Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Janda Laila

Janda Laila

Syatizha

5.0
Komentar
27.2K
Penayangan
103
Bab

Laila disuruh memilih antara bersedia dicerai atau dipoligami oleh suami dan ibu mertua karena tidak dapat memberikan keturunan selama pernikahan Lima tahun. Apakah yang Laila pilih? Memilih dipoligami atau dicerai dan menyandang status Janda Laila?

Bab 1 Cerai atau Dipoligami

"Kau pilih cerai atau ijinkan Haris menikah lagi?!" tanya Ibu mertua tiba-tiba. Jantungku seperti mau copot mendengarnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, kenapa Ibu mertua yang selama ini aku anggap seperti ibu kandung sendiri bertanya demikian?

Aku mendongak sambil mencengkeram sepatu high heels yang baru saja kulepas. Andai saja bukan orang tua, sudah kusumpal mulutnya dengan sepatu ini. Tidak punya perasaan bertanya seperti itu. Pada menantunya pula!

"Maksud Ibu apa?" Aku berdiri menghadap Ibu mertua. Raut wajahnya tidak seperti biasa, tampak tak bersahabat. Sepersekian menit ia tetap bungkam, enggan menjawab.

Aku mengembuskan napas.

Sudah letih pulang kerja, sampai rumah ditodong pertanyaan macam itu. Kulirik Bang Haris. Wajahnya tenang sekali. Bahkan kedua matanya tak ingin menoleh. Memilih asyik menonton televisi. Aku mengembuskan napas panjang.

"Kenapa tiba-tiba Ibu nanya kayak gitu? Masih kurang uang bulanan dari Laila?" Aku bertanya lagi dengan nada tinggi. Kali ini Ibu mertua menyilangkan tangan ke depan dada.

Aiih sombong sekali gayanya. Lupa apa? Kalau mereka itu cuma menumpang di rumah ini. Mentang-mentang sekarang aku sudah tidak punya orang tua, Ibu seenaknya bicara. Dulu aja, sewaktu Abi dan Umi masih ada, mulut Ibu mertua sangat manis, mengalahkan manisnya madu.

"Bukan masalah uang, Laila. Tapi masalah keturunan! Kalian itu hampir tujuh tahun menikah tapi sampe sekarang, kamu belum juga hamil!"

"Lantas?" Aku memicingkan kedua mata. Menunggu jawaban yang sebenarnya jawabannya sudah dapat kutebak.

"Ibu pengen punya cucu!"

"Biasanya Ibu gak masalahin anak, kenapa sekarang tiba-tiba menginginkannya?" tanyaku menelisik.

"Sekarang itu waktunya! Ibu udah tua. Malu juga, tiap ikut arisan selalu ditanya, 'Jeng udah punya cucu belum?' kan malu." Halah ... alasan. Aku tahu betul watak Ibu. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk mengenal lebih dalam sifat dan tabiat Ibu.

"Kalau gitu, jangan ikut arisan lagi," usulku sembari berlalu.

"Gak bisa gitu, Laila. Pokoknya Ibu pengen punya cucu! Percuma kamu cantik, kaya raya kalau kamu mandul!" Aku terkejut mendengar kata terakhir yang dilontarkan Ibu. Kata yang sangat menusuk jantungku. Aku membalikkan badan. Menatap Ibu dengan sorot mata tajam.

"Mandul? Ibu bilang aku mandul? Bukannya Ibu pernah lihat hasil tes kesuburan Laila? Kandungan Laila baik-baik saja." Aku berkilah. Mengingatkan kembali kalau aku pernah periksa kandungan dan hasilnya aku bisa hamil walau aku tak tahu kapan waktunya.

"Gak nutup kemungkinan kalau dokter itu salah!" tuduh Ibu mertua membuka kipas yang selalu ada di tangannya. Aku menggeleng kepala.

Ya Allah sebenarnya ada apa? Kenapa ibu mertuaku jadi berubah ketus begini?

"Bisa jadi Bang Haris yang mandul," kataku datar.

Memang selama ini selalu aku saja yang disuruh periksa. Dari mulai dicek alat reproduksi sampai keadaan rahim. Dan semuanya baik-baik saja, sehat. Sedangkan Bang Haris, dia selalu berkelit tiap kali aku ajak ke dokter.

"Jaga mulut kamu, Laila! Haris bilang dia udah periksa ke dokter. Dia subur kok," bela Ibu mertua.

"Kapan? Abang kapan periksa ke dokter? Laila kok gak tau?"

"Bawel kamu! Seminggu yang lalu!" sahutnya tanpa menoleh ke arahku.

"Mana hasilnya?"

"Hilang. Ketinggalan di restoran waktu Abang ketemu klien."

Aku mencebik. "Heleh alasan! Bilang aja emang pengen kawin lagi. Udahlah Laila capek! Mau istirahat!"

Kutinggalkan ibu dan anak itu. Tak peduli teriakan Ibu mertua yang memanggil namaku.

***

Sarapan pagi ini, membuatku kurang berselera. Bagaimana tidak? Kedua makhluk di hadapanku wajahnya sangat tidak enak dipandang. Cemberut semua.

"Ehm." Aku berdehem memecah keheningan. Bang Haris melirik. Ibu mertua masih enggan menatapku. Aku menyimpan sisa roti bakar di atas piring.

"Apa ucapan Ibu semalam serius?" tanyaku menatap intens wajah wanita yang melahirkan Haris Prayoga. Ibu mendongak.

"Serius. Bahkan calonnya sudah a ...." Ibu menggantung kalimat ketika tangan Bang Haris menyenggol lengan Ibu. Sekarang aku mengerti, pasti Bang Haris sudah selingkuh. Pantas saja, handphone-nya di-password segala. Tapi aku gak boleh gegabah, belum ada bukti kalau suamiku punya wanita lain.

"Calon sudah, apa? Calon apa?" Aku pura-pura tak mengerti. Ibu kelihatan grogi. Meneguk susu. Mungkin untuk menghalau rasa gugupannya.

"Pokoknya ibu pengen punya cucu! Kamu tau sendiri kan Laila. Haris itu anak ibu satu-satunya. Harus ada penerus keturunan kami," tandas Ibu mengalihkan pertanyaanku.

Sudahlah, anggap saja benar, kalau Bang Haris punya simpanan. Masih pagi malas berdebat.

"Abang sendiri gimana? Dari semalam ibu terus yang bicara."

"Omongan Ibu ada benarnya. Abang emang harus punya keturunan." Ucapan suamiku semakin membuat hati ini teriris sembilu.

"Apa harus dengan bercerai? Apa harus dengan poligami? Bukannya masih ada cara lain. Program bayi tabung misalnya," kataku mengajukan pilihan lain.

"Buang-buang duit, Laila. Itu kan mahal banget. Mending kalau berhasil, kalau enggak? Sayang kan uangnya?"

Luar biasa matrenya ibu mertuaku. Lebih mengorbankan kehancuran rumah tangga anaknya dari pada kehilangan uang untuk usaha punya anak. Padahal dia tahu dari dulu, kalau aku paling tidak mau dipoligami. Apa pun alasannya.

"Abang maunya gimana? Kita cerai?"

"Abang gak mau cerai, tapi Abang pengen punya anak."

"Ya udah ayo kita periksa bareng ke dokter," ajakku dengan serius.

"Kamu gak percaya kalau Abang udah periksa ke dokter?"

"Enggak!"

"Ya sudah, terserah. Yang pasti Abang pengen punya anak!" tandasnya, lalu meneguk segelas air susu.

"Kita coba program bayi tabung. Biar biayanya aku tanggung semua."

"Bayi tabung itu lama! Benar kata Ibu, mending kalau berhasil, kalau enggak?"

"Jalan satu-satunya Haris harus menikah lagi! Dalam agama pun boleh kan menikah lebih dari satu kali?" sela Ibu mertua.

Aku mendengus kesal. Ternyata memang benar. Bang Haris diam-diam sudah punya wanita lain. Ingin nikah lagi. Aku yakin, pasti di mata Ibu, calon istri Bang Haris wanita yang tajir dan kaya raya.

Aku melirik arloji, sudah pukul tujuh. Harus segera ke kantor, satu jam lagi ada meeting.

"Nanti malam kita bahas lagi. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

***

Sepanjang perjalanan ke kantor, aku masih memikirkan permintaan Bang Haris dan Ibunya. Aku sangat curiga, kalau mereka sebenarnya sudah punya wanita yang akan menggantikan posisiku sebagai istri Bang Haris. Kira-kira siapa wanita itu? Sehingga Ibu yang biasanya sangat baik dan manis di hadapanku berubah. Bahkan sebelumnya dia kerap kali berkata.

"Mungkin belum waktunya. Gak apa-apalah. Punya anak itu banyak biaya. Mending sekarang kalian cari uang sebanyak-banyaknya."

Tapi sekarang? Seolah sangat menginginkan seorang anak.

Aku harus cari tahu penyebab sebenarnya. Apa benar Bang Haris punya wanita lain?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Syatizha

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku