New duda

New duda

Ade Tiwi

3.5
Komentar
12.6K
Penayangan
49
Bab

Galuh tidak menyangka jika pada akhirnya akan menjadi duda. Di hianati satu dan dua kali oleh mantan istrinya ia maafkan, namun kata maaf tertutup rapat kala sang mantan istrinya kembali berselingkuh untuk yang ketiga kalinya. Trauma pada pernikahan, akankah nantinya Galuh bisa menemukan cinta yang baru?

Bab 1 Berkunjung ke rumah bibi Mutia

Bibi Mutia menyambut kedatanganku dengan penuh ceria dan hangat. Ia memeluk tubuhku dengan penuh sayang, bahkan wajahku tak luput dari kecupan-kecupan manisnya.

"Kangen," rengek ku pada bibi Mutia yang masih terus memelukku bahkan kini semakin erat.

"Sama. Bibi juga kangen banget sama kamu, ndok."

"Boong!" godaku.

"Serius ndok, Bibi, Paman dan Usron kangen banget sama kamu."

"Hmm, iya deh, aku percaya." ku lepaskan pelukan Bibi. "Aku gak disuruh masuk nih?" rajuk ku memasang wajah cemberut, pura-pura merajuk.

Aku langsung terkekeh begitu melihat bibi menepuk jidatnya sendiri. "Oalah! Lupa bibi. Ayo masuk ndok." ajaknya yang ku angguki.

Aku pun dengan semangat masuk ke dalam rumahnya sembari menggeret koperku.

"Paman dan Usron sudah berangkat kerja, Bi?" tanyaku setelah menaruh koper di kamar tamu.

Karena aku datang berkunjung ke rumah bibi, otomatis aku adalah tamu.

"Ya udahlah ndok, udah jam segini juga. Telat dikit yang ada langsung dipecat bos." kata bibi tersenyum.

"Apa bos barunya galak, Bi?" tanyaku entah kenapa malah kepo dengan bos pabrik tempat paman dan sepupuku bekerja. Kenapa aku tahu bosnya baru? Karena aku pernah mendengar Usron mengeluh mengenai bos barunya.

Kalau tidak salah, bos barunya ini adalah anak dari bos lama mereka. Ya istilahnya, bos baru ini menggantikan posisi orang tuanya.

"Enggak sih, cumanya semenjak sebulan terakhir ini resmi menjadi duda. Pak Galuh jadi sedikit lebih dingin dan kejam gitu."

"Pak Galuh?" ulang ku.

"Iya, nama bosnya Paman dan Usron yang sekarang itu Pak Galuh?" aku manggut-manggut mengerti. Oh, jadi namanya Galuh.

Dan, apa kata Bibi tadi? Pak Galuh baru sebulan resmi menjadi duda? Wow!

"Hmm, aku jadi penasaran sama rupanya Pak Galuh." gumamku pelan.

"Kamu bilang apa tadi ndok?" tanya Bibi yang rupanya samar-samar mendengar ucapanku.

Aku nyengir, "gak ada kok Bi. Aku gak bilang apa-apa."

"Masa sih? Kok tadi Bibi denger kamu kayak ngeremeng-ngeremeng gitu."

"Enggak kok Bi, enggak ada." elak ku berbohong.

Bibi Mutia lantas menyuruhku untuk mandi, lalu makan dan setelahnya untuk langsung beristirahat. Duh, aku merasa terharu melihat perhatian bibi yang sangat mengerti sekali jika aku memang capek.

Maklumlah, perjalanan naik bus dari kota tempatku tinggal kemari lumayan jauh. Sekitar lima jam lah kurang lebih.

Kenapa aku tidak naik pesawat? Sedikit info kalau aku takut naik pesawat. Hehe!

Sebagai keponakan yang baik aku pun mengangguk menuruti perintah bibi. Aku pun segera bergegas menuju kamar dan mandi, setelah selesai berpakaian aku pun segera makan sambil menonton televisi.

Film kartun adalah tontonan favoritku, sayangnya konsentrasi menonton ku terganggu saat ku dengar dering ponsel ku berbunyi.

"Ya, hallo Ma?" sapaku pada mama seberang telepon.

"........"

"Iya, sudah Ma."

"........."

"Hehe, lupa Ma. Ya ampun maafin aku," sahutku nyengir. Sungguh, aku beneran lupa menghubungi mama ketika sudah sampai di rumah bibi. Padahal kan aku sudah berjanji saat akan mau berangkat tadi.

"........"

"Ini lagi makan, Ma. Sambil nonton televisi," sahutku.

"........."

"Bibi lagi ... di dapur kayaknya Ma. Kenapa? Mama mau ngomong sama Bibi?"

"........"

"Hmm, oke Ma. Nanti bakal aku sampaikan ke Bibi. Dah Mama, mmmuuaacchh." aku mengecup ponselku seakan-akan tengah mengecup mama secara langsung.

Sambungan telepon berakhir dan aku pun kembali fokus makan sembari nonton televisi.

Setelah selesai makan aku pun langsung mencuci piring kotor bekas makan ku tadi. Lalu kembali menonton televisi lagi sampai aku pun merasa ngantuk dan menguap beberapa kali.

Aku pun memutuskan untuk tidur, dan baru terbangun saat hari menjelang sore. Gelagapan aku segera bergegas bangun dan keluar dari kamar.

"Hei sayang, gimana tidur kamu? Nyenyak ndok?" aku mengangguk dan tersenyum malu.

Malu karena bisa-bisanya aku tertidur cukup lama. Ya ampun!

"Maaf ya Bi, aku tidurnya nyenyak banget."

"Iya gak apa-apa sayang, Bibi maklum kok. Namanya juga capek," bibi menepuk lembut pipiku.

"Seharusnya Bibi bangunin aja aku," rengek ku pura-pura cemberut.

"Uluh-uluh, lebay banget kamu." kali ini bibi menoel hidung mancungku.

"Udah sana mandi," titah bibi yang langsung ku angguki.

"Siap, bos!"

Ting tong....

"Biar aku saja yang buka, Bi." kataku yang segera bergegas membuka pintu.

Tapi, sebelum itu aku mengintip dulu siapa orang yang datang dari jendela. Bibirku tersenyum senang kala melihat paman dan Usron.

"Surprise!" ucapku riang seraya membuka pintu. Paman dan sepupuku tampak terkejut dengan kejutan ku ini.

"Stecy!" seruan keduanya kompak. "Kapan sampai?" lagi, keduanya bahkan kompak bertanya.

Aku terkikik geli mendengarnya, "tadi pagi." sahutku.

"Ya ampun! Kangen banget gue sama lu, tau gak!" kata Usron seraya menghambur memelukku.

"Lebay, ih!" cibirku bermaksud menggoda Usron.

"Dih, biarin! Orang kangen juga sama sepupu sendiri. Emang salah?" aku menggeleng.

"Wah, gila! Gue juga kangen sama lo."

"Ehemm," ku dengar paman berdeham. Usron pun melepaskan pelukannya.

"Eci, sama paman gak kangen?" goda paman memasang wajah ngambek.

"Astaga! Ya ampun, Eci juga kangen sama Paman. Sini-sini peluk," aku pun menghamburkan memeluk tubuh paman yang ternyata jauh lebih acem baunya dari Usron.

"Hmm, mulai deh drama kangen-kangenannya." cibir Usron mendengus kesal.

"Biarin!" aku dan paman kompak menjulurkan lidah pada Usron yang cemberut.

***

Saat hari libur tiba, Usron mengajakku untuk lari pagi. Duh, aku paling males banget.

Namun, tidak ada kata malas bila berhubungan dengan Usron yang super duper rajin ini bila mengenai olahraga.

Pagi-pagi sekali bahkan dia sudah merecoki ku untuk segera bangun. Huffhh!

"Duh, Usron! Lo kalo mau lari pagi ya udah sana sendirian aja. Ngapain ngajak-ngajak gue sih?" protes ku kesal dengan mata setengah mengantuk.

"Ya biar lo sehat lah."

"Hmm, jadi maksud lo, gue kayak orang sakit gitu?" omel ku sembari menguap.

Dan saat aku hendak membaringkan tubuhku kembali ke ranjang, si menyebalkan Usron justru menahan ku.

"Ayo, bangun!" katanya seraya menarik tubuhku untuk segera bangun dan membawaku ke dalam kamar mandi. Dan....

Byurrr!

Langsung saja air dingin yang ada di dalam bak mandi mengguyur tubuhku. "Arghhh, Usron!" jeritku kaget dan merasa kedinginan. Urson tertawa dan kembali mengguyur tubuhku dengan air.

"Mau lagi atau kita jadi lari pagi?" tanyanya seakan menawar pilihan padaku. Sial!

"Gak ada yang gue pilih!" sahutku ketus.

"Oh, lo mau diguyur lagi-"

"Eh, enggak-enggak." sela ku memotong ucapan Usron.

"Hmm, enggak apa?"

"Iya gue mau lari pagi."

"Beneran?"

"Iyeee. Tapi gue mandi dulu."

"Oke!" Usron mengacungkan satu jempolnya dan setelahnya berlalu pergi dari kamarku.

"Arghh! Usron sialan!" umpat ku kesal.

Ah, sudahlah. Kepalang basah, baju ku juga udah basah gara-gara Usron. Cuss! Langsung mandi.

***

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Ade Tiwi

Selebihnya

Buku serupa

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Gavin
5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Membalas Penkhianatan Istriku

Membalas Penkhianatan Istriku

Juliana
5.0

"Ada apa?" tanya Thalib. "Sepertinya suamiku tahu kita selingkuh," jawab Jannah yang saat itu sudah berada di guyuran shower. "Ya bagus dong." "Bagus bagaimana? Dia tahu kita selingkuh!" "Artinya dia sudah tidak mempedulikanmu. Kalau dia tahu kita selingkuh, kenapa dia tidak memperjuangkanmu? Kenapa dia diam saja seolah-olah membiarkan istri yang dicintainya ini dimiliki oleh orang lain?" Jannah memijat kepalanya. Thalib pun mendekati perempuan itu, lalu menaikkan dagunya. Mereka berciuman di bawah guyuran shower. "Mas, kita harus mikirin masalah ini," ucap Jannah. "Tak usah khawatir. Apa yang kau inginkan selama ini akan aku beri. Apapun. Kau tak perlu memikirkan suamimu yang tidak berguna itu," kata Thalib sambil kembali memagut Jannah. Tangan kasarnya kembali meremas payudara Jannah dengan lembut. Jannah pun akhirnya terbuai birahi saat bibir Thalib mulai mengecupi leher. "Ohhh... jangan Mas ustadz...ahh...!" desah Jannah lirih. Terlambat, kaki Jannah telah dinaikkan, lalu batang besar berurat mulai menyeruak masuk lagi ke dalam liang surgawinya. Jannah tersentak lalu memeluk leher ustadz tersebut. Mereka pun berciuman sambil bergoyang di bawah guyuran shower. Sekali lagi desirah nafsu terlarang pun direngkuh dua insan ini lagi. Jannah sudah hilang pikiran, dia tak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaan ini. Memang ada benarnya apa yang dikatakan ustadz Thalib. Kalau memang Arief mencintainya setidaknya akan memperjuangkan dirinya, bukan malah membiarkan. Arief sudah tidak mencintainya lagi. Kedua insan lain jenis ini kembali merengkuh letupan-letupan birahi, berpacu untuk bisa merengkuh tetesan-tetesan kenikmatan. Thalib memeluk erat istri orang ini dengan pinggulnya yang terus menusuk dengan kecepatan tinggi. Sungguh tidak ada yang bisa lebih memabukkan selain tubuh Jannah. Tubuh perempuan yang sudah dia idam-idamkan semenjak kuliah dulu.

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku