Mimpi Alice Harper tentang pernikahan yang indah bersama Dean Walcott mendadak hancur karena ulah adik tirinya. Setelah dikhianati dan ditinggalkan di depan altar seorang diri hanya untuk dipermalukan, Alice memutuskan pindah ke Birmingham demi menata hidup baru. Tidak disangka takdir kembali mempertemukannya dengan Dastan Lancaster, sang mantan kekasih, yang sempat menghilang tanpa kabar dua tahun lalu. Cinta lama yang masih belum usai di antara mereka lagi-lagi tumbuh dan Alice tidak kuasa menepis pesona sang presdir yang mendadak melamarnya di depan semua orang. Akankah pernikahan bahagia yang pernah dibayangkan oleh Alice kemudian terwujud kala dia menerima cincin yang disodorkan Dastan padanya?
"Apa kau Dean Walcott bersedia mengambil Alice Harper sebagai istrimu yang sah? Apa kau akan mencintai, menghormati, menjaga, dan melindungi dia selama sisa hidupmu?" Suara tenang pendeta tua dengan kacamata bulannya itu terdengar lagi, ujung jubahnya yang pudar berkibar ditiup angin bulan Oktober yang menyebarkan hawa dingin dan lembap di udara kota London, rahang Alice bahkan bergemeletuk kencang kala dua orang pengiring pengantinnya membuka satu jendela geser lain di belakang mereka.
Hari besar dalam hidup Alice, yang baru menginjak usia dua puluh enam tahun minggu lalu, sudah datang dan membuat debar jantungnya melompat sejak tadi. Alice yang pandangannya mulai kabur karena air mata menatap Dean dari balik veil yang menutupi wajahnya. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu.
Bagi Alice, pernikahan merupakan hal yang luar biasa. Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang tidak memegang prinsip komitmen sama sekali tidak mengubah pemikirannya tentang 'akhir yang buruk' seperti yang telah terjadi pada orang tuanya. Ayah Alice pemabuk dan suka memukuli ibunya, sedangkan sang ibu yang kemudian kabur dari rumah justru menikah lagi dengan seorang pemilik bar tiga bulan selepas sidang perceraian mereka selesai digelar.
Alice kecil dibesarkan oleh bibinya di daerah Hampshire. Hidup mandiri setelah umurnya mencapai sembilan belas dan pindah ke sebuah flat kumuh kawasan pinggir kota untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Tidak pernah mendengar kabar tentang ayah atau ibunya lagi sampai di suatu musim dingin tahun lalu.
Ayah Alice sedang sakit keras. Didiagnosa kanker perut stadium akhir dengan keadaan yang menyedihkan dan ibunya yang kembali menikah untuk ketujuh kalinya, dengan pria bertubuh tinggi seperti tukang pukul, datang mengunjungi tempat tinggal Alice untuk basa-basi. Menanyakan keadaan Alice dan kehidupannya selama beberapa tahun terakhir, lantas buru-buru pulang untuk menghadiri pesta kelulusan Penelope Cove-putri kandung dari suami barunya, yang notabene adik tiri Alice.
"Mereka tidak boleh menikah." Suara lain mendadak menyela prosesi sumpah Dean dan Alice.
Seorang wanita lalu muncul dari baris kursi bagian belakang. Roknya diikat di sekeliling pinggang dan jatuh hingga ke mata kaki dalam lipatan-lipatan besar yang menonjolkan lekuk pinggulnya. Rambutnya yang pendek ditata apik, ujung-ujungnya dipotong lancip, mencuat dengan aksen merah muda yang kontras dengan warna asli rambut wanita itu.
"Maaf?" Pendeta tua itu spontan menyipitkan mata sambil mengamati wanita yang baru saja menginterupsi perkataannya.
"Aku keberatan. Pernikahan mereka tidak boleh dilaksanakan," ulangnya lalu maju, mengayunkan langkah panjang yang anggun, dengan suara keletak dari tumit sepatu bot thigh high-nya yang menampar lantai kayu gereja setiap kali dia berjalan.
"Penelope? Bukankah dia bilang tidak bisa datang karena dia ada di luar kota?" gumam Alice yang sempat tergoda untuk membuka veil, tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya.
"Sayangku?"
"Sayangku?" Alice terperangah memandang Dean, perutnya tiba-tiba bergolak hebat, dan ekspresi Dean yang menatap Penelope dengan penuh damba langsung membuatnya mual.
"Kau mengendarai mobilmu sendiri dari Bristol? Kau dalam kondisi rentan. Kau harus mendengarkan saran dokter." Dean bergegas turun dari altar untuk menghampiri Penelope yang berhenti di dekat mereka, jemarinya terulur ke depan, menyentuh punggung Penelope dengan sikap posesif.
Ada yang salah, pikir Alice. Tidak yakin dengan indra penglihatannya sendiri. Dean hanya pernah bertemu Penelope dua kali. Waktu itu, mereka tengah membicarakan bisnis katering Penelope di rumah ibunya.
Alice menarik veil dari kepalanya dengan kasar dan membuangnya asal. Darah menggelegak di kedua pipinya. Dia bahkan tidak butuh penjelasan untuk menyadari bahwa Dean dan Penelope memang punya hubungan khusus.
"Aku hamil dan bayi ini, bayi yang ada di dalam rahimku, milik Dean." Penelope membeberkan segalanya sebelum Alice berhasil memberondong mereka dengan pertanyaan.
"A-apa katamu?" bisik Alice tidak percaya, memandangi wajah Dean dan Penelope bergantian, bibirnya yang pucat melekuk jijik.
"Bayi ini," ucap Penelope sambil menyentuh perutnya. "Adalah bayi kami, Alice. Apa kau tidak cukup pintar untuk memahami maksudku?"
"Aku masih... tidak mengerti." Air mata Alice mengalir, tetapi bukan untuk perasaan haru.
"Aku tidak tahu kau bodoh atau lugu. Tidakkah kau melihat ada sesuatu yang telah terjadi di belakangmu selama dua bulan terakhir?" Senyum lebar Penelope tersungging di sudut bibirnya.
Alice kemudian menyeka air matanya, seolah-olah ada tekad baru yang diam-diam menyusup ke dalam dirinya. Mengabaikan bisik-bisik dan kesiap para tamu, yang kebanyakan berasal dari rekan kerjanya, untuk membalas pengkhianatan mereka. Dengan kedua lutut yang gemetar dan dada yang sesak oleh rasa marah, Alice maju mendekati Penelope.
"Tidak keduanya. Aku hanya tidak mengerti mengapa kau begitu... murah?" Alice mengangguk dengan tawa puas yang dibuat-buat, menjatuhkan buket bunga pengantinnya, dan menginjaknya hingga hancur.
"Dan kau, Dean Walcott," seru Alice yang memutar tubuhnya menghadap Dean. "Apa kau senang sudah mempermainkanku?"
"Tidak, Alice. Aku sama sekali tidak berniat untuk-"
"Kau tidak perlu repot-repot membela diri."
"Kami tidak sengaja, Alice. Itu di luar kehendakku. Semuanya jadi tidak terkendali saat... saat..."
"Saat dia menciumku." Penelope melirik Dean sekilas dan kembali menatap sinis pada Alice.
"Aku tahu aku salah, Alice. Aku berani sumpah itu hanya kecelakaan. Kami bertemu di klub malam dan... aku mabuk dan... dan..."
"Dan kami bercinta."
"Penelope!" tegur Dean yang mengacak rambut depannya.
"Aku hanya menyelesaikan kalimatmu." Penelope mengangkat satu alisnya dan mengerucutkan bibir.
"Percayalah padaku, Alice." Dean meraih jemari Alice, menggenggamnya erat, mata hijaunya memancarkan sorot putus asa.
"Jangan sentuh aku!" tepis Alice yang menarik diri dan mengacungkan jari telunjuknya pada Dean.
"Itu kecelakaan, Sayang. Aku di bawah pengaruh alkohol. Kami hanya melakukannya satu kali." Dean lagi-lagi mengacak rambutnya yang sudah berantakan.
"Dan jangan memanggilku dengan 'sayang'! Kau bahkan menyebut jalang kotor itu dengan 'sayangku'," teriak Alice yang kesabarannya mulai habis.
"Aku tidak mencintai Penelope. Aku hanya mencintaimu, tetapi aku menginginkan bayinya. Dia bayiku. Aku tidak bisa lari dari tanggung jawab."
"Kau menghancurkan segalanya! Kau membuatku muak." Alice mundur menciptakan jarak di antara mereka, kepalanya sakit, dia pikir dia hanya akan mengasingkan diri di rumah selama berbulan-bulan lamanya atau pindah ke suatu tempat yang jauh dari kota London.
Mengubur satu dari sekian banyak mimpi. Apa kegagalan bisa menular? Mungkin pernikahan memang bukan untukku, simpul Alice. Mungkin pernikahan hanya untuk segelintir orang, tetapi yang jelas bukan dirinya.
"Tidak, Alice. Dengar, aku hanya mencintaimu. Hanya kau. Insiden pada malam itu membuatku sadar bahwa aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu."
"Kau tidak mencintaiku. Mungkin pernah dan itu dahulu. Setelah semua yang kau lakukan, apa kau pikir aku bisa percaya padamu lagi?" Alice mengangkat wajahnya dan membuat mereka saling bertatapan.
"Demi Tuhan, Alice. Aku-"
"Menikahlah dengan Penelope."
Kening Dean mengernyit dalam kengerian yang terasa seperti selamanya. Rahangnya, yang ditutupi jambang halus, mengetat oleh kepanikan yang luar biasa. "Itu mustahil. Satu-satunya wanita yang akan kunikahi adalah kau."
"Kau pria dan kau harus bertindak seperti seorang gentleman. Jadi, menikahlah, setidaknya demi bayi kalian." Alice mengulangi permintaannya dengan nada tenang, meskipun hatinya remuk seperti bola kaca yang sudah dibanting dengan sengaja; hancur tanpa sisa.
***
Bab 1 Hancur Tanpa Sisa
30/12/2022
Bab 2 Kartu Pos
30/12/2022
Bab 3 Sihir dan Ciuman
31/12/2022
Bab 4 Obsesif
16/01/2023
Bab 5 Bercinta Dengan Sang Presdir
16/01/2023
Bab 6 Bukan Pangeran Dari Negeri Dongeng
16/01/2023
Bab 7 Umpan Besar
16/01/2023
Bab 8 Mantan Kekasih
26/01/2023
Bab 9 Album Foto
26/01/2023
Bab 10 Racun Serangga
26/01/2023
Bab 11 Cinta Pertama
26/01/2023
Bab 12 Mata-Mata
03/02/2023
Bab 13 (Bukan) Boneka Tuan Presdir
03/02/2023
Bab 14 Piala Dalam Lemari Kaca
03/02/2023
Bab 15 Batu Safir
06/02/2023
Bab 16 Luka Memar
08/02/2023
Bab 17 Pantai Tanpa Matahari
13/02/2023
Bab 18 Bukti Perselingkuhan
16/02/2023
Bab 19 Balas Dendam
22/03/2023
Bab 20 Cincin
22/03/2023
Bab 21 Noda-Noda Kelam
22/03/2023
Bab 22 Basah dan Erotis
22/03/2023
Bab 23 Kekacauan
27/03/2023
Bab 24 Dalam Penjara
30/03/2023
Bab 25 Berita Duka
05/04/2023
Bab 26 Di Atas Kertas
06/04/2023
Buku lain oleh Laquisha Bay
Selebihnya