Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Beauty and The Mafia

Beauty and The Mafia

Laquisha Bay

4.9
Komentar
21.7K
Penayangan
62
Bab

Diculik sejumlah pria asing dan dijadikan tawanan oleh Marco Botticelli—sang mafia, merupakan nasib paling tragis yang dialami Rosetta Alighieri. Dia dituduh mencuri kalung warisan pria itu akibat kesalahpahaman yang diciptakan Caritta Alighieri—saudari kembarnya. Hidup Rosetta pun langsung berubah detik itu juga. Terlibat dalam cinta sekaligus melangkah pada lingkaran intrik, seolah-olah menjadi sesuatu yang memang digariskan sejak lama untuk mereka. Ketika Marco kemudian menawarkan komitmen, jawaban apa yang akan Rosetta berikan padanya? Orang waras mana yang sudi menerjunkan dirinya ke dalam dunia kelam milik spesialis kriminal?

Bab 1 Pelacur

“Aku tidak suka basa-basi. Siapa namamu?”

“Panggil saja Leah.”

“Leah? Nama yang menarik.”

Wanita berambut panjang yang mengaku sebagai Leah itu hanya tersenyum menanggapi. Dia menyilangkan sepasang tungkainya dengan gerakan sensual—menyingkap sebagian kulit paha yang halus, lantas mematikan puntung rokok miliknya di dalam asbak. Senyum lebar menghiasi sudut bibirnya yang dipolesi lipstik warna merah.

“Aku punya nama samaran bagi profesiku. Anggap saja itu cara kami bekerja,” komentar Leah lagi dengan sopan.

Pria tersebut kemudian mengangguk memberi respons. Dia kembali menyesap vodka-nya—minuman beralkohol yang baru saja dia pesan beberapa menit lalu—dengan hati-hati. Pikirannya berkelana pada sesuatu yang menonjol di balik blus sutra lawan bicaranya.

“Apa aku boleh menyebutmu Tuan Marco saja dan—”

“Botticelli. Tuan Botticelli,” tegas si pria itu tanpa balas memandang ke arah wanita cantik yang sedang menatapnya dengan sorot mata ‘lapar’.

“Jadi, apa kita sepakat dengan harganya?”

“Nominal sama sekali bukan masalah. Aku akan memberi tarif yang pantas untuk pelayanan yang kau berikan. Aku selalu royal terhadap jalang-jalang sepertimu.”

Leah tersentak dengan pernyataan di kalimat terakhir yang terdengar menghinanya. Dia memang pelacur, tetapi belum pernah ada yang secara terang-terangan menyebutnya serendah itu. Pria bernama Marco yang ada di hadapannya tersebut bercakap dengan lugas—terlalu objektif malah, sampai-sampai dia merasa jengah pada dirinya sendiri.

Marco bukan tipikal lawan jenis yang sering Leah temui. Pria itu berbeda, seolah-olah ada sesuatu dalam nada bicaranya yang menciptakan sensasi gentar di kedua lutut Leah sewaktu mereka melakukan interaksi. Sejenis sinyal peringatan bahwa dia merupakan orang yang harus dijauhi.

“Ba-baiklah, Tuan Botticelli. Aku setuju,” sahut Leah dengan terbata-bata.

“Akan ada seseorang yang mengurus uangnya untukmu. Kau hanya harus mempersiapkan dirimu sekarang.”

“Y-ya,” balasnya sambil mengangguk.

Leah menyeka keningnya yang mendadak mengeluarkan keringat. Dia belum pernah merasa segugup itu sebelumnya. Pria mana pun yang akan menggunakan jasanya selalu bersikap kasual dan manis, tetapi Marco justru dingin dan penuh intimidasi.

Tatapan tajam Marco beralih pada aksi salah tingkah Leah yang membuang muka darinya. Pria itu menyipitkan mata, lantas berujar, “Mengapa kau berperilaku seperti wanita yang baru mendapatkan mangsa untuk pertama kalinya?”

‘Apa katanya? Mangsa? Apa dia pikir aku predator?’ batin Leah. Dia spontan berdeham-deham membersihkan tenggorokan sesaat sebelum memberikan jawaban. Leah menyisir ujung rambutnya dengan jemari, kemudian menggeleng dengan ragu.

Perasaan aneh tersebut refleks mengisi dada Leah dan mengingatkannya pada pengalaman ‘pertama’ yang masih belum cukup lama berlalu. Usianya akan genap dua puluh tahun bulan depan. Namun, sepak terjangnya dalam menggaet para pria berdompet tebal sudah tergolong mumpuni.

“A-aku hanya tidak sabar ingin memulainya denganmu.”

Marco kemudian memberi kode pada salah satu bawahannya—pria setinggi seratus-enam-puluh-lima senti dengan kumis tebal itu—untuk mendekat. Dia memberi perintah dalam aksen Italia-nya yang kental. Detik berikutnya, Marco kembali mengunci tatapan pada Leah yang tengah membereskan kotak rokok ke dalam kantong rok kerutnya.

“Ikutlah denganku sekarang.”

Leah lagi-lagi hanya mengangguk. Keberaniannya menguap bersama seluruh kepercayaan diri yang sempat dia punya. Keadaan yang semula nyaman otomatis berubah menjadi serba canggung dan membuat langkahnya urung untuk mengekori pria bermata biru itu.

“Ada apa?” tegur Marco yang menangkap gelagat ganjil dari Leah.

“Ti-tidak.”

“Aku bertanya padamu untuk yang terakhir kalinya. Apa kau siap melayaniku atau—”

“Tentu saja,” sela Leah yang seketika menguatkan hatinya.

Ada dua alasan yang membuat Leah mengabaikan rasa takutnya. Pertama adalah uang. Kedua adalah kembali lagi pada alasan yang pertama; uang. Dia menggilai dolar seperti dia menyukai koleksi tas mahal yang terjejer rapi di dalam lemari pribadinya.

Sebagian besar penghasilan Leah akan berwujud dalam aneka barang bermerek yang selalu dia pajang di apartemennya. Wanita itu menghamba pada setiap sen yang masuk ke dalam rekeningnya sebagai imbalan dari kerja kerasnya di atas ranjang. Kegiatan yang telah menjadi rutinitasnya selama sepuluh bulan belakangan.

Mereka pun menaiki tangga yang terhubung ke lantai dua. Di sana, Marco meminta Leah masuk dan melakukan tugasnya. Wanita itu sempat tercengang dengan nuansa kamar yang dia datangi—megah dengan sejumlah akses yang hanya diperuntukkan bagi penyewa khusus.

Leah belum pernah mendapatkan pelanggan yang mengajaknya ‘tidur’ di ruang seistimewa itu hanya untuk aktivitas satu malam mereka. Dengan tujuh sosok pengawal yang selalu berjaga di dekat pintu dan punya gaya searogan dirinya, Marco sudah pasti bukan pria biasa. Dia bisa jadi seorang miliarder atau mungkin juga tokoh penting, pikirnya.

“Menarilah untukku,” pinta Marco yang masih menonton Leah terpana di posisinya.

“Me-menari?”

Marco menarik punggung kursi yang terbuat dari kayu itu dan menyandarkan tubuhnya. Dia memindai ekspresi wajah Leah, lantas mengangguk mengiyakan. Enggan membuka mulut untuk menyuarakan isi kepalanya.

“Ba-baiklah, Tuan Botticelli.”

Itu juga pertama kalinya Leah mendapatkan perintah untuk menunjukkan tarian, alih-alih mengangkangkan kedua kakinya. Dia menurut—mematuhi Marco yang tetap bergeming di tempat duduknya, kemudian menanggalkan semua pakaiannya satu-persatu tanpa menyisakan apa pun. Senyum kikuk wanita itu serta-merta terkulum di sudut bibirnya.

Leah mencoba menggerakkan pinggulnya dengan gerakan erotis. Namun, dia justru terlihat kaku dan konyol di sana. Marco pun berdecih, lantas menertawakan wanita itu dengan sorot mata puas.

“A-apa ada yang salah?” cicit Leah yang kedua pipinya terasa panas sekarang.

“Kau payah,” cemooh Marco yang kembali mengumbar kekehan pendeknya.

“Aku memang bukan penari, Tuan Botticelli. Aku hanya—”

“Jadi, apa bakat yang kau punya?”

Leah sontak mengerjap-ngerjap bingung dan menyahut, “Bakat? Apa maksudmu?”

“Sayang sekali, kau hanya cantik dan menarik untuk dinikmati.”

“Mengapa kau—”

“Menghinamu? Karena aku menginginkannya. Itu saja. Mendekatlah dan lepaskan celanaku.”

Leah menggertakkan gigi, kemudian menahan guncangan emosi yang akan meletup di dadanya. Dia teringat pada pundi-pundi lebih yang akan membuatnya sanggup untuk menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan dalam menit-menit yang jauh lebih lama dari biasa. ‘Lakukan saja demi setelan lingerie edisi terbaru bulan depan,’ batinnya.

Marco menyunggingkan seringainya, lantas berdiri dan menunggu Leah datang. Wanita itu pun bersimpuh di bawah kaki Marco—menarik ujung kemeja yang menutupi pengait gesper—agar dapat melepaskannya dari pinggang si pria dengan cekatan. Dia sudah terlatih untuk meloloskan sesuatu yang mendesak perhatiannya di balik sana.

Aset kebanggaan Marco seketika tampil dengan kepadatan penuh di depan Leah sesaat setelah dia menurunkan ritsleting itu bersama sisa kain pelindung yang terakhir. Kesiap syok sontak mengudara lewat mulut Leah yang terkejut pada intensitas sempurna dari pemandangan di hadapannya. Tangguh dan siap untuk memulai permainan.

“Sentuhlah dia dengan lidahmu,” titah Marco dengan sorot mata angkuhnya.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Laquisha Bay

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku