Cinta yang Tersulut Kembali
Mantan Istriku yang Penurut Adalah Seorang Bos Rahasia?!
Gairah Membara: Cinta Tak Pernah Mati
Permainan Cinta: Topeng-Topeng Kekasih
Kembalilah, Cintaku: Merayu Mantan Istriku yang Terabaikan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta, Pengkhianatan dan Dendam: Godaan Mantan Istri yang Tak Tertahankan
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Matahari terbenam di cakrawala, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah saat Jill melangkah keluar dari kantornya. Hari itu telah panjang dan melelahkan, tetapi pikirannya masih penuh dengan sketsa dan desain yang akan dia ciptakan esok hari. Dengan langkah yang tergesa-gesa, dia membuka pintu mobilnya dan meluncur ke dalam, siap untuk pulang ke kedamaian rumahnya. Namun, kedamaian itu segera terkoyak saat dia menyadari kehadiran yang tidak diundang di kursi penumpang.
Seorang pria dengan pakaian yang berlumuran darah duduk dengan tenang, senjata di tangannya menunjuk tegas ke pelipis Jill. Detak jantungnya berpacu, adrenalin mengalir deras, namun dengan keberanian yang dipaksakan, Jill menyalakan mesin dan membiarkan instingnya mengambil alih. Mobil itu melaju perlahan, membawa mereka berdua ke dalam malam yang tak pasti, di mana rahasia dan bahaya bersembunyi di setiap belokan.
"Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu. Asalkan kau, patuh." Katanya pria itu, menatap tajam wajah Jill.
Jill hanya mengangguk, tanpa menoleh. Ia fokus ke depan, mengendarai mobilnya.
Malam itu, jalanan tampak sepi dan hanya terang benderang oleh lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Pria di samping Jill, dengan nafas yang teratur menandakan ketenangan yang terlatih, memperhatikan melalui kaca spion bahwa ada bayangan yang mengikuti mereka — sebuah motor dengan lampu yang redup. Ketika motor itu mendekat, pria berjaket kulit hitam yang mengendarainya mengeluarkan pistol dan menodongkannya tepat ke arah kaca jendela mobil Jill. Dalam sekejap, pria di samping Jill bertindak dengan refleks yang tajam, menarik pistolnya dan melepaskan tembakan. Namun, dalam pertarungan yang berlangsung cepat, peluru yang dilepaskan meleset, berdesingan dekat wajah Jill, meninggalkan jejak panas yang membakar kulitnya dan menyisir kedua bola matanya. Teriakan Jill memecah kesunyian malam, dan dalam kepanikan, mobil yang mereka tumpangi mulai oleng tak terkendali. Mereka berdua berjuang untuk menguasai setir, tapi nasib telah menentukan jalannya. Dengan suara gemuruh yang menggelegar, mobil itu akhirnya menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan, meninggalkan mereka dalam keheningan yang tiba-tiba, dikelilingi oleh debu dan daun-daun yang berterbangan.
"Ayo, cepat bantu!!" Teriak salah satu pejalan kaki yang kebetulan melintas, dan melihat kejadian itu.
"Di dalam mobil, hanya ada satu orang!" serunya pejalan kaki lain, yang memeriksa ke dalam mobil.
Dalam keheningan malam yang tiba-tiba terpecah oleh suara sirine yang mendesing, Jill terbaring tak berdaya, merasakan setiap denyut nyeri yang melanda tubuhnya. Kepalanya berputar, dan dunia di sekelilingnya terasa seperti bergerak dalam gerakan lambat. Dengan setiap tarikan napas yang berat, ia mencoba mempertahankan benang tipis kesadaran yang masih tersisa. Samar-samar, ia merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya, mendengar suara bisikan dan langkah kaki yang terburu-buru, merasakan sentuhan tangan yang berusaha menolongnya. Namun, seiring dengan suara sirine yang semakin keras, kesadarannya mulai terkikis, dan Jill menyerah pada gelapnya ketidaksadaran, terhanyut ke dalam keabadian yang sunyi, di mana rasa sakit dan ketakutan perlahan-lahan memudar.
*****
Koridor rumah sakit yang biasanya ramai kini terasa hening, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang lewat. Di depan ruang operasi, tiga sosok berdiri dalam diam yang berat. Laras, mertua Jill, tampak tenggelam dalam dunia digitalnya, matanya tidak pernah lepas dari layar ponsel yang terus berkedip dengan notifikasi. Sementara itu, Dila, adik ipar Jill, terlihat sibuk berbicara di ponselnya, mungkin mencari pengalihan dari ketegangan yang menggantung di udara. Di antara mereka, Reno, suami Jill, berjalan mondar-mandir dengan raut wajah yang gelisah. Setiap gerakannya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, matanya sesekali menatap pintu operasi, seolah mencoba menembusnya untuk melihat kondisi Jill. Waktu seakan berhenti bagi mereka, setiap detik terasa seperti jam, menunggu kabar yang akan menentukan nasib Jill, wanita yang mereka cintai.
Selang beberapa jam, seorang dokter keluar dari ruang operasi. Dokter tersebut di hampiri oleh Reno dan bertanya bagaimana keadaan istrinya. Dokter mengatakan, kalau saat ini yang di butuhkan Jill adalah kornea mata. Tentu saja itu mengejutkan Reno, Laras dan Dila. Pasalnya, tidak mudah mendapatkan kornea mata, apalagi harganya terbilang fantastis.
“Dokter, bagaimana keadaan Jill? Apakah dia baik-baik saja?”
Dokter menghela napas panjang, menatap raut wajah Reno yang khawatir. “Untuk saat ini, Jill membutuhkan transplantasi kornea mata. Kondisinya stabil, tapi ini adalah langkah yang perlu segera diambil untuk memulihkan penglihatannya.”
“Transplantasi kornea? Itu… itu mengejutkan.” Katanya, Reno.