Selamat pagi, sayang. Ibu baru saja bangun," Sonia membungkuk dan mengangkat Alif ke pelukannya, memeluk anak kecil itu dengan hangat, seakan ingin menyerap semua rasa nyaman yang diberikan Alif.
Hana yang mendengar kekacauan kecil itu mendekat, menghampiri mereka. Ia menatap Alif yang sekarang di pelukan Sonia, lalu melirik Ibu mereka. Ada kehangatan di mata Hana, tapi juga kelelahan yang tak bisa ia sembunyikan. Sonia tahu bahwa putrinya yang cerdas itu mengerti lebih banyak tentang kesedihan yang menyelimuti rumah mereka dibanding yang Sonia kira.
"Aku sudah siap, Ibu. Aku sudah sarapan," Hana berkata, suaranya penuh perhatian.
Sonia tersenyum, meski senyumnya hanya sebentar. "Kita akan pergi ke sekolah dalam beberapa menit, oke?" Ia menatap kedua anaknya, merasa beruntung masih memiliki mereka di tengah kekacauan yang melanda hidupnya. Jika mereka bisa tersenyum dan bertahan, maka ia pun harus bisa.
Di perjalanan menuju sekolah, Sonia memandangi pemandangan kota yang tampak suram dengan langit yang masih menggelap oleh awan. Mobil-mobil berlalu-lalang, sementara orang-orang berlalu di jalanan, masing-masing dengan cerita mereka sendiri. Begitu banyak wajah yang terlihat biasa saja, namun siapa yang tahu cerita apa yang mereka simpan di balik senyum atau langkah mereka?
/0/21571/coverorgin.jpg?v=cba1e5ef1cfc84bae149fdb0540b3382&imageMogr2/format/webp)
/0/6428/coverorgin.jpg?v=0f83a95c61c20d11ae83d91c8a9d1c76&imageMogr2/format/webp)
/0/2522/coverorgin.jpg?v=c57f067db9703ace32e4ff367652c29f&imageMogr2/format/webp)
/0/16399/coverorgin.jpg?v=1e15c1b5d5554d21af64e257ce86aabf&imageMogr2/format/webp)
/0/10030/coverorgin.jpg?v=7d626d4bacf243fa4bda6ef6525fd8a2&imageMogr2/format/webp)
/0/7030/coverorgin.jpg?v=66ef500fba68df5246c38220ee708a7f&imageMogr2/format/webp)
/0/2795/coverorgin.jpg?v=043d4b1da96165844a701a244b3febde&imageMogr2/format/webp)
/0/2640/coverorgin.jpg?v=cd404ed8e307d022c965a36eb2d49305&imageMogr2/format/webp)
/0/7314/coverorgin.jpg?v=a1082c86ea6699e6432ece45218c8f91&imageMogr2/format/webp)
/0/13412/coverorgin.jpg?v=90793e6ae660efccbae06b0a3b59ddb4&imageMogr2/format/webp)
/0/5184/coverorgin.jpg?v=72b988390c55a957b5306f33b865e4e6&imageMogr2/format/webp)
/0/10516/coverorgin.jpg?v=01aff05d00205982dc45aa23981f69dc&imageMogr2/format/webp)
/0/4847/coverorgin.jpg?v=dd3116c0aa640dfd499afed5dd0fb31a&imageMogr2/format/webp)
/0/13744/coverorgin.jpg?v=9b98406bedb7a8807ec09c446dfbd917&imageMogr2/format/webp)
/0/13960/coverorgin.jpg?v=993c2468b64bb5debbf8651bdb4dc393&imageMogr2/format/webp)
/0/27564/coverorgin.jpg?v=3752b09432dc83c7a1b46451d40c4bbd&imageMogr2/format/webp)
/0/6012/coverorgin.jpg?v=e8445efdfadb5c6fc6d5e4b709a055d0&imageMogr2/format/webp)