Siapakah sebenarnya Reza? Seorang Mafia yang sangat berkuasa atau Pria yang terluka?Maya terjebak dalam labirin cinta dua wajah. Kekerasan dan Cinta aneh yang sarat dengan rahasia.
"Maya, kamu nggak lupa kan, ada acara makan malam dengan klienku malam ini di Resto favorit kita?" Suara lembut Dimas, suaminya, memecah keheningan di meja makan pagi itu. Dia tampak seperti biasa: rapi, fresh, dan penuh perhatian. Ya, Dimas adalah seorang pria sempurna di mata banyak orang, Tapi sayang sekali, tidak di mata istrinya sendiri.
"Tentu saja nggak dong Mas, kau pikir aku udah pikun apa?" jawab Maya dengan senyum tipis yang sulit diterjemahkan. Di balik tatapannya yang tampak manis, pikirannya melayang jauh.
Baru tadi malam ia pulang ke rumah dengan napas terengah, sepatu hak tingginya dia tenteng di tangan supaya Langkah-langkahnya tidak terdengar para penghuni rumah. Gaun yang membalut tubuhnya sedikit tampak kusut. Sementara Dimas sudah tertidur lelap saat Maya menyelinap masuk ke kamar tidur mereka, menghapus semua jejak petualangannya.
Pagi itu, Dimas tak menunjukkan tanda-tanda kecurigaan. Bahkan, dia sempat mencium kening Maya sebelum berangkat ke kantor. Sesaat setelah pintu tertutup, Maya menghembuskan napas panjang. Ponselnya bergetar di atas meja. Nama "Kang AC" berkedip di layar.
"Aku bener bener nggak bisa berhenti mikirin kamu, Maya," suara berat seorang pria di ujung telepon membuat Maya tersenyum. Senyum yang nakal, liar serta penuh kemenangan.
"Reza, jangan telepon pagi-pagi begini lagi, untung suamiku sudah pergi." tegurnya dengan nada setengah berbisik.
"So, kapan kita ketemu lagi cantik? Semalam terlalu singkat, aku udah kangen tau."
Maya memejamkan mata, membayangkan tangan pria itu yang masih meninggalkan jejak hangat di tubuhnya. "Santai aja, aku akan atur waktunya. Aku harus pergi sekarang. Dan ingat, jangan menghubungiku sebelum aku menghubungi mu. No chat or call." Tanpa menunggu jawaban, Maya menutup telepon.
________________________________________
Hari itu, Maya menemui seorang teman lamanya di sebuah kafe mewah di tengah kota. Keira, sahabat yang sudah tahu terlalu banyak tentang kehidupan rahasianya.
"Kamu gila, May. Aku nggak ngerti kenapa, kok bisa-bisanya kamu ambil risiko kayak gini, ckckck" Keira menggelengkan kepala sambil menyeruput latte-nya. "Dimas itu suami idaman banyak perempuan lho. Kamu udah punya segalanya. Se ga la nya!... You udah punya segalanya Nyonya Maya. Tapi, haduuuuh... malah main api. Bagi bagi dong? Hahaha."
Maya tersenyum sinis. "Apa artinya 'punya segalanya' kalo aku nggak merasa hidup, Kei? Aku butuh lebih dari sekadar perhatian yang membosankan itu."
Keira menggeleng lagi, kali ini lebih pelan. " Serah lah. Tapi sampai kapan kamu mau terus begini hah? Apa kamu nggak takut ketahuan?"
"Hmmp...Aku bukan orang bodoh kalee," potong Maya. Matanya tajam. "Aku tahu cara mainnya. Aku tahu batasnya, dan aku tahu pantangannya."
Keira terdiam. Dia tahu bahwa memperingatkan Maya sama halnya seperti berbicara pada tembok. Maya terlalu licik dan terlalu percaya diri untuk takut.
________________________________________
Malam harinya, Maya bersiap untuk acara makan malam bersama Dimas. Gaun hitam elegan membalut tubuhnya yang sempurna, wajahnya dipoles dengan riasan tipis namun memukau. Dimas menatapnya sejenak, tersenyum bangga.
"Kamu selalu berhasil bikin aku nggak bisa berhenti bersyukur punya istri seperti kamu," katanya sambil menggenggam tangan Maya.
Maya hanya tersenyum kecil. Hatinya berdebar, tapi bukan karena Dimas. Sebuah pesan masuk ke ponselnya beberapa saat sebelum mereka keluar rumah.
Kang AC: "Aku sudah standby di restoran yang kamu maksud. Jangan berpura-pura nggak lihat aku."
Maya menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Dimas yang duduk di sebelahnya tidak menyadari ada perubahan gestur kecil di wajah istrinya. Dalam perjalanan menuju restoran, Maya sibuk menyusun rencana.
________________________________________
Restoran itu penuh dengan klien dan kolega Dimas. Maya memainkan perannya sebagai istri yang sempurna dengan mulus. Dia tersenyum, tertawa pada saat yang tepat, dan menjadi pusat perhatian dengan kecantikannya yang sangat memukau. Tapi setiap kali dia melirik ke sudut ruangan, tatapan Reza sudah menunggunya.
Ketika Dimas sibuk berbicara dengan salah seorang klien, Maya perlahan menyelinap keluar menuju toilet. Detik berikutnya, sebuah tangan menariknya ke lorong sempit di belakang restoran. Reza berdiri di sana, menatapnya dengan penuh gairah.
"Kamu gila, Reza. Kalau Dimas lihat..." bisik Maya panik.
Reza hanya tersenyum, menarik tubuh Maya lebih dekat. "Kamu nggak bisa lari dariku, Maya. Kamu tahu itu 'kan?"
Maya merasa jantungnya berdetak kencang. Dia ingin menolak, tapi daya tarik Reza terlalu kuat. Dan entah siapa yang memulai, bibir mereka pun berpagutan liar. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Dimas memanggil dari kejauhan.
"Maya? Kamu di mana?"
Tubuh Maya menegang. Dia mendorong Reza menjauh dengan cepat dan melangkah kembali ke restoran dengan senyum yang sudah terlatih. Dengan perlahan dia mengatur nafasnya yang sudah bermuatan nafsu. Dalam hatinya, dia tahu, batas yang dia kira mampu dikendalikan, kini perlahan mulai kabur, "persetran dengan batas." kata hatinya menenangkan.
Di ruang makan, Maya kembali duduk di sebelah Dimas dengan senyum yang sama, tetapi kali ini tangannya sedikit gemetar saat memegang gelas wine. Reza masih duduk di sudut, mengangkat gelasnya seolah memberi salam diam-diam. Maya berusaha mengabaikan, tetapi tatapan pria itu membakar seperti api yang tak padam.
"Kamu ini kenapa, Maya?" tanya Dimas saat mereka kembali duduk. Mata pria itu penuh perhatian, tapi juga sedikit curiga.
"Aku cuma merasa sedikit pusing. Mungkin karena terlalu banyak duduk tadi," jawab Maya ringan. Tangannya meraih tangan Dimas, berusaha meyakinkan.
Dimas tersenyum kecil, tapi dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan. Dia sesekali melirik ke arah Maya, mencoba menangkap sesuatu yang tidak biasa pad diri dan tingkah Maya yang sedikit berbeda dari biasanya. Tapi Dimas tak menemukan jawabannya.
Sementara Maya berusaha menenangkan napasnya, tetapi pikirannya terus terbayang satu kalimat yang dilontarkan Reza sebelum dia pergi: "Kamu tahu, ini baru permulaan."
Bab 1 Satu
08/01/2025
Buku lain oleh Gibran Dangumaos
Selebihnya