Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
SEBUAH PENGAKUAN

SEBUAH PENGAKUAN

Mastuti Rheny

5.0
Komentar
2.8K
Penayangan
64
Bab

Bagas tumbuh dengan kisah-kisah kehebatan ayahnya. Ibunya menyuguhkan kisah tentang sosok ayah yang selalu membanggakan padanya, sosok yang belum pernah ia temui semenjak ia kecil. Sosok lelaki yang diakui ibunya telah meninggal dan bisa dilihat dengan sangat jelas bahwa ibunya itu masih sangat merindukannya. Namun segala anggapannya berubah saat Bagas mendapati sebuah kenyataan bahwa ayahnya jauh berbeda dari angan-angannya. Masihkah ia dapat bangga jika ternyata ayahnya kini telah menjadi seorang transgender.

Bab 1 Sebuah Pengakuan

Aku menatap nanar pada wajah mulianya. Wanita yang telah melahirkan aku itu masih mengatupkan matanya, mengundang kecemasan dihatiku akan keadaannya yang tak kunjung membaik. Tatapanku tak juga beranjak dari wajahnya yang masih pucat, hingga kemudian kurasakan seseorang menyentuh lembut pundakku. Aku segera menoleh kebelakang dan penglihatanku langsung disambut dengan segaris senyum yang seketika menelusupkan sensasi ketenangan dihatiku yang sedang gundah.

"Masih belum ada perubahan mas?" tanya Hanin, wanita yang telah kunikahi dua tahun silam itu.

Aku menggeleng lemah dan ia menjawabnya dengan menghela nafas berat.

"Lebih baik sekarang mas pulang dulu, biar gantian aku yang menjaga ibu."

"Terima kasih sayang," ucapku seraya mencium pipinya yang bersih, aroma lembut melati langsung menguar dihidungku. Harum tubuh Hanin dengan segera mampu menyegarkan badanku yang letih.

"Oh ya mas setelah pulang dari kantor nanti, mas mampir dulu ke rumah ya ambil baju ganti buat ibu."

"Iya nanti aku ambilkan, lalu kamu sendiri titip apa sayang?"

"Tidak ada mas, biar nanti aku makan di kantin rumah sakit saja."

Sekali lagi Hanin menyuguhkan senyumnya untukku yang mengundang hasratku untuk mengecup bibirnya sesaat sebelum aku melangkah pergi.

Aku melihat sekilas wajah bersih istriku itu bersemu merah setelah aku menciumnya tadi. Hatiku memendam senyum membuat langkahku terasa ringan.

***

Perlahan aku memasuki kamar ibuku. Ruangan yang tak terlalu luas yang hanya disisipi perabot tua sederhana setua rumah yang kami huni ini yang merupakan peninggalan dari kakek buyutku yang dulunya adalah seorang juragan sayuran di pasar induk yang juga menjadi tempat ibu mencari nafkah sebelum aku memintanya untuk berhenti setelah mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang sangat menjanjikan disebuah perusahaan BUMN.

Tujuanku langsung menyasar pada almari pakaian. Sebenarnya nyaris tidak pernah aku membuka almari kayu yang kuno ini. Kalaupun aku ke kamar ibu hanya untuk mengobrol dengan wanita yang telah membesarkan aku dengan penuh cinta itu. Sesaat aku memilih beberapa pakaian yang akan aku bawa untuk baju ganti baju namun kemudian mataku tertumbuk pada sebuah kotak kayu dengan ukuran lumayan besar tepat berada di rak bawah sedikit tersamar oleh tumpukan sajadah. Rasa penasaran yang membuatku meraih kotak berwarna plitur coklat itu lalu membukanya perlahan.

Aku terkesiap saat melihat isinya. Terdapat beberapa bundel lembaran uang dolar yang jumlahnya sangat besar, beberapa kotak perhiasan yang diletakkan di kotak-kotak yang lebih kecil, juga beberapa tumpuk surat juga kartu pos dan surat wesel yang di bendel menjadi beberapa bagian. Penemuan ini sungguh mencengangkan bagiku, bila mengingat sosok ibu yang begitu sederhana bahkan semasa aku sekolah dulu sering aku mendapati ibu harus menahan lapar demi aku anak semata wayangnya agar tercukupi gizi dan tidak mengganggu tumbuh kembangnya.

Hatiku menjadi dihinggapi tanya darimana semua kekayaan ini berasal. Selama ini kami selalu hidup dalam keterbatasan sebelum aku menjadi seperti diriku yang sekarang, padahal ibu memiliki semua ini. Aku sungguh tak mampu mencerna atas apa yang sesungguhnya terjadi.

Dengan penuh rasa ingin tahu aku segera membuka satu persatu surat yang ada dibendelan itu. Tak banyak keterangan yang kudapat, surat itu hanya menanyakan tentang keadaanku, apa saja kegiatan yang aku lakukan juga ungkapan rasa rindu yang menggebu. Semua surat itu berasal dari satu nama pengirim yaitu "Prasetyo", yang kutahu hanya satu nama Prasetyo dalam kehidupan ibu dan orang itu tak lain adalah ayahku sendiri. Namun lelaki itu telah meninggal semenjak aku bayi dan aku belum pernah mengenalnya sekalipun. Bagaimana mungkin Prasetyo dalam semua surat ini adalah ayahku.

Mungkinkah ibu telah berbohong padaku dan menyembunyikan kenyataan ini selama bertahun-tahun. Tapi kenapa?. Sejuta tanya membekap batinku kini dan semakin menjeratku dalam kebingungan saat aku membaca alamat pengirim dari semua surat dan wesel ini yang ternyata berada di New York di kawasan elit Manhattan. Rasa ingin tahuku semakin merajai yang kemudian menggugah keinginanku untuk menyimpan alamat yang tertera pada surat-surat itu lewat jepretan foto di gawaiku.

Setelah mengambil beberapa potong pakaian, aku segera meringkas kembali semua benda yang telah kulihat tadi. Kuletakkan semua pada tempatnya semula lalu kututup pintu almari. Kemudian aku bergegas pergi ke rumah sakit, menemui ibu yang masih tak berdaya dengan sejuta tanya yang tak mungkin untuk bisa kutemukan jawabnya lewat bibir beliau yang masih terkatup rapat.

***

Aku bersyukur kondisi ibu perlahan mulai membaik dan menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan. Yang lebih membahagiakan ibu kini bisa beraktifitas secara normal bahkan nampak lebih sehat daripada sebelumnya. Saat ini aku bisa bernafas lega setidaknya aku tak perlu lagi mencemaskan keadaan ibu jika kemudian aku harus meninggalkan beliau untuk menunaikan tugas belajar ke luar negeri. Sebelumnya aku memikirkan banyak pertimbangan untuk melanjutkan pasca sarjanaku ke USA namun setelah aku menemukan surat-surat yang menunjukkan keberadaan ayahku di New York aku semakin ingin secepatnya kesana demi menuntaskan rasa ingin tahuku.

Selama aku pergi aku yakin Hanin akan menjaga ibu dengan sangat baik. Hanin begitu menyayangi ibu dan sangat perhatian bahkan mungkin melebihi aku. Hingga waktu keberangkatanku tiba dan ibu nampak berat melepasku, aku berusaha menegarkan hatiku sendiri. Ibu terus menatapku dengan mata sayunya. Entah mengapa aku merasa ibu memendam sebuah kekhawatiran yang mencurigakan, menjadikan aku semakin percaya bahwa keengganan ibu melepasku karena beliau tak ingin jika aku bertemu dengan ayah. Tapi apakah mungkin seperti itu?. Aku masih mencoba untuk tak menyakininya.

Segala gundah itu masih bergayut ketika kemudian aku menghampiri Hanin istriku yang berderaian air mata. Ini adalah perpisahan pertama bagi kami. Dua tahun menikah kami selalu bersama, aku sungguh tak kuasa melihat wajah ayunya dibasahi air mata. Segera kurengkuh tubuhnya, kudekap erat penuh rasa sayang.

"Tolong jaga ibu," bisikku lembut ditelinganya.

Hanin mengangguk seraya mengusap pipinya yang basah. Kemudian ia mengulas senyumnya, wajahnya mulai menyajikan seraut ketegaran membuat hatiku dialiri kelegaan.

"Iya mas, mas tak usah khawatir," ucap istri cantikku itu yang seketika mampu menghalau segala gundahku.

Hanin kemudian mendekati ibu dan memeluk pundak ibu seraya menyuguhkan senyum. Segaris senyum yang mampu menulari ibu.

"Kamu tak usah khawatir, Hanin akan merawat ibu dengan sangat baik seperti selama ini. Ibu hanya berpesan satu hal jaga diri kamu selama disana jangan pernah sekalipun meninggalkan sholat."

"Iya ibu insya Allah, Bagas berangkat bu," ucapku santun sembari kuraih tangan ibu untuk kukecup punggung tangannya.

"Assalamualaikum," kataku memberi salam kemudian aku membalikkan badanku dan melangkah memasuki bandara untuk mengejar pesawat yang sebentar lagi berangkat mengantarkan aku negeri Paman Sam.

***

Salju tebal menyelimuti New York, menyambut kedatanganku dengan kebekuan. Kurapatkan mantel tebal yang membungkus tubuh tropisku untuk menghalau dingin yang nyaris tak bisa kutolerir. Aku bergegas memasuki taxi yang telah menjemputku didepan bandara yang kemudian akan mengantarku ke hotel yang telah kureservasi di sekitar Central Park. Aku telah membulatkan tekadku, sebelum kegiatan perkuliahan dimulai aku ingin menuntaskan rasa ingin tahuku tentang keberadaan ayahku.

Jika seandainya ia berhasil kutemukan akan kutuntut dia penjelasan tentang kepergiannya, dan membiarkan ibu berjuang sendiri membesarkan aku. Meski mungkin kebencian turut mengiringi namun aku mencoba untuk menjadi rasional dan tetap tenang jika kami bertemu nantinya.

Setelah merasa cukup beristirahat, aku memutuskan memulai pencarianku dengan berbekal alamat yang kudapat dari surat-surat di kamar ibu. Aku menerobos salju yang terus dimuntahkan dari langit New York yang kelabu. Pohon-pohon di Central Park telanjang tak berdaun bertarung dengan terpaan dinginnya salju yang terus turun. Aku mempercepat langkahku ketika Central Park West apartement telah tampak dihadapanku. Setelah berada didalam gedung aku segera memasuki lift untuk bisa sampai ke lantai teratas. Semakin dekat langkahku menuju kamar apartemennya jantungku berdegup semakin kencang mengiringi rasa penasaranku yang semakin membuncah. Namun saat tiba didepan pintu apartemennya, untuk sejenak aku hanya mampu berdiri mematung berjuang mengumpulkan tekad untukku mempunyai kekuatan menekan bel didepanku. Aku memencetnya beberapa kali dan menunggu dengan resah sampai pintu didepanku terbuka. Seraut wajah cantik tersembul keluar dari balik pintu. Wajah yang dipenuhi riasan kosmetik itu menatapku penuh tanya meski senyumnya turut menguar.

"Can I help you?" tanya wanita berambut sugar brown itu ramah.

Aku bergeming sesaat memandangnya dengan hati yang tak bisa kucegah mencari sebuah kesimpulan bahwa wanita berbibir merah ini mungkin saja pendamping ayahku saat ini.

"I want to see Mr. Prasetyo from Indonesia. I am Bagas Permana his son, may I see him right now?" pintaku seramah mungkin.

Wajah eksotik yang semula ramah itu berubah beku. Mata lebarnya yang dipulas warna peach itu menyergapku dengan pandangan penuh selidik. Aku semakin dibuat tak mengerti dengan perubahan sikapnya ketika ia mendadak diserang kegugupan.

"Is he not at home?" tanyaku kembali karena ia tak juga membuka suara.

"Dia ada.....dan sedang berdiri dihadapanmu...," ucapnya tergagap sembari meremas-remas sendiri jari lentiknya yang kuku indahnya diberi kutex warna magenta terang.

Kini ganti aku yang menatapnya lekat dengan digayuti rasa tak percaya.

"Aku Prasetyo, ayahmu," tegasnya lebih lugas sembari menatapku pasti.

Aku semakin terhenyak mendengar pengakuannya. Aku tetap tak kuasa mempercayainya. Sulit untuk mengakui wanita cantik ini adalah ayahku. Pengakuannya telah mampu menjatuhkan aku ke jurang yang paling dalam segala ekspektasiku pada sosok ayahku yang selama kuanggap sempurna.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Mastuti Rheny

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku