Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
290
Penayangan
27
Bab

Arka sedang terlibat masalah pelik. Dirinya ditipu habis-habisan dan kini para rentenir terus menerornya, membuatnya terpaksa harus pulang kampung demi menghindari mereka. Siapa sangka sesampainya di kampung, dirinya malah direcoki perkara jodoh oleh sang ibu. Sang ibu bahkan menyodorkan nama Nilam, janda beranak satu yang kaya raya setelah mendapat warisan dari mendiang suaminya. Sebuah ide pun terlintas dalam kepala Arka, untuk menikahi sang janda, kemudian mengeruk hartanya. Bagaimanakah perjalanan rumah tangga Arka dan Nilam, ketika semuanya dilandasi kebohongan? Bagaimana ketika di tengah aksinya, Arka malah terpesona oleh kebaikan dan ketulusan yang selalu ditunjukkan Nilam, dan debar cinta pun mulai terasa? Bagaimana ketika Arka memutuskan menghentikan rencana busuknya, semuanya malah terbongkar, membuat Nilam sakit hati dan kecewa. Namun, bukan kata cerai yang Nilam pinta, melainkan sebuah kesepakatan bahwa mereka berdua harus melanjutkan hubungan suami-istri, tetapi hanya di atas kertas. Apa sebenarnya tujuan Nilam? Kenapa janda lugu itu berubah demikian drastis?

Bab 1 Tertipu

Prolog

Di dalam sebuah kamar yang telah dihias ala pengantin baru, dengan temaram sinar lilin sebagai penerang, dan kelopak bunga mawar yang bertebaran memenuhi permukaan ranjang, meruapkan aroma manis yang menggoda, tampak seorang perempuan tengah duduk di tepiannya.

Saat mendengar pintu terbuka, perempuan itu mendongak, menyambut lelaki yang kini telah sah sebagai suaminya.

Bahkan meski ini bukan pengalamannya yang pertama, tetap saja perempuan itu merasa gugup bukan kepalang. Tangannya terasa dingin—yang tak ada hubungannya dengan seberapa minim gaun tidur yang dia kenakan—dan irama jantungnya bertalu-talu. Jari-jarinya saling meremas mengepal tatkala langkah lelaki itu kian mendekat.

Perempuan itu kemudian memilih menunduk, jengah dengan tatapan lekat yang lelaki itu tujukan padanya, pada sekujur tubuhnya.

Bahkan hingga kini dia masih serasa tak menyangka bahwa akhirnya dia menikah dengan cinta pertamanya.

Bukan, bukan berarti dia tidak mencintai mendiang suaminya, tapi laki-laki yang ada di depannya kini adalah kisah lain, kisah lain yang dia kira telah pupus saat mereka masih remaja. Namun ternyata takdir menjalin kisah mereka untuk kembali berlanjut, untuk mengarungi titik baru, sebagai sepasang suami istri.

Perempuan itu menahan napas sewaktu sang lelaki menjulurkan tangan untuk mengelus pipinya. Elusan yang kemudian turun ke leher, ke tulang selangka, dan ke tali bajunya yang setipis lidi, untuk kemudian menanggalkannya.

Detik sebelum perempuan itu terbaring di ranjang, dia membatin, betapa beruntung dirinya. Bahwa badai yang selama ini harus dia hadapi seorang diri, sebagai janda, telah berlalu. Kini telah ada sosok lain untuknya bertumpu.

Perempuan itu hanya tidak tahu, bahwa suami barunya tak sebaik itu. Ada rencana culas yang diam-diam lelaki itu simpan.

**

Part 1

“Lo yakin nggak liat dia? Iya, koper sama semua barang-barangnya nggak ada yang tersisa. Semuanya diangkutin sama dia. Mangkanya gue ngira dia pasti kabur ke kampung.”

“Gue udah pantau rumahnya dari beberapa hari ini, Ka. Tapi nggak ada tanda-tanda dia ada di sini. Orang tuanya juga gue liat biasa aja. Nggak yang mukanya seneng kayak kalo anaknya abis pulang kampung.”

“Lo yakin mereka bukan pura-pura?”

Terdengar tawa di seberang telepon. “Lo kayak nggak tahu aja, orang-orang di sini tuh polos. Kami cuma orang kampung yang kalau disuruh akting macam artis sinetron nggak bakal tahu. Ya … kecuali si Acung. Nggak ngerti deh dia berguru akting di mana. Tapi percaya deh, kalau dia emang ada di sini, pasti keliatan. Dia pasti kabur ke tempat lain, Ka.”

Arka pun mematikan telepon. Rasanya sedikit tergelitik dengan kata “polos” yang disebutkan Danu barusan. Setelah bertahun-tahun tinggal di kota metropolitan, bahkan kini telah terbiasa menggunakan lo-gue, Arka tidak menyangka bahwa dia masih bisa jadi seseorang yang polos. Seseorang yang mudah dibodohi.

Bagaimana bisa seorang Arka yang terkenal pintar dan teliti bisa jatuh dalam jebakan khas kelas teri.

