BILANG SAJA KAMU JANDA

BILANG SAJA KAMU JANDA

RICHJANI

5.0
Komentar
1.1K
Penayangan
50
Bab

"Kamu itu cuma beban. Bilang aja kamu janda, biar cowok-cowok itu kasihan dan mau keluarin duit." Kalimat itu bukan datang dari orang asing. Tapi dari suaminya sendiri. Laki-laki yang dulu bersumpah akan melindungi, kini justru menjatuhkannya lebih dalam dari jurang. Di balik senyum tipis dan kerudung pastel yang ia kenakan, Rania menyembunyikan dua rahasia besar: ia sedang berjuang sendirian melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya... dan ia harus tetap hidup demi dua anak yang tak tahu betapa sering ibunya ingin menyerah. BILANG SAJA KAMU JANDA! bukan hanya kisah tentang perempuan yang dilukai oleh cinta, tapi tentang bagaimana ia perlahan bangkit dengan tubuh yang sakit, hati yang remuk, dan keyakinan yang mulai goyah demi anak-anak yang masih memanggilnya Ibu. --

Bab 1 Aku harus pulang kemana

"Uangmu mana?!"

Suara itu membelah malam seperti petir yang jatuh terlalu dekat ke jantung. Piring di tangan Rania bergetar. Pecah.

Anaknya yang kecil, Hana, tersentak dari tidurnya di sofa. Di sudut lain, si sulung, Rafif, pura-pura tetap tidur. Tapi tubuh kecilnya kaku. Ia tahu... malam ini akan panjang.

Rania mendongak pelan. Emir berdiri di ambang pintu dapur, dengan setelan jas yang masih rapi, tapi wajahnya penuh amarah. Matanya menyala.

"Baru bisa ngeluh sakit, tapi nggak bisa cari uang!"

Ia mendekat. Setiap langkahnya seperti detak bom waktu. Rania mundur setapak demi setapak.

Tangannya menahan perut yang masih terasa nyeri.

"Aku udah bilang," lirih Rania, suaranya hampir tak terdengar. "Aku nggak bisa kerja dulu... badanku-"

PLAKK!

Tamparan itu datang tanpa aba-aba. Tidak keras. Tapi cukup membuat lutut Rania lemas.

"Aku bukan nyuruh kamu kerja!" bentaknya.

"Aku cuma bilang, bilang aja kamu janda. Cowok-cowok itu gampang kasihan. Ngemis dikit, rayu dikit, dapet deh duit!"

Ia tertawa pendek, tajam, getir.

"Emang susahnya di mana sih? Kau udah biasa pura-pura kuat kan?"

Air mata Rania jatuh. Tapi ia tak bersuara. Sudah terlalu sering. Sudah terlalu lama.

"Kenapa kamu tega, Mir?"

Pertanyaan itu keluar lirih. Tapi Emir terdiam. Matanya mengecil. Lalu ia mendekat lebih dekat, hingga napasnya terasa di wajah Rania yang pucat.

"Kamu pikir aku suka ngelakuin ini?! Aku muak! Aku juga capek! Tapi kamu ini beban, Rania. Kanker itu bukan alasan buat kamu jadi mandul dan miskin!"

Hana tiba-tiba menangis. Rania tersentak. Refleks, ia berlari memeluk anaknya yang menggigil.

Rafif menatap dari balik selimut, matanya penuh benci, pada ayahnya, pada dunia, dan mungkin... pada takdir.

Rania menatap dua anaknya. Tubuhnya masih bergetar. Tapi kali ini bukan karena takut. Tapi karena... cukup.

Ia peluk Hana erat-erat.

Lalu ia berkata pelan, tapi tegas,

"Besok aku pergi."

Emir tertawa, dingin.

"Mau ke mana? Rumah siapa? Siapa yang mau nampung kamu dan dua anak itu, hah?"

Rania diam.

Dia tahu, dia tak punya siapa-siapa.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun... dia percaya. Ia masih punya dirinya sendiri.

"Aku bahkan tak tahu harus pulang ke mana."

--

Langit pagi itu abu-abu. Matahari enggan muncul. Udara lembap, seperti paru-paru Rania, berat, penuh sesak.

Ia duduk di bangku halte kosong. Hana bersandar di pangkuannya, masih tertidur.

Rafif duduk di sebelah, diam, memeluk tas plastik berisi dua stel baju anak dan sisa obat kemo murah.

Ponselnya lowbat. Jemarinya gemetar saat mengirim pesan pinjaman uang ke 10 orang yang ada di kontaknya.

Tak satu pun yang mengirim. Yang balas hanya tiga.

Dan tak ada yang benar-benar menolong.

Rania membuka aplikasi tempat ia menjual tulisan. Hanya 8 orang baca novelnya bulan ini.

Aplikasi voice-over tempat ia biasa menjual suaranya juga sepi. Sudah enam bulan tak ada order.

Dokter bilang kankernya makin parah. Kemoterapi harus lanjut beberapa kalilagi. Tapi ia tak punya uang.

Dan ia tak punya siapa-siapa.

Ibunya meninggal waktu SMA. Ayahnya menyusul. Tak ada saudara. Dan sekarang, suaminya pun mengusir.

Tadi malam mereka tidur di mushola pasar. Penjaganya hanya bilang,

"Sebelum subuh, harus pergi."

"Bu, kita ke mana sekarang?" tanya Rafif lirih.

"Apa kita masih punya rumah, Bu?"

Rania mengangguk. Meski bohong.

Lalu di tengah siang yang panas, ia terima chat dari seorang teman lama.

[Maaf, aku nggak bisa bantu. Tapi kamu kuat, Ran. Kamu pasti bisa.]

Rania ingin balas:

[Kuat itu bukan pilihan. Kuat itu keterpaksaan.]

Tapi ponsel keburu mati.

Anaknya lapar. Ia bagi satu biskuit terakhir jadi dua.

Hana makan. Rafif bilang tak lapar, padahal bohong.

Dan saat semua terasa ingin diakhiri, Hana menatap ibunya dan berkata,

"Bu... jangan nangis. Nanti Allah marah."

Rania memeluk Hana.

Lalu berdiri. Pelan. Tapi yakin.

"Pulang itu bukan karena ada rumah. Tapi karena nggak ada pilihan."

"Rania?"

Suara itu datang dari balik mobil putih yang baru parkir.

Elsa.

Kakak ipar Emir. Istri abang kandung suaminya. Wajah licin, senyum plastik.

"Oh ya Allah... kamu beneran kamu?"

Elsa lalu berkata cepat,

"Gini... aku dan Bang Ucok besok mau ke Bandung. Tapi Mamak siapa yang jaga? Kamu kan udah biasa. Pulang aja deh, ya."

Bukan ajakan. Tapi titah.

Bukan karena sayang. Tapi karena butuh.

Rafif menoleh pelan dan berkata,

"Kita pulang aja, Bu. Kita kan nggak punya rumah."

---

Mereka sampai maghrib. Emir duduk di teras, rokok di tangan, tatapan penuh cemooh.

"Balik juga akhirnya si janda hidup segan mati pun ga bisa."

Elsa hanya senyum kecil dan berbisik,

"Kalau mau masak, pinjam dulu ke warung Bu Murni. Bilang aja saya yang suruh."

Malam itu, Rania menyelimuti dua anaknya. Ia tatap ibunya Emir, yang dulu sering menghinanya, yang kini terbaring lumpuh.

Dan ia tetap menyeka wajah wanita itu. Tetap mengganti popoknya. Karena meski hatinya luka, ia tetap manusia.

---

Pagi berikutnya, nasi habis. Anak-anak lapar. Rania ke warung Bu Murni.

"Boleh saya pinjam beras, Bu? Sama sayur seadanya..."

Bu Murni diam sejenak.

Lalu memberi sedikit.

"Kalau ikut hati, aku pengen kasih lebih. Tapi aku masih inget dulu Mamak kamu..."

Rania mengangguk. "Saya ngerti. Terima kasih, Bu."

Ia masak nasi dan kangkung di dapur kecil itu.

Anaknya makan hangat. Perutnya kenyang.

Dan malam itu, meski Rania tidur di lantai, ia tahu anak-anaknya tidak kedinginan

--

Pagi itu sunyi. Hanya suara cicak dan desah napas panjang Rafif yang bangun paling awal.

Hana masih meringkuk di kasur tipis. Rania menggigil di dapur, memasak air demi secangkir teh manis yang sisa gulanya harus dikorek dari kaleng biskuit kosong.

Emir tidak pulang semalam. Sudah dua malam.

Tidak ada kabar. Tidak ada pesan. Tidak ada uang.

Dan seperti biasanya... tidak ada penyesalan.

Saat air mulai mendidih, suara ketukan keras mengguncang pintu depan.

DUG DUG DUG DUG!!

Rafif melonjak kaget. Hana menangis ketakutan.

Rania meletakkan panci, menyeka tangannya, dan berjalan perlahan. Ketukan makin keras.

Pintu seakan mau jebol.

"BUKA!!"

Suara lelaki. Berat. Marah.

Dan bukan satu orang.

Rania mengintip dari sela tirai. Tiga orang. Satu bertato, satu bawa map lusuh, satu lagi pakai topi hitam.

Dan mereka membawa nota hutang.

"BUKA PINTUNYA SEKARANG, KALO NGGAK KAMI DOBRAAK!!"

Rania membuka perlahan. Suara tangis Hana menggema dari dalam. Rafif berdiri di belakang ibunya, mencoba terlihat berani.

"Pak... ada apa ya?" suara Rania gemetar.

Laki-laki bertato melotot.

"Mana Emir? Suruh keluar! Udah tiga bulan nunggak! Tanda tangan, cap jempol, semua ada!"

Yang bertopi menimpali,

"Ini KTA, Bu. 7 juta, sekarang bunganya udah hampir 10 juta. Kalau gak bayar, kita tarik barang!"

"Pak... ini bukan rumah saya... saya cuma... saya cuma numpang..."

Rania mencoba menjelaskan. Tapi mulutnya gemetar. Air matanya menahan di ujung kelopak.

"Pokoknya kita tarik aja barangnya ya!" Lelaki bertato sudah masuk ruang tamu. Matanya liar. Melihat kipas angin, TV, dan kulkas kecil di dapur.

"PAK! JANGAN! Itu... itu bukan punya kami!"

Rania berdiri di depan kipas. Rafif ikut berdiri di depan kulkas. Hana makin keras menangis.

"KAMI ITU CUMA NUMPANG!! SUAMI SAYA HILANG! KALIAN MAU NAGIH APA?!"

Nada suaranya pecah. Bukan karena marah. Tapi karena takut dan lelah. Dan malu.

Karena anak-anaknya melihat semuanya.

---

"Bu, kita bakal diusir ya?" bisik Rafif di kamar.

Matanya merah. Tangannya menggenggam ujung jilbab ibunya.

"Enggak, Nak... enggak... Ibu di sini. Selalu ada."

Tapi Rania sendiri tak yakin.

Karena sore itu, Elsa menelepon. Suaranya ketus.

"Kamu gimana sih?! Rumah kami digerebek tukang utang! Itu aib! Mamak kaget sampe sesak napas! Emir ke mana?!"

Rania tak tahu harus menjawab apa.

Ia ingin bilang:

"Aku nggak tahu. Aku juga korban."

Tapi ia hanya bilang,

"Maaf, Kak. Aku usahakan cari jalan keluar..."

Dan itu... kebohongan paling menyakitkan hari itu.

Karena ia tak tahu jalan mana yang tersisa.

---

Malamnya, Hana demam.

Rania menempelkan tisu basah di kening anaknya.

Listrik sempat padam karena token habis.

Ia harus menyalakan lilin kecil dari kamar mandi. Rafif duduk di dekat jendela, tak mau tidur. Ia merasa harus jaga ibunya.

"Minggu depan kita ke rumah sakit ya, Bu. Biar Ibu kemo lagi. Rafif temenin."

Rania hanya mengangguk.

Tapi hatinya berdarah. Karena biaya kemoterapi belum ada.

Obat nyeri juga sudah habis.

Dan esok harinya, ia berani melakukan hal yang paling menampar harga dirinya.

---

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh RICHJANI

Selebihnya

Buku serupa

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Jatuh Cinta dengan Dewi Pendendam

Juno Lane
5.0

Sabrina dibesarkan di sebuah desa terpencil selama dua puluh tahun. Ketika dia kembali ke orang tuanya, dia memergoki tunangannya berselingkuh dengan saudara angkatnya. Untuk membalas dendam, dia tidur dengan pamannya, Charles. Bukan rahasia lagi bahwa Charles hidup tanpa pasangan setelah tunangannya meninggal secara mendadak tiga tahun lalu. Namun pada malam yang menentukan itu, hasrat seksualnya menguasai dirinya. Dia tidak bisa menahan godaan terhadap Sabrina. Setelah malam penuh gairah itu, Charles menyatakan bahwa dia tidak ingin ada hubungan apa pun dengan Sabrina. Sabrina merasa sangat marah. Sambil memijat pinggangnya yang sakit, dia berkata, "Kamu menyebut itu seks? Aku bahkan tidak merasakannya sama sekali. Benar-benar buang-buang waktu!" Wajah Charles langsung berubah gelap. Dia menekan tubuh Sabrina ke dinding dan bertanya dengan tajam, "Bukankah kamu mendesah begitu tidak tahu malu ketika aku bersamamu?" Satu hal membawa ke hal lain dan tidak lama kemudian, Sabrina menjadi bibi dari mantan tunangannya. Di pesta pertunangan, sang pengkhianat terbakar amarah, tetapi dia tidak bisa meluapkan kemarahannya karena harus menghormati Sabrina. Para elit menganggap Sabrina sebagai wanita kasar dan tidak berpendidikan. Namun, suatu hari, dia muncul di sebuah pesta eksklusif sebagai tamu terhormat yang memiliki kekayaan miliaran dolar atas namanya. "Orang-orang menyebutku lintah darat dan pemburu harta. Tapi itu semua omong kosong belaka! Kenapa aku perlu emas orang lain jika aku punya tambang emas sendiri?" Sabrina berkata dengan kepala tegak. Pernyataan ini mengguncang seluruh kota!

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
BILANG SAJA KAMU JANDA
1

Bab 1 Aku harus pulang kemana

01/09/2025

2

Bab 2 Pilihan Yang Masih Tersisa

01/09/2025

3

Bab 3 Hampir Melayang

01/09/2025

4

Bab 4 Bertahan

02/09/2025

5

Bab 5 Ibu Yang Penuh Perjuangan

02/09/2025

6

Bab 6 Diantara Luka dan Harapan

02/09/2025

7

Bab 7 Sakit yang Tak Tertulis

02/09/2025

8

Bab 8 Biaya yang Dibayar dengan Air Mata

02/09/2025

9

Bab 9 Yang Terlambat Menyembuhkan

02/09/2025

10

Bab 10 Langit Tanpa Bintang

02/09/2025

11

Bab 11 Nasi Uduk Penyakit

02/09/2025

12

Bab 12 Nasi Uduk, Isu Busuk, dan Tamu Tak Terduga

03/09/2025

13

Bab 13 Surat, dan Sepotong Masa Lalu

03/09/2025

14

Bab 14 Keadilan Yang Tak Pernah Adil

03/09/2025

15

Bab 15 Diambang Batas

03/09/2025

16

Bab 16 Rasa Yang Tak Pernah Tersampaikan

05/09/2025

17

Bab 17 Cahaya Semangat

05/09/2025

18

Bab 18 Lawan Rania!

05/09/2025

19

Bab 19 Aku Pernah, Tapi Aku Pulang

05/09/2025

20

Bab 20 Semoga Kamu Merdeka, Walaupun Bukan Bersamk

05/09/2025

21

Bab 21 Surat Yang Membakar Segalanya

08/09/2025

22

Bab 22 Perang Yang Tak Terlihat

08/09/2025

23

Bab 23 Emir yang Meledak, Rania yang Tegak

08/09/2025

24

Bab 24 Rumah Kecil, Langkah Besar

08/09/2025

25

Bab 25 Malam Yang Menggetarkan Langit

08/09/2025

26

Bab 26 Sidang Kedua, Harga Diri yang Ditarik Paksa

09/09/2025

27

Bab 27 Semakin Pelik, Semakin Sayang

09/09/2025

28

Bab 28 Rumah Baru, Langkah Baru

09/09/2025

29

Bab 29 Luka Lama

09/09/2025

30

Bab 30 Hujan, dan Hadiah Yang Jatuh Dari Langit

09/09/2025

31

Bab 31 Lapangan Yang Masih Menyimpan Memori

12/09/2025

32

Bab 32 Tawa Jemima

12/09/2025

33

Bab 33 Campur Tangan Semesta. Untuk apa

12/09/2025

34

Bab 34 Semakin Dalam

12/09/2025

35

Bab 35 Lagu Untuk Ibu

12/09/2025

36

Bab 36 Luka Lama

12/09/2025

37

Bab 37 Bimbang Yang Menyesakkan

12/09/2025

38

Bab 38 Penampilan Baru Viola

12/09/2025

39

Bab 39 Pria Dalam Foto Lama

12/09/2025

40

Bab 40 Penjara IA

12/09/2025