Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
PERAWAN RASA JANDA

PERAWAN RASA JANDA

Mastuti Rheny

5.0
Komentar
4.8K
Penayangan
109
Bab

Terlalu banyak yang salah sangka pada Mala, hanya karena Mala mengasuh kedua keponakan kembarnya, Ghana dan Ghara, semua orang mengira dia janda. Mala melakukan pengorbanan itu demi sang kakak yang sudah berpulang karena kecelakaan. Di tengah stigma yang mengukungnya, takdir mempertemukannya dengan seorang Gamal, pria arogan yang merupakan atasan di tempatnya bekerja. Salah paham yang seringkali terjadi membuat mereka kian dekat. Pada siapa hati Mala akan berlabuh, sementara Jason, pria blasteran Jerman yang juga teman lamanya masih terus mengejarnya? Ikuti saja perjalanan hidup Mala seorang perawan yang sering disangka janda.

Bab 1 Perawan Rasa Janda

“Mama ....!”

Aku sontak menoleh dan segera melebarkan senyum, kepada kedua bocah lelaki menggemaskan yang sedang berlari ke arahku saat aku baru saja datang selepas pulang bekerja di sebuah bengkel milik teman lamaku.

Segala rasa penatku menguap ketika melihat kelucuan mereka.

Segera aku merentangkan tangan menunggu kedua anak lelaki berumur tiga tahun itu menghambur ke dalam pelukanku.

“Kalian wangi sekali, kalian udah mandi?” tanyaku gemas sembari mengusap pipi gembul keduanya.

Struktur wajah mereka nyaris sama. Maklum mereka kembar. Tapi aku selalu bisa membedakan mereka karena aku yang sudah merawat keduanya sejak masih bayi.

Benar mereka bukan terlahir dari rahimku sendiri. Aku hanya tante bagi kedua anak kembar yang sama-sama memiliki rambut lurus berkilau, warisan dari kakak lelakiku yang telah berpulang tiga tahun silam, saat Ghara dan Ghana baru berumur satu bulan.

Mas Gio meregang nyawa dalam sebuah kecelakaan tunggal tak lama setelah perceraiannya dengan sang istri yang sudah meninggalkannya demi lelaki lain.

Sampai saat ini aku tak pernah bisa memaafkan wanita yang sudah melahirkan Ghana dan Ghara itu. Karena wanita itu Mas Gio menjadi sangat kacau dan terus menyalahkan dirinya sendiri terlebih juga karena kebangkrutan usahanya yang sempat beberapa saat pernah maju pesat sebelum pernikahannya dengan wanita yang bernama Lia itu.

“Tentu saja kami udah mandi. Ghara dan Ghana mandi sama eyang tadi.”

Ghara menjawab pertanyaanku dengan lidahnya masih cadel yang akan selalu terdengar lucu di telinga.

“Ayo sekarang kita masuk ke dalam,” ajakku pada mereka.

Tapi mereka tak beranjak malah menatapku dengan cemas.

“Kenapa?”

Aku malah menjadi bertanya-tanya, saat melihat ekspresi wajah keduanya yang terlihat tegang.

Celoteh keduanya segera menarik perhatianku kembali pada tingkah lucu mereka. Aku sudutkan kembali bayanganku tentang Mas Gio yang kepergiannya masih begitu aku sesalkan.

“Ma, di dalam ada tamu,” ucap Ghana memberikan jawaban.

“Tamu siapa sayang?” tanyaku kian ingin tahu.

“Aku nggak tahu, tapi dia bukan orang yang akan membawa Mama pergi kan?”

Aku mengerutkan kening menjadi semakin tak paham dengan pembicaraan mereka.

“Untuk apa orang itu membawa mama pergi?”

“Katanya kalau Mama nikah sama orang itu, maka Mama akan dibawa pergi. Terus gimana sama nasib kami?” tanya Ghara keponakanku yang bertubuh agak kecil dari Ghana yang celotehnya terdengar lebih jelas daripada saudara kembarnya yang satunya.

“Ih kata siapa itu? Itu nggak benar sayang.”

Aku lalu merengkuh kedua keponakanku lagi ingin melerai ketakutan mereka berdua.

Setelah itu aku kembali berdiri tegak bersiap menemui orang-orang yang dibilang si kembar sebagai tamuku, tentu saja dengan membusungkan dada menunjukkan sebuah keberanian untuk menghadapi apapun.

“Assalamualaikum,” sapaku pada semua orang yang segera menginterupsi pembicaraan dari orang-orang yang sekarang sedang berkumpul di ruang depan tampak begitu serius sedang membahas sesuatu yang masih belum aku tahu.

Untuk beberapa saat tatapanku memindai pada setiap wajah yang saat ini sedang duduk di ruangan mungil dari rumah petak yang saat ini menjadi tempat tinggalku bersama bunda juga si kembar.

Ketika aku melihat wajah pria jangkung yang akhir-akhir ini sedang gencar mendekatiku, tanpa sadar aku langsung mendengus jengah.

Meski setelah itu aku harus melebarkan senyuman saat bunda memintaku untuk segera ikut duduk dan menyambut para tamu yang masih belum aku ketahui tujuannya bertandang.

“Mala, kamu sudah pulang?” tanya pria jangkung itu yang selama ini kabarnya selalu sering membanggakan statusnya yang seorang PNS di sebuah instansi daerah itu.

Aku hanya mengukir senyuman tipis pada pria berhidung mancung ke dalam itu. Meski aku harus menyimpan rasa muakku dalam-dalam saat memandang wajahnya yang sok simpati padaku.

Bahkan saat ini aku harus semakin lihai bersandiwara saat aku sadari ternyata pria yang biasanya disapa dengan panggilan Bang Jamal itu malah datang bersama dengan kedua orang tuanya.

Jangan lewatkan juga dengan aneka macam barang yang turut serta dibawa oleh mereka pada sore ini.

Ada setandan pisang, satu kardus mie instan bahkan sekarung beras, yang mirip barang sumbangan untuk korban kebanjiran.

Aku mencebik dalam hati, sembari tak bisa menahan diriku untuk menebak apa tujuan Bang Jamal datang ke rumahku dengan membawa semua barang itu.

Aku kian memindai waspada kala mendengar celetukan wanita berhijab hijau pupus yang saat ini memenuhi pergelangan tangannya dengan gelang emas serupa rantai kapal nan besar.

“Oh jadi ini calon menantuku itu?”

Sontak aku membeliak tajam pada lelaki yang biasanya menyapaku dengan malu-malu di ujung gang saat kami berpapasan ketika sama-sama akan berangkat kerja.

Jelas ini sangat mengagetkan karena bujang lapuk yang tak pernah terlibat percakapan apapun denganku itu kini datang menyatakan lamarannya padaku bahkan mengajak kedua orang tuanya.

Sejurus kemudian Ghara dan Ghana masuk ke dalam ruang tamu dan memanggilku.

“Mama ....”

Sontak pria dan wanita yang tampil dengan dandanannya yang full color itu membeliak tajam.

Aku menanggapi dengan acuh bahkan mengulurkan tangan untuk kedua keponakanku yang kini sudah datang mendekat.

“Apa wanita yang kamu suka itu janda Jamal?” tanya wanita bergelang besar itu pada anaknya yang sejak tadi terus menerus mencuri pandang padaku.

Pria jangkung itu tampak tergeragap ketika mendengar cecaran ibunya.

Aku masih saja tenang. Malah menjadi berharap jika lamaran mereka akan segera dibatalkan karena mereka pasti mengira bahwa saat ini statusku adalah seorang janda.

Aku melirik pada pria berambut klimis itu yang wangi aroma minyak rambutnya sedikit membuat perutku mual.

“Aku tidak tahu Mak,” jawab Jamal pada akhirnya.

Sementara bunda yang sejak tadi diam, mulai terlihat membuka mulut tapi aku segera berdesis kepada wanita yang sudah menghadirkan aku ke dunia itu, memberi isyarat untuk tak angkat bicara.

“Aku nggak suka punya mantu janda, punya buntut dua lagi, bisa-bisa mak nggak akan kebagian gaji kamu lagi. Kita nyari mantu itu buat membantu pekerjaan mak di rumah. Kalau punya anak kayak gini yang ada malah bikin repot.”

Wanita bertubuh bongsor itu langsung bangkit sembari berkacak pinggang.

“Kenapa sih Buk, nggak bilang dari tadi kalau anaknya itu janda?”

Wanita itu kini malah menyalahkan bunda.

Aku langsung tersengat emosi dan ikut berkacak pinggang di depannya.

“Situ sendiri yang main lamar aja, kenapa sekarang malah nyalahin orang?”

Jamal segera menghampiri ibunya yang sekarang bahkan sudah membulatkan mata dan menatapku tajam, tampak kaget saat mendapati keberanianku untuk membantahnya.

Tapi aku memang tak pernah peduli tentang anggapan orang walau bagaimanapun.

Aku masih saja menatapnya dengan tegas walau sekarang bunda sudah mulai mendekat untuk meleraiku. Tapi aku masih tak peduli.

"Emang kenapa? Mau aku perawan atau janda?"

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Mastuti Rheny

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku