ZUNARA Menjadi janda dengan 14 anak bukan hal mudah, tapi Zunara memilih tersenyum di tengah lelahnya. Pertemuan tak terduga dengan seorang pangeran saat Zafran, anaknya, nyaris meregang nyawa, mengubah cara pandangnya pada dunia. Ia tak berharap cinta-hanya ingin anak-anaknya tumbuh bahagia-namun, hatinya diam-diam mulai bergetar tiap kali mengingat tatapan pria itu. -- TENGKU SALMAN Di balik gelar dan istana megah, Salman terbiasa hidup untuk tanggung jawab, bukan untuk hati. Tapi pertemuan singkat dengan seorang ibu tangguh dan anak-anaknya yang polos meninggalkan jejak yang tak bisa ia hapus. Dan kini, di setiap doa dan keputusannya, diam-diam ia bertanya pada dirinya sendiri: haruskah aku melangkah lebih jauh demi wanita itu?
"Mama... Zafran nggak bisa napas..."
Tubuh kecil itu menggigil di pelukan Zunara. Wajah Zafran pucat, dadanya naik-turun cepat, matanya setengah terpejam.
"Astaghfirullah...! Aleena, Rayyan! Cari inhalernya cepat!"
"Nggak ada, Ma! Inhalernya nggak ada!"
Suara Rayyan bergetar. Anak-anak lain mulai menangis keras.
"Mama, Abang Zafran mau mati ya? Jangan mati, Abang..."
Yahya meremas ujung gamis ibunya sambil terisak.
"Tolong! Ada yang bisa bantu?! Anak saya sesak napas!"
Zunara berteriak, napasnya memburu. Orang-orang hanya menonton. Ada yang malah merekam dengan ponsel.
Zafran mengerang lemah.
"Mama... sakit..."
Zunara hampir jatuh berlutut. Bagaimana kalau Zafran benar-benar berhenti bernapas?
Tiba-tiba suara berat namun tegas terdengar.
"Serahkannya pada saya, cepat."
Zunara menoleh. Seorang pria tinggi dengan wajah tegas dan sorot mata tajam berdiri di depannya.
Kemeja putihnya kusut karena berlari, tapi auranya... berbeda. Bukan orang biasa.
"Saya pernah urus kes macam ni. Kalau lambat satu minit saja, anak puan boleh mati dalam pelukan."
Zunara menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca.
"Tolong... selamatkan anak saya."
Rayyan maju, berdiri protektif.
"Jangan sentuh adik saya! Siapa kamu?!"
Pria itu menatap Rayyan, nada suaranya tajam.
"Awak mau dia hidup atau tak?"
Rayyan terdiam, gigi bawahnya menggigit bibir. Zunara mengangguk cepat.
"Tolong..."
Pria itu meraih Zafran dengan sigap.
"Pegang kuat, dik. Jangan tidur, ya. Bertahan. Saya janji, awak akan baik-baik saja."
Dia langsung berjalan cepat, menembus kerumunan. Suara kamera ponsel berkedip di sekitar mereka.
Zunara mengejar, hampir menangis.
"Ya Allah... siapa pun dia... selamatkan anakku..."
Di dalam mobil hitam mewah yang melaju kencang, pria itu menatap Zafran penuh khawatir.
"Bertahanlah, dik..." bisiknya, logat Malaysianya terdengar jelas.
Nama pria itu?
Tengku Salman Fawwaz.
Pangeran paling berpengaruh di Malaysia.
Dan sore itu, tak seorang pun tahu kalau video dirinya menggendong seorang bocah sesak napas akan viral... dan mengubah hidup mereka semua.
Video berdurasi tiga puluh detik itu beredar cepat di media sosial.
Tengku Salman Fawwaz, pria tinggi dengan kemeja putih yang basah oleh keringat, menggendong seorang bocah kecil sambil berlari ke arah mobil hitam mewah. Wajahnya tegang, tatapannya penuh khawatir.
"Pangeran Malaysia tolong anak sesak napas di pasar Indonesia!"
"Tengku Salman Fawwaz, calon menantu idaman!"
Netizen heboh. Komentar membanjir:
"Masya Allah, baik banget pangeran ini, ya!"
"Duh, ganteng banget, siapa tu anaknya?"
"Jandanya siapa tu? Kok banyak banget anaknya kelihatan di video."
"Ih, liat deh tuh perempuan big size, bawa anak segambreng, dasar numpang tenar."
Nama Zunara Mahnoor ikut terbawa. Orang-orang mulai mencari identitasnya. Dan ketika menemukan fotonya... hinaan makin menjadi-jadi.
"Pantes aja janda, siapa juga yang mau sama dia."
"Big size, anak 14, mau cari simpati lah tu."
"Eh tapi untung ada pangeran, bisa aja janda ini mancing biar dikasihani."
---
Zunara duduk di lantai ruang tengah, menatap layar ponsel yang terus berbunyi notifikasi. Tangannya gemetar.
Aleena duduk di sampingnya, mencoba menenangkan.
"Ma, jangan dibaca lagi. Nggak semua orang di dunia ini baik..."
Zunara menelan ludah. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tetap tersenyum tipis di depan anak-anaknya.
"Mama nggak apa-apa, Nak. Biarin aja orang mau bilang apa. Yang penting kalian sehat."
Tapi Zoya Tabassum tak bisa setenang itu. Gadis 12 tahun itu menatap ponsel ibunya dengan mata merah.
"Kenapa orang-orang jahat banget, Ma? Mama nggak salah apa-apa... Mama tuh baik..."
"Zoya, udah, jangan-"
"Enggak!" Zoya tiba-tiba berdiri, air matanya jatuh deras.
"Aku benci orang-orang itu! Aku mau balas, Ma! Aku mau tulis di komentar mereka kalau Mama nggak kayak yang mereka bilang!"
"Zoya, cukup!" suara Rayyan tegas, tapi Zoya makin histeris.
"Mereka hina Mama, Kak! Mereka bilang Mama janda gendut nggak pantas sama Pangeran itu! Mereka bilang kita semua... anak-anak sampah!"
Zoya menangis keras, menjerit hingga Arhaan yang duduk di pojok menutup telinganya dan mulai gelisah. Yahya juga ikut menangis, memeluk lutut ibunya.
Zunara langsung memeluk Zoya erat, berusaha menenangkan.
"Nak, tolong... jangan nangis gitu... Mama kuat kok. Kalian nggak usah mikirin Mama..."
Tapi air matanya sendiri akhirnya jatuh juga.
Tiba-tiba... ketukan keras terdengar di pintu.
Tok! Tok! Tok!
Aleena mengintip lewat celah jendela, wajahnya berubah kaget.
"Ma... itu..."
Zunara menatap heran.
"Siapa, Nak?"
Aleena menelan ludah.
"Itu... Pangeran itu, Ma."
Di depan rumah sederhana itu, berdiri Tengku Salman Fawwaz dengan kemeja santai tapi tetap rapi. Sorot matanya... tajam, penuh tekad.
"Assalamualaikum... Saya mahu bercakap dengan puan. Tentang anak-anak ini... dan tentang puan."
Tengku Salman Fawwaz duduk di kursi ruang tamu yang sederhana itu.
Sorot matanya menyapu anak-anak satu per satu sebelum akhirnya berhenti pada Zunara.
"Saya minta maaf datang tiba-tiba. Tapi saya fikir, saya patut cakap terus pada puan."
Zunara menunduk sopan, tangannya meremas ujung jilbabnya.
"Iya, Tengku... Silakan."
"Pertama sekali, anak puan, Zafran... dia sudah stabil. Doktor kata dia cuma perlu rawatan lanjut, tapi keadaannya sudah selamat."
Zunara menghela napas lega, air matanya menetes.
"Terima kasih, Tengku... Saya nggak tahu harus balas kebaikan Tengku gimana..."
Salman mengangguk tipis.
"Tak perlu berterima kasih. Itu memang tanggungjawab manusia. Tapi... ada perkara lain saya nak bincang. Perkara besar."
Rayyan yang sejak tadi berdiri di dekat Zunara melipat tangan di dada, pandangannya penuh curiga.
"Perkara apa? Kalau soal bayar rumah sakit, kami nggak minta belas kasihan siapa pun. Mama nggak perlu kasihan dari orang asing."
"Rayyan!"
Zunara menegur lirih, tapi Salman hanya tersenyum tipis.
"Bagus, awak anak yang jaga maruah keluarga. Tapi saya bukan nak hina puan Zunara atau anak-anak. Saya nak tawarkan sesuatu. Sesuatu yang... mungkin akan ubah hidup puan."
Zunara menatap Salman bingung.
"Maksud Tengku?"
Salman menarik napas panjang, sorot matanya serius.
"Saya tahu orang bercakap macam-macam di media sosial. Mereka hina puan. Hina anak-anak. Puan tak layak terima semua tu."
Zunara menunduk, matanya memerah.
Salman melanjutkan, suaranya tegas.
"Jadi saya fikir... hanya ada satu cara untuk hentikan semua fitnah. Satu cara supaya anak-anak puan dilindungi... dan nama puan bersih."
"Cara apa, Tengku?" suara Zunara bergetar.
Salman menatapnya lurus.
"Kahwin dengan saya, Puan Zunara."
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ruang tamu mendadak hening. Anak-anak menatap dengan mata terbelalak.
"A... apa?" suara Zunara bergetar, wajahnya memerah.
"Tengku... jangan bercanda. Kita baru kenal kemarin. Ini... ini nggak masuk akal."
Rayyan langsung maju selangkah, berdiri protektif di depan ibunya.
"Mama nggak usah jawab! Kita nggak butuh pernikahan pura-pura kayak gini!"
"Rayyan!"
Zunara menegur, tapi remaja itu menatap Salman tajam.
"Kami nggak kenal kamu, dan Mama nggak perlu kasihanmu!"
Salman tetap duduk tenang, sorot matanya dalam.
"Saya faham awak marah, Rayyan. Awak anak lelaki yang baik, jaga maruah keluarga. Tapi awak salah faham. Saya tak berniat nak hina puan Zunara... malah saya hormat dia."
Zunara menggigit bibir, tangannya meremas jilbabnya.
"Tapi... kenapa, Tengku? Kenapa tiba-tiba minta saya menikah dengan Anda?"
Salman menarik napas panjang, suaranya rendah namun tegas.
"Puan, saya tengok sendiri macam mana orang hina puan di media sosial. Mereka takkan berhenti. Nama puan akan terus dipijak, anak-anak puan akan terus dibuli."
Zoya yang duduk di lantai mulai menangis lagi, Aleena merangkulnya.
"Saya fikir... kalau puan jadi isteri saya, semua orang akan berhenti bercakap. Mereka takkan berani hina lagi. Dan anak-anak puan akan dilindungi."
Zunara menunduk, air matanya jatuh.
"Tapi... saya cuma perempuan biasa, Tengku. Tubuh saya besar... anak saya banyak... kenapa Tengku mau repot-repot?"
Salman menatapnya serius.
"Kerana saya pun bukan lelaki sempurna, puan. Saya ada kekurangan sendiri... kekurangan yang orang tak tahu. Tapi saya tak kisah tentang rupa puan atau jumlah anak puan. Saya cuma nak bantu."
Rayyan menggeleng cepat.
"Mama, jangan percaya dia! Ini pasti ada maunya!"
Salman berdiri perlahan, menatap Rayyan.
"Awak berhak fikir macam tu. Tapi saya tak paksa. Saya cuma beri pilihan."
Lalu Salman kembali menatap Zunara.
"Puan... saya tak minta jawapan sekarang. Fikir baik-baik. Saya beri masa tiga hari. Kalau puan setuju, hidup puan akan berubah. Kalau tak... saya akan pergi dan takkan ganggu lagi."
Salman berjalan ke pintu, berhenti sebentar dan menoleh.
"Tiga hari, puan. Lepas tu, saya akan anggap jawapan puan adalah... tidak."
Pintu tertutup pelan.
Zunara duduk kembali, wajahnya pucat. Tangannya menutup mulutnya, air matanya jatuh.
Anak-anak menatapnya bingung, Rayyan berdiri kaku, dan Zoya mulai terisak lagi.
Tiga hari.
Hanya tiga hari... untuk memutuskan sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
----
Bab 1 Nafas Yang Terengah
01/09/2025
Bab 2 Tiga Hari Untuk Keputusan
01/09/2025
Bab 3 Senyum yang Membingungkan
01/09/2025
Bab 4 Kamera Kecil, Hati Besar
02/09/2025
Bab 5 Perjodohan
02/09/2025
Bab 6 Persiapan Jamuan Diraja
02/09/2025
Bab 7 Antara Takdir dan Rindu yang Terselip
02/09/2025
Bab 8 Live Terakhir Najwa
02/09/2025
Bab 9 Rahasia Yang Semestinya Tak Diketahui
02/09/2025
Bab 10 Indonesia Nun Jauh Di mata
02/09/2025
Bab 11 Skandal
02/09/2025
Bab 12 Survive Lagi
03/09/2025
Bab 13 Dijemput Kembali
03/09/2025
Bab 14 Janji di Hadapan Istana
03/09/2025
Bab 15 Di bawah Langit yang Sama
03/09/2025
Bab 16 Keponya Orang Istana
05/09/2025
Bab 17 MakCik Bawang Licious dan PakLong Kacang Teroook
05/09/2025
Bab 18 Tekad Rayyan
05/09/2025
Bab 19 Rumah Baru
05/09/2025
Bab 20 Ambisi Tengku Anisha
05/09/2025
Bab 21 Tepung Putih Untuk Tante Judes
08/09/2025
Bab 22 Angkot Tua Pak Mali
08/09/2025
Bab 23 Lawatan Kerajaan Malaysia ke Indonesia
08/09/2025
Bab 24 Langit Indah
08/09/2025
Bab 25 Jejak-jejak Yang Teringgal
08/09/2025
Bab 26 Tak Tertebak
09/09/2025
Bab 27 Teh Petang dan Rahasia Kecil
09/09/2025
Bab 28 Kisah Seorang Qori Kecil
09/09/2025
Bab 29 Rencana Tersembunyi di Balik Kabar Menggembirakan
09/09/2025
Bab 30 Misi Penyelamatan Paling Gokil di Toko Roti
12/09/2025
Bab 31 Lantunan Iqra yang Menggetarkan Hati.
12/09/2025
Bab 32 Sidang Bu Ratna
12/09/2025
Bab 33 Video Call Pertama yang Buat Heboh Istana
12/09/2025
Bab 34 Masa Lalu yang Membuka Luka
12/09/2025
Bab 35 Live Zunara yang Membelah Hati
12/09/2025
Bab 36 Heboh di dinas Sosial
12/09/2025
Bab 37 Kembalinya Anak-Anak ke Pelukan Zunara
12/09/2025
Bab 38 Surprise!
12/09/2025
Bab 39 Serbuan Bahagia di Dufan
12/09/2025
Bab 40 Dilamar Tergesa-gesa
12/09/2025
Buku lain oleh RICHJANI
Selebihnya