Di balik keanggunan kota Milan yang memukau, tersembunyi dunia gelap yang dikuasai oleh mafia berdarah dingin, Vicenzo. Sebagai kepala keluarga mafia yang paling ditakuti, Vicenzo dikenal tak pernah tersentuh oleh hukum, meski bukti kejahatannya menumpuk di meja para detektif. Namun, ketika sebuah operasi berjalan salah, Vicenzo menghilang tanpa jejak, meninggalkan dunia kriminal yang ia pimpin dalam kekacauan. Bertahun-tahun kemudian, di sebuah kota kecil yang terlupakan, Vicenzo muncul kembali dengan misi pribadi. Ia mencari Jill, seorang seniman muda berbakat yang tragisnya kehilangan penglihatan karena peluru nyasar dari senjata Vicenzo sendiri. Kini, dengan mata yang tak lagi melihat, Jill menggambar dunia melalui sentuhan dan suara, tak sadar bahwa masa lalunya yang kelam sedang mendekat. Ketika jalur mereka bersinggungan, Vicenzo dan Jill terjerat dalam permainan mematikan antara cinta dan dendam. Vicenzo harus melindungi Jill dari musuh-musuhnya yang ingin memanfaatkan kelemahannya, sementara Jill berjuang untuk memaafkan pria yang telah merenggut cahaya dari hidupnya. Bersama, mereka harus menghadapi masa lalu yang kelam dan musuh yang tak terlihat, sambil menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga.
Matahari terbenam di cakrawala, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah saat Jill melangkah keluar dari kantornya. Hari itu telah panjang dan melelahkan, tetapi pikirannya masih penuh dengan sketsa dan desain yang akan dia ciptakan esok hari. Dengan langkah yang tergesa-gesa, dia membuka pintu mobilnya dan meluncur ke dalam, siap untuk pulang ke kedamaian rumahnya. Namun, kedamaian itu segera terkoyak saat dia menyadari kehadiran yang tidak diundang di kursi penumpang.
Seorang pria dengan pakaian yang berlumuran darah duduk dengan tenang, senjata di tangannya menunjuk tegas ke pelipis Jill. Detak jantungnya berpacu, adrenalin mengalir deras, namun dengan keberanian yang dipaksakan, Jill menyalakan mesin dan membiarkan instingnya mengambil alih. Mobil itu melaju perlahan, membawa mereka berdua ke dalam malam yang tak pasti, di mana rahasia dan bahaya bersembunyi di setiap belokan.
"Jangan takut, aku tidak akan membunuhmu. Asalkan kau, patuh." Katanya pria itu, menatap tajam wajah Jill.
Jill hanya mengangguk, tanpa menoleh. Ia fokus ke depan, mengendarai mobilnya.
Malam itu, jalanan tampak sepi dan hanya terang benderang oleh lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan. Pria di samping Jill, dengan nafas yang teratur menandakan ketenangan yang terlatih, memperhatikan melalui kaca spion bahwa ada bayangan yang mengikuti mereka - sebuah motor dengan lampu yang redup. Ketika motor itu mendekat, pria berjaket kulit hitam yang mengendarainya mengeluarkan pistol dan menodongkannya tepat ke arah kaca jendela mobil Jill. Dalam sekejap, pria di samping Jill bertindak dengan refleks yang tajam, menarik pistolnya dan melepaskan tembakan. Namun, dalam pertarungan yang berlangsung cepat, peluru yang dilepaskan meleset, berdesingan dekat wajah Jill, meninggalkan jejak panas yang membakar kulitnya dan menyisir kedua bola matanya. Teriakan Jill memecah kesunyian malam, dan dalam kepanikan, mobil yang mereka tumpangi mulai oleng tak terkendali. Mereka berdua berjuang untuk menguasai setir, tapi nasib telah menentukan jalannya. Dengan suara gemuruh yang menggelegar, mobil itu akhirnya menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan, meninggalkan mereka dalam keheningan yang tiba-tiba, dikelilingi oleh debu dan daun-daun yang berterbangan.
"Ayo, cepat bantu!!" Teriak salah satu pejalan kaki yang kebetulan melintas, dan melihat kejadian itu.
"Di dalam mobil, hanya ada satu orang!" serunya pejalan kaki lain, yang memeriksa ke dalam mobil.
Dalam keheningan malam yang tiba-tiba terpecah oleh suara sirine yang mendesing, Jill terbaring tak berdaya, merasakan setiap denyut nyeri yang melanda tubuhnya. Kepalanya berputar, dan dunia di sekelilingnya terasa seperti bergerak dalam gerakan lambat. Dengan setiap tarikan napas yang berat, ia mencoba mempertahankan benang tipis kesadaran yang masih tersisa. Samar-samar, ia merasakan kehadiran orang-orang di sekitarnya, mendengar suara bisikan dan langkah kaki yang terburu-buru, merasakan sentuhan tangan yang berusaha menolongnya. Namun, seiring dengan suara sirine yang semakin keras, kesadarannya mulai terkikis, dan Jill menyerah pada gelapnya ketidaksadaran, terhanyut ke dalam keabadian yang sunyi, di mana rasa sakit dan ketakutan perlahan-lahan memudar.
*****
Koridor rumah sakit yang biasanya ramai kini terasa hening, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki perawat yang lewat. Di depan ruang operasi, tiga sosok berdiri dalam diam yang berat. Laras, mertua Jill, tampak tenggelam dalam dunia digitalnya, matanya tidak pernah lepas dari layar ponsel yang terus berkedip dengan notifikasi. Sementara itu, Dila, adik ipar Jill, terlihat sibuk berbicara di ponselnya, mungkin mencari pengalihan dari ketegangan yang menggantung di udara. Di antara mereka, Reno, suami Jill, berjalan mondar-mandir dengan raut wajah yang gelisah. Setiap gerakannya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam, matanya sesekali menatap pintu operasi, seolah mencoba menembusnya untuk melihat kondisi Jill. Waktu seakan berhenti bagi mereka, setiap detik terasa seperti jam, menunggu kabar yang akan menentukan nasib Jill, wanita yang mereka cintai.
Selang beberapa jam, seorang dokter keluar dari ruang operasi. Dokter tersebut di hampiri oleh Reno dan bertanya bagaimana keadaan istrinya. Dokter mengatakan, kalau saat ini yang di butuhkan Jill adalah kornea mata. Tentu saja itu mengejutkan Reno, Laras dan Dila. Pasalnya, tidak mudah mendapatkan kornea mata, apalagi harganya terbilang fantastis.
"Dokter, bagaimana keadaan Jill? Apakah dia baik-baik saja?"
Dokter menghela napas panjang, menatap raut wajah Reno yang khawatir. "Untuk saat ini, Jill membutuhkan transplantasi kornea mata. Kondisinya stabil, tapi ini adalah langkah yang perlu segera diambil untuk memulihkan penglihatannya."
"Transplantasi kornea? Itu... itu mengejutkan." Katanya, Reno.
"Tapi dokter, mendapatkan kornea mata bukanlah hal yang mudah, dan biayanya..." ucapan Laras menggantung.
Dokter itu menganggu, lalu berbalik dan menghilang di balik pintu ruang operasi, meninggalkan Reno dalam genggaman kecemasan yang semakin menguat. Ia merasa seolah-olah setiap detik yang berlalu adalah seberkas harapan yang menguap. Sementara itu, Laras tampak tenang, hampir tidak terpengaruh oleh berita yang baru saja mereka terima, matanya masih terpaku pada layar ponsel yang terus menerus menyala. Dila, dengan sikap yang serupa, tampak lebih asyik dengan percakapan di ponselnya daripada situasi tegang yang sedang berlangsung. Mereka berdua, dalam gelembung mereka sendiri, tampaknya terpisah dari realitas yang menyakitkan bahwa Jill, anggota keluarga mereka, sedang berjuang antara hidup dan mati hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri.
Reno berbalik merebut ponsel milik ibunya. "Ma, ini masalah serius!"
Laras matanya mendelik, merebut kembali ponsel di tangan putranya. "Mama capek. Jill, memang menantu tidak berguna."
"Ma, bukan saatnya kita bahas seperti ini. Aku juga capek, setiap hari mendengar hasutanmu, ma... " keluh Reno frustasi.
'Kamu pikir, mama sedang menghasutmu?" tanya Laras terlihat emosi. "Kau, sudah di butakan cinta!"
"Ma!" pekik Reno, menatap tajam Laras. Sementara Dila, acuh tak acuh dengab pertengkaran mereka. Bagi Dila, itu sudah menjadi kebiasaan di rumah.
Reno balik badan menatap Dila yang masih asik mengobrol. Ia langsung menghampirinya dan merebut ponsel. Di bantingnya ponsel ke lantai hingga berantakan. Dila menatap marah pada Reno, ia tidak mengerti kenapa Reno semarah itu.
"Kamu juga sama saja, bukannya membantuku berfikir!"
Dila tersenyuk sinis. "Dia istrimu, tanggung jawabmu. Aku? aku hanya adikmu, dan dia bukan tanggung jawabku!"
Reno berteriak frustasi karena kesal oleh mama dan adiknya. Ia bergegas pergi meninggalkan Laras dan Dila yang masih terpaku di tempatnya.
"Salah siapa, memilih perempuan tidak berguna itu." Celetuk Dila, dan di benarkan oleh Laras.
"Kau benar, Kirana lebih cocok dengan Reno. Cantik, kaya, berpendidikan, dan tentu saja bisa memberikan keturunan."
Dila mengangguk, menyetujui pernyataan mamanya. 'Sudahlah ma, aku capek. Kita pulang saja."
Laras mengangguk, ke duanya beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Mereka berdua tidak perduli dengan ke-adaan Jill. Bagi mereka, Jill adalah benalu dalam keluarga besar Sanjaya.
Bab 1 Awal mula
13/06/2024
Bab 2 Buta
13/06/2024
Bab 3 Perangkap
13/06/2024
Bab 4 Kebohongan
13/06/2024
Bab 5 Kematian Sanjaya
13/06/2024
Bab 6 Pengkhianatan
13/06/2024
Bab 7 Bayang-bayang masa lalu
13/06/2024
Bab 8 Kekecewaan
13/06/2024
Bab 9 Perubahan sikap Jill
13/06/2024
Bab 10 Cemburu
13/06/2024
Bab 11 Kecurigaan Jill
15/06/2024
Bab 12 Aku minta Jill!
15/06/2024
Bab 13 Monster
16/06/2024
Bab 14 Penyesalan
16/06/2024
Bab 15 Sesal tiada akhir
16/06/2024
Bab 16 Pengakuan
16/06/2024
Bab 17 Pengejaran
16/06/2024
Bab 18 Prioritas
16/06/2024
Bab 19 Ide Gila
17/06/2024
Bab 20 Tipu daya
18/06/2024
Bab 21 Dendam kesumat
03/07/2024
Bab 22 Pengaduan
03/07/2024
Bab 23 Permintaan Jill
04/07/2024
Bab 24 Penyerangan
04/07/2024
Bab 25 Di bawah ancaman Kenzo
05/07/2024
Bab 26 Penyelamatan Jill
05/07/2024
Bab 27 Pengawal untuk Jill
06/07/2024
Bab 28 Ketegangan di rumah sakit
06/07/2024
Bab 29 Penyerangan
07/07/2024
Bab 30 Pengkhianatan
07/07/2024
Bab 31 Penyelamatan
07/07/2024
Bab 32 Persiapan pernikahan
07/07/2024
Bab 33 Jangan sentuh aku!
08/07/2024
Bab 34 Di tolak lagi
08/07/2024
Bab 35 Hari yang sepi
08/07/2024
Bab 36 Keputusan Jill
09/07/2024
Bab 37 Pembalasan Kirana
09/07/2024
Bab 38 Pengkhianatan Kenzo
09/07/2024
Bab 39 Terlambat
10/07/2024
Bab 40 Frustasi
10/07/2024
Buku lain oleh Reinz JR
Selebihnya