Bagaimana bisa seorang Arka memercayakan begitu saja tabungan yang sudah dia kumpulkan dengan telaten selama ini pada cungpret kurus nan tengik bernama Acung. Pemuda yang bahkan tak becus lulus kuliah dan berakhir “mengembara” dari satu kerja serabutan ke kerja serabutan lainnya. Bagaimana bisa sampai Arka terlintas menjalin kerjasama dengan orang seperti itu.

Arka tak habis pikir.

Dan rambut yang biasanya tertata rapi itu pun berakhir acak-acakan jadi sasaran kefrustrasiannya.

**

Beda dengan kebanyakan orang yang biasanya menggunakan weekend sebagai hari santai, tidur sampai siang dan bermalas-malasan, semacam ritual balas dendam setelah lima hari membanting tulang dalam kerasnya dunia kerja, tetapi Arka berbeda. Dia bukan penganut kebiasaan itu. Arka akan menggunakan weekend-nya untuk melakukan aktivitas yang sama aktifnya seperti saat hari kerja. Entah dengan melakukan hal-hal domestik seperti bersih-bersih apartemennya, mencuci motor kesayangannya, berbelanja stok makanan di dapur. Lalu setelah semua itu selesai, Arka akan kembali mengecek pekerjaannya di kantor. Menyelesaikan berkas yang harus dia presentasikan besok di depan bos.

Awalnya Arka menikmati gaya hidupnya yang semacam ini, tetapi ….

Di umurnya yang ke-32 tahun, setelah 7 tahun bekerja di kantor yang sama, dan mendapatkan gaji yang lumayan, Arka mulai merasa jenuh. Dia mulai jenuh dengan rutinitas lima hari kerja dua hari libur. Dia mulai jenuh dengan setumpuk pekerjaan yang tak ada habisnya. Dia mulai jenuh dengan perlombaan tak sehat dalam memperebutkan promosi. Dia ingin formula yang berbeda. Bahkan meski harus bekerja dengan jumlah hari yang lebih banyak, Arka tak keberatan. Tentu, jumlah hari libur yang lebih banyak pasti yang lebih menggiurkan. Karena itu Arka ingin menentukan sendiri hari kerja dan hari liburnya, juga seberapa besar tekanan yang mampu diterimanya. Dia ingin terbebas dari titel seorang karyawan, menjadi bos bagi dirinya sendiri. Dia ingin memulai usahanya sendiri.

Tapi siapa sangka, sekali Arka mencoba keluar dari zona amannya, dia langsung tertendang dengan telak. Bukan hanya modalnya dibawa kabur oleh Acung, Acung juga telah menjadikan nama Arka sebagai penjamin atas sejumlah pinjaman yang fantastis di bank. Dan kini para rentenir terus mengejar-ngejarnya.

Itu sebabnya, di hari weekend ketika seharusnya Arka pergi keluar untuk olahraga di gym, dan sederet lis lainnya, dia malah terjebak di dalam rumah. Bersembunyi dari rentenir yang terus menggedor-gedor pintu rumahnya.

**

“Anjiir! Lo masih hidup ternyata. Kirain udah jadi bangkai!” Resya, teman sekaligus rekan kerjanya di kantor, langsung menghadiahi umpatan saat akhirnya Arka muncul di gym. Tak seperti biasanya yang selalu on time, kali ini Arka telat sampai satu jam. Benar-benar rekor telat yang mencengangkan. Bahkan sebenarnya kalau lima menit lagi Arka tidak datang, Resya sudah berencana menelepon 119, berpikir temannya itu pasti mengalami kecelakaan serius entah di tempat mana.

Tebakan yang tak begitu jauh sebenarnya. Beberapa menit yang lalu, Arka memang sangat membutuhkan bantuan 119. Para rentenir itu melihat saat Arka menyelinap keluar dari rumahnya lewat jalan belakang. Lalu terjadilah kejar-kejaran antara para rentenir bertubuh tambun dan penuh tato itu dengan dirinya.

Arka hanya bersyukur bahwa motornya beperforma maksimal dan dapat mengebut serta meliuk-liuk gesit di jalanan. Hingga para rentenir itu ketinggalan jejaknya.

“Diem lo,” sentak Arka dengan napas terengah-engah. Peluh membanjiri dahi hingga lehernya.

Tapi bukannya diam, Resya malah terkekeh sambil lanjut mencerocos. “Gua kirain lo ke mana, ternyata lo abis asoy-asoyan sama cewek, ya. Ngaku aja. Lo napasnya sampe ngap-ngap kayak gitu, pasti saking capeknya ngelayanin itu cewek.” Lalu dengan alis terangkat dan muka makin mesum, Resya berbisik, “Dia minta berapa ronde, Bro? Goyangannya sebombastis itu ya?”

Tak mau menghiraukan temannya yang memang ke mana-mana pikirannya tak jauh dari selangkangan, Arka melirik saku celananya saat terasa benda pipih di sana bergetar.

Tanpa memperhatikan nomor si pemanggil, Arka langsung menerima telepon dengan suara lemah, masih kelelahan, “Halo.”

Lalu meluncurlah kata umpatan yang disertai ancaman dari seberang telepon.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Nor Delilah

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